PENDAHULUAN
Hutan beserta segala kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya masih menjadi modal utama pembangunan nasional. Hutan
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa memang memiliki manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Dari data
yang diambil Kementerian Kehutanan, Indonesia memiliki luas tutupan hutan
sekitar 133.841.805,91 hektar (ha) yang
tersebar di 33 (tiga puluh tiga) provinsi.[1] Kekayaan alam yang
sedemikian besar tersebut menyimpan
potensi pemanfaatan, baik dari segi ekologis, sosial-budaya, dan ekonomis. Dari
segi ekologis, perairan dan hutan Indonesia merupakan ekosistem yang menjadi
rumah bagi ribuan keanekaragaman hayati dan keindahan alam. Sedangkan dari segi
sosial-budaya, ribuan masyarakat, khususnya masyarakat sekitar kawasan hutan
masih menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan sebagai penopang kehidupan
sosial-budaya mereka. Selain itu, dari aspek ekonomis, perairan dan daratan
Indonesia menyimpan sumber daya alam yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku industri serta hasil alam lainnya.
Agar pengelolaan sumber daya alam dapat
dilaksanakan untuk mendukung perekonomian nasional dan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, maka pengelolaan sumber daya alam diatur secara
konstitusional dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
mengatur bahwa ”Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Konsep penguasaan negara atas sumber
daya alam tersebut merupakan landasan konstitusional pengelolaan sumber daya
alam di Indonesia yang kemudian diimplementasikan ke dalam beberapa
undang-undang terkait sumber daya alam. Dalam perkembangannya, penafsiran
konsep penguasaan negara atas sumber daya alam memiliki interpretasi berbeda-beda yang dipengaruhi oleh berbagai nilai dan kepentingan dari para
penyusunnya dan perkembangan kondisi masyarakat.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi yang berwenang dalam
melakukan pengujian konstitusionalitas undang-undang juga secara langsung
mempengaruhi perkembangan penafsiran konsep penguasaan negara atas sumber daya
alam. Sampai saat ini, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan beberapa putusan
pengujian undang-undang (judicial review)
terkait dengan undang-undang di bidang sumber daya alam. Tulisan ini berusaha
memberikan gambaran dan menganalisis bagaimana konsep penguasaan negara atas
sumber daya alam sebagaimana yang tertuang Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, serta
bagaimana perkembangan interpretasinya dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam
tulisan ini, akan dianalisis 3 (tiga) putusan pengujian undang-undang (judicial review) oleh Mahkamah
Konstitusi, yakni judicial review UU
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Ketenagalistrikan, UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi serta UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
PEMBAHASAN
Dasar Filosofis Konsep Penguasaan Negara atas Sumber Daya Alam
Hans Kelsen dalam bukunya ”General Theorie of Law and State”,
mengemukakan teori pertingkatan hukum (stufentheorie),
bahwa norma hukum memiliki suatu hirarki atau tata susunan yang bersumber dari
norma hukum dasar (grundnorm), yaitu
norma tertinggi yang ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat.[2]
Nawiasky kemudian mengembangkan teori pertingkatan hukum Hans Kelsen. Melalui
bukunya ”Allgemeine Rechtslehre”, Nawiasky berpendapat bahwa norma hukum di
suatu negara didasarkan atas suatu norma hukum yang bersifat pre-supposed atau ditetapkan terlebih
dahulu yang disebut sebagai Staatsfundamentalnorm.
Norma ini yang menjadi dasar filosofis bagi pembentukan
konstitusi suatu negara dan kaedah dasar bagi praktek penyelenggaraan negara.[3]
Jika dikaitkan dengan sistem hukum
Indonesia, dapat dikatakan bahwa Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD
1945 merupakan Staatsfundamentalnorm
sebagai norma hukum yang tertinggi dalam sistem hukum Indonesia. Hal ini
terdapat dalam Penjelasan angka III UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut:
”Undang-undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan dalam pasal-pasalnya. Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) Yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum Yang tertulis (Undang-Undang, Dasar) maupun hukum Yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya.”
Mengenai hal tersebut, Prof. Hamid Attamimi berpendapat bahwa pokok
pemikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 mencerminkan Pancasila yang
kemudian menciptakan pasal-pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945. Prof. Hamid
Attamimi menambahkan bahwa:[4]
”Pancasila dalam kedudukannya sebagai Cita Hukum (rechtside) rakyat Indonesia merupakan ”bintang pemandu” yang memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan yang memberikan isi kepada peraturan perundang-undangan sekaligus membatasi ruang gerak peraturan perundang-undangan.”
Lebih
lanjut, Prof. Mahfud MD berpendapat bahwa kedudukan Pancasila sebagai Cita
Hukum melahirkan suatu kaidah penuntun dimana hukum yang dibuat di Indonesia
harus ditujukan untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pembangunan ekonomi tidak didasarkan atas ideologi liberalisme, melainkan
menganut prismatika antara individualisme dan kolektivisme berdasarkan asas
ekonomi kerakyatan, kesejahteraan umum dan keadilan sosial.[5]
Kedudukan Pancasila sebagai Cita Hukum memberikan konsekuensi bahwa
Pancasila memberikan arahan pembentukan politik hukum agar berorientasi kepada
tujuan negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka negara
diberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosial. Hal ini
sejalan dengan teori welfare staat
(negara kesejahteraan) yang dianut dalam Pembukaan UUD 1945, dimana negara
tidak hanya sekedar sebagai penjaga stabilitas keamanan semata (nacht-wachter staat), namun juga
memiliki peran sebagai penyelenggara perekonomiaan nasional, pembagi
jasa-jasa, penengah bagi berbagai
kelompok yang bersengketa, dan ikut aktif dalam
berbagai bidang kehidupan lainnya.[6] Teori welfare
staat juga disinggung oleh W Friedmann yang mengemukakan teori mengenai
fungsi negara. Friedmann
membagi fungsi negara ke dalam empat tipe: (a) negara sebagai penyelenggara
kebutuhan masyarakat; (b) negara sebagai regulator, dalam arti bahwa negara
memiliki kekuasaan untuk mengatur; (c) negara sebagai pengusaha; dan (d) negara
sebagai wasit. Dimana dalam
bukunya Friedmann menulis sebagai berikut:[7]
“in dealing with the ‘state’…, I will… as a focus of centralized power, which results from the balance between various contending social and economic interest, and as the embodiment of certain ideas of justice and public interest encompassing the community as a whole.”
Dengan demikian, secara
filosifis, Pancasila memberikan kekuasaan kepada negara untuk campur tangan
dalam kehidupan masyarakat, demi mewujudkan kesejahteraan sosial. Jika
dikaitkan dengan bidang sumber daya alam, maka campur tangan negara
dielaborasikan dalam bentuk penguasaan negara atas sumber daya alam dengan
tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Prof. Pajudi Atmosudirdjo,
agar campur tangan negara dapat dilaksanakan dalam koridor tujuan yang telah
ditetapkan, maka campur tangan negara harus diberi bentuk hukum. hal ini
bertujuan agar pelaksanaannya tidak menimbulkan keragu-raguan serta memudahkan
penyelesaian konflik nantinya.[8]
Negara memiliki kekuasaan untuk
membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, serta peraturan yang melarang
pula penghisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal.[9]
Hakekat sumber daya alam yang dikuasai oleh negara, jika dikaitkan dengan
faktor-faktor produksi yang mengusasai hajat hidup orang banyak, Prof. Jimly
memberikan 4 (empat) kategori sumber kekayaan yang dikaitkan dengan penguasaan
negara, yaitu:[10]
a. Sumber-sumber kekayaan yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak (harus dikuasai oleh pemerintah);
b.
Sumber-sumber kekayaan yang penting bagi negara, namun
tidak menguasai hajat hidup orang banyak (dapat dikuasai oleh Pemerintah);
c.
Sumber-sumber kekayaan yang tidak penting bagi negara,
namun menguasai hajat hidup orang banyak (tidak perlu dikuasai oleh negara);
d.
Sumber-sumber kekayaan yang tidak penting bagi negara
dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak (tidak boleh dikuasai oleh
negara).
Konsep Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Alam dalam UUD 1945
UUD 1945 merupakan konstitusi yang unik.
Berbeda dengan konstitusi di negara-negara Eropa Barat pada umumnya, materi
muatan UUD 1945 selain mengatur persoalan politik ketatanegaraan juga mengatur persoalan
tata kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan.[11]
Keunikan substansi materi muatan konstitusi inilah yang menyebabkan Prof. Jimly
Asshiddiqie mengkategorikan UUD 1945 sebagai konstitusi ekonomi dan juga
konstitusi sosial.[12]
Wheare mengemukakan bahwa terdapat dua pendapat mengenai materi muatan dalam
konstitusi. Pertama, konstitusi
semata-mata hanyalah dokumen hukum, tidak lebih dari itu. Kedua, konstitusi tidak hanya berisi kaedah-kaedah hukum, namun
juga berisi mengenai keyakinan, prinsip dan cita-cita suatu bangsa.[13]
Sementara Struycken berpendapat bahwa undang-undang dasar sebagai konstitusi
tertulis setidaknya memuat hal-hal sebagai berikut:[14]
a. hasil perjuangan politik bangsa di waktu
lampau;
b. tingkat-tingkat tertinggi perkembangan
ketatanegaraan bangsa;
c. pandangan tokoh bangsa yang hendak
diwujudkan, baik untuk sekarang maupun untuk waktu mendatang; dan
d. suatu keinginan mengenai arah perkembangan
kehidupan ketatanegaraan bangsa yang hendak dipimpin.
Sebagaimana yang telah dikemukakan
sebelumnya, secara filosofis, Pancasila memberikan bentuk materi muatan dalam UUD
1945 sebagai grundgesetz untuk
menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. Jika hal tersebut dielaborasikan dalam
pengeloloaan sumber daya alam Indonesia, maka Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
merupakan merupakan landasan bagi penguasaan dan pengelolaan penguasaan sumber
daya alam oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa ”Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan tersebut
menempatkan penguasaan atas bumi, air, ruang angkasa, mencakup juga sumber daya
alam yang terkandung didalamnya oleh negara. Frase ”dikuasai oleh negara”
mengandung implikasi bahwa negara memberikan otoritas penuh kepada pemerintah
untuk mengatur dan mengurus seluruh sumber daya alam, termasuk juga tanah dan
hutan demi kesejahteraan rakyat.[15]
Pada awal masa pembahasan UUD 1945, BPUPKI
menganut prinsip dimana Pemerintah berkewajiban sebagai pengawas dan pengatur
dengan berpedoman pada keselamatan rakyat.[16]
BPUPKI menghendaki agar sumber daya alam tidak boleh menjadi alat kekuasaan
orang-seorang untuk menindas dan memeras hidup orang lain. Sejalan dengan hal
tersebut, Mohammad Hatta merumuskan frase ”dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33
UUD 1945 naskah asli sebagai dikuasai oleh negara yang tidak berarti bahwa
negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ordernemer. Lebih tepat
dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna
kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula penghisapan orang yang
lemah oleh orang yang bermodal.[17]
Sementara Mohammad Yamin mengartikan frase ”dikuasai oleh negara” termasuk
pengertian mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan
mempertinggi produksi dengan mengutamakan bangunan koperasi.[18]
Konsep penguasaan negara atas sumber daya alam ternyata juga dianut dalam Pasal
38 ayat (3) UUDS 1950. Mengenai hal ini Prof. Soepomo berpendapat bahwa
ketentuan pasal tersebut menekankan kepada kewajiban negara dalam mengatur dan
mengelola cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, tidak
hanya dalam arti memproduksi suatu barang, namun juga termasuk sarana
transportasi, distribusi, peredaran dan perdagangan melalui pendirian koperasi.[19]
Dalam perkembangannya, terdapat pendapat
dari beberapa ahli mengenai konsep penguasaan negara atas sumber daya alam yang
dianut dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Prof. Bagir Manan merumuskan suatu
pengertian mengenai hak penguasaan negara yang memiliki ruang lingkup:[20]
(1) penguasaan semacam pemilikan oleh negara,
artinya negara melalui Pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk
menentukan hak wewenang atasnya, termasuk di sini bumi, air, dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya; (2) mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan
dan (3) penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan negara untuk usaha-usaha
tertentu. Sementara menurut Prof. Mahfud MD, frase ”dikuasai” bukan diartikan
dimiliki seperti yang terjadi di negara-negara komunis yang tidak mengakui hak
milik pribadi. Hak menguasai oleh negara diartikan sebagai hak mengatur agar
sumber daya alam dapat dimanfaatkan sesuai dengan amanat konstitusi untuk
mencapai tujuan negara.[21]
Kajian mengenai konsep penguasaan negara
atas sumber daya alam memberikan pengertian bahwa Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
menekankan kepada tanggung jawab negara atas kesejahteraan rakyat melalui
pengaturan dan pengelolaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya agar dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Konsep penguasaan negara atas sumber daya alam kemudian diimplementasikan ke
dalam beberapa undang-undang yang terkait dengan sumber daya alam. UU Nomor 5
Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) secara tegas
menyebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) jo. Pasal 2 ayat (1) bahwa hubungan antara
bangwa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
yang terkandung didalamnya merupakan hubungan yang bersifat abadi dan pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat. Oleh karena itu, hak menguasai negara memberikan kewenangan untuk:[22]
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Selain dalam UUPA, konsep penguasaan
negara atas sumber daya alam juga diimplementasikan dalam UU Nomor 5 Tahun 1967
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. UU No. 5 Tahun 1967 dengan tegas
memberikan wewenang kepada negara untuk:[23]
(1) menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukkan, penyediaan dan penggunaan
hutan sesuai dengan fungsinya dalam memberikan manfaat kepada rakyat dan
Negara; (2) mengatur pengurusan hutan dalam arti yang luas; (3) menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan hutan dan
mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan. Sedangkan UU No.11 Tahun
1967 memberikan ketentuan bahwa:[24]
”Mengenai semua bahan galian yang terkandung di dalam bumi dan wilayah hukum pertambangan Indonesia dinyatakan, bahwa bahan-bahan galian tersebut adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan dikuasai oleh Negara. Pernyataan ini adalah dasar, yang diletakkan dalam Undang- undang Pertambangan ini, sehingga dengan pernyataan ini Negara menguasai semua bahan-bahan galian dengan sepenuh- penuhnya untuk kepentingan Negara serta kemakmuran rakyat, karena bahan-bahan galian tersebut adalah merupakan kekayaan Nasional.”
Penafsiran Konsep Penguasaan Negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 oleh
Mahkamah Konstitusi
Undang-undang dasar sebagai konstitusi
tertulis pada hakekatnya merupakan norma hukum tunggal sehingga hanya memuat
aturan-aturan pokok yang berisi garis-garis besar penyelenggaraan negara.
Sifatnya masih umum dan abstrak, sehingga agar dapat diterapkan dalam suatu peristiwa
yang bersifat konkret, maka norma hukum yang bersifat umum dan abstrak harus
diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan diarahkan agar sesuai dengan
peristiwanya untuk kemudian ditetapkan pada peristiwa tersebut. Prof. Sudikno
Mertokusumo menjelaskan bahwa interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu
metode yang memberikan penjelasan mengenai produk hukum agar ruang lingkup
kaedahnya dapat diterapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.[25]
Sedangkan menurut Prof. Jimly, penafsiran merupakan metode untuk memahami makna
yang terkandung di dalam suatu teks hukum untuk dipakai dalam menyelesaikan
kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkret.[26]
Dalam konstruksi hukum tata negara, metode
penafsiran juga dipakai sebagai sarana perubahan konstitusi, dalam arti
menambah, mengurangi atau memperbaiki suatu norma hukum di dalam konstitusi.
Dalam hal ini, penafsiran dilaksanakan oleh hakim (judicial interpretation). Sebagaimana dikemukakan oleh K.C.
Wheare, dimana undang-undang dasar dapat diubah melalui:[27]
(1) formal amendment; (2) judicial interpretation; dan (3) constitutional usage and conventions.
Eksistensi Mahkamah Konstitusi dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan salah satu hasil reformasi hukum
dalam Perubahan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal demokrasi dan
konstitusi (guardian of democration and
constitution) lahir dari ide pengujiaan undang-undang (constitutional ajudication) untuk menguji konstitusionalitas suatu
undang-undang, yang sebenarnya telah dikemukakan ketika naskah UUD 1945 disusun
di BPUPKI.[28] Pengujian undang-undang atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai toetsingrecht, adalah pengujian
konstitusinalitas suatu undang-undang terhadap undang-undang dasar. Jika
undang-undang tersebut terbukti bertentangan dengan undang-undang dasar, maka
undang-undang tersebut dapat dinyatakan tidak berlaku mengikat secara umum.[29]
Pengujian undang-undang dapat dilakukan secara formil, maupun secara materiil.
Pengujian secara materiil dilakukan terhadap materi muatan undang-undang,
sedangkan pengujian secara formil dilakukan selain terhadap materi muatan,
seperti misalnya proses terbentuknya maupun proses pengundangan.[30]
Sampai saat ini, Mahkamah Konstitusi telah
melakukan mengeluarkan beberapa putusan pengujian undang-undang yang terkait
dengan sumber daya alam. Di dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi melakukan
penafsiran terhadap Pasal 33 UUD 1945, terutama berkaitan dengan konsep
penguasaan negara atas sumber daya alam. Bagian selanjutnya akan menganalisis
putusan pengujian undang-undang yang berkaitan dengan sumber daya alam, yakni
pengujian UU Nomor 20 Tahun 2003 Ketenagalistrikan, UU Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi dan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
1.
Putusan Mahkamah Konstitusi No.
001-021-022/PUU-I/2003
Putusan ini merupakan putusan yang atas 3
(tiga) perkara Permohonan Uji Formil dan
Uji Materiil Pasal 8 ayat (2) jo. Pasal 16 jo. Pasal 30 ayat (1) Undang-undang
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Ketenagalistrikan. Putusan tersebut dibacakan
tanggal 15 Desember 2004. Pemohon
dalam perkara ini adalah: (a) Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia (APHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia
(PBHI) dan Yayasan 324, Pemohon perkara No. 001/PUU-I/2003; (b) Ir. Ahmad
Daryoko dan M. Yunan Lubis, SH., Pemohon perkara No. 021/PUU-I/2003; dan (3)
Ir. Januar Muin dan David Tombeng, SH., Pemohon perkara No. 022/PUU-I/2003.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi
menolak Permohonan Uji Formil UU No. 20 Tahun 2003 dalam Perkara No.
001/PUU-I/2003. Namun, Mahkamah Konstitusi mengabulkan Permohonan Uji Materiil untuk
seluruhnya dengan menyatakan bahwa UU No. 20 Tahun 2003 inkonstitusional dan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam proses pengambilan keputusan, Mahkamah Konstitusi memberikan
penafsiran frase ”dikuasai oleh negara” yang terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945
sebagaimana yang tertuang dalam amar putusannya sebagai berikut:[31]
”Pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi)....Pengertian “dikuasai oleh negara” juga tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal dimaksud sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam undang-undang dasar.....Perkataan ”dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan yang dimaksud.”
Berdasarkan konstruksi pemikiran diatas,
Mahkamah konstitusi memberikan perluasan makna ”dikuasai oleh negara” sebagai
bukan hanya sebagai hak untuk mengatur. Menurut Mahkamah Konstitusi, rakyat
secara kolektif memberikan kekuasaan kepada negara untuk melakukan serangkaian
tindakan pengelolaan sumber daya alam untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat yang meliputi 5 (lima) fungsi penguasaan negara. Pertama, kebijakan (beleid)
oleh negara melalui Pemerintah dalam merumuskan perencanaan penguasaan negara
atas sumber daya alam yang dituangkan dalam kebijakan-kebijakan di bidang
sumber daya alam. Kedua, fungsi
pengurusan (bertuurdaad) oleh negara
dilakukan melalui Pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan dan
mencabut fasilitas perizinan (vergunning),
lisensi (licentie) dan konsesi (consessie). Ketiga, fungsi pengaturan (regelendaad) oleh negara dilakukan
melalui kewenangan pembentukan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Keempat, fungsi pengelolaan (beheerdaad) yang dilakukan melalui
mekanisme kepemilikan saham (share-holding)
dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN atau BHMN dalam
mendayagunakan penguasaan sumber daya alam. Kelima, fungsi pengawasan (toezichthoudensdaad)
oleh negara melalui Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan
pelaksanaan penguasaan negara atas sumber daya alam agar benar-benar ditujukan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Lebih lanjut, putusan ini juga memberikan
landasan konstitusional mengenai kepemilikan privat oleh negara. Mahkamah
Konstitusi mengemukakan bahwa konsepsi kepemilikan perdata juga harus diakui
sebagai salah satu konsekuensi logis dari penguasaan negara yang mencakup juga
pengertian kepemilikan publik atas sumber daya alam yang dimaksud.[32]
Konstruksi ini mendeskripsikan bahwa kepemilikan privat oleh negara melalui
BUMN atau BHMN atau pun badan usaha lainnya dalam pengelolaan sumber daya alam
juga tercakup dalam pengertian penguasaan oleh negara. Kepemilikan dalam bentuk
saham (share-holding) oleh negara
tidak mutlak harus 100%, asalkan penguasaan oleh negara melalui Pemerintah tetap
menentukan proses pengambilan keputusan atau penentuan kebijakan dalam badan
usaha yang bersangkutan.[33]
Dengan demikian, UUD 1945 menurut Mahkamah Konstitusi tidak menolak
privatisasi, sepanjang privatisasi tersebut tidak meniadakan penguasaan negara
sebagai penentu kebijakan pengelolaan sumber daya alam.
Dalam konteks UU No. 20 Tahun 2003,
Penerapan sistem pemecahan usaha (unbundling
system) dalam bidang usaha ketenagalistrikan sebagaimana yang dianut dalam
Konsiderans dan Pasal 16 UU No. 20 Tahun 2003 menurut Mahkamah Konstitusi
bersifat inkonstitusional. Penerapan unbundling
system yang memberikan kesempatan kepada swasta sebagai bentuk efisiensi
pelayanan akan bermuara kepada tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua
lapisan masyarakat, baik yang bersifat komersial maupun non-komersial. Moh.
Hatta yang menyatakan bahwa negara harus memperkuat posisi perusahaan negara
agar kemudian secara bertahap akhirnya dapat menyediakan sendiri kebutuhan yang
merupakan hajat hidup orang banyak dan menggantikan kedudukan perusahaan
swasta, baik nasional maupun asing. Sejalan dengan pendapat tersebut, maka
Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat bahwa tenaga listrik yang sampai saat
ini masih merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak harus tetap dikuasai oleh negara, dalam arti harus
dikelola oleh negara melalui perusahaan negara yang didanai oleh Pemerintah.[34]
Dengan demikian, partisipasi swasta dalam bidang ketenagalistrikan hanya
dilakukan melalui kemitraan, penyertaan modal, atau pinjaman kepada perusahaan
negara, dalam hal ini PLN.
2.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-I/2003
Putusan ini merupakan putusan perkara
Permohonan Uji Formil dan Uji Materiil UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi. Pemohon dalam perkara ini adalah APHI, PBHI, Yayasan 234,
Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), SP KEP-FSPSI Pertamina, dan Dr. Ir. Pandji R.
Hadinoto, PE, MH. Dalam Putusan yang dibacakan tanggal 21 Desember 2004,
Mahkamah Konstitusi menolak Permohonan Uji Formil dan mengabulkan Permohonan
Uji Materiil Para Pemohon untuk sebagian dengan menyatakan Pasal 12 ayat (3),
sepanjang mengenai kata-kata ”diberi wewenang”; Pasal 22 ayat (1) sepanjang
mengenai kata-kata ”paling banyak”; dan Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU No. 22
Tahun 2001 inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangan hukumnya, Putusan ini juga
memberikan konstruksi penafsiran frase ”dikuasai oleh negara” sebagaimana yang
terdapat dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 tanggal 15 Desember 2004. Namun, terdapat beberapa hal yang menarik yang
dapat dikaji dalam pertimbangan hukum Putusan ini. Pertama,
berbeda dengan unbundling system yang
diterapkan dengan UU No. 20 Tahun 2003. Menurut Mahkamah Konstitusi unbundling system dalam Pasal 10 UU No.
22 Tahun 2001 harus dipahami untuk mencegah terjadinya pemusatan penguasaan
migas dalam satu tangan, sehingga mengarah kepada monopoli yang merugikan
kepentingan masyarakat. Selain itu, jika dikaitkan dengan Pasal 61 Ketentuan
Peralihan, dapat ditafsirkan bahwa peralihan yang dimaksud terbatas pada status
Pertamina untuk menjadi persero dan tidak menghapuskan keberadaannya sebagai
Badan Usaha yang masih tetap melakukan kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha
hilir, meskipun untuk usaha hilir dan hulu tersebut harus dilakukan oleh dua
Badan Usaha “Pertamina Hulu” dan “Pertamina Hilir” yang keduanya tetap dikuasai
oleh negara.[35]
Kedua, Mahkamah
Konstitusi menyatakan Pasal 28 ayat (2) yang menyatakan bahwa harga bahan bakar
migas diserahkan kepada mekanisme pasar adalah bersifat inkonstitusional.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa campur tangan Pemerintah dalam kebijakan
penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang
produksi yang penting dan/atau menguasai
hajat hidup orang banyak, sehingga seharusnya harga bahan bakar migas
ditetapkan oleh Pemerintah dengan mempertimbangkan kepentingan golongan
masyarakat tertentu dan mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang sehat
dan wajar.[36]
Ketiga, Mahkamah
Konstitusi juga menyatakan bahwa Pasal 22 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2001 yang
mewajibkan badan usaha di bidang migas untuk menyerahkan paling banyak 25% (dua
puluh lima persen) bagiannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri bersifat
inkonstitusional. Menurut Mahkamah Konstitusi, berdasarkan prinsip
sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, menilai bahwa
prinsip sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam cabang produksi migas mengandung
pengertian bukan hanya harga murah maupun mutu yang baik, tetapi juga adanya
jaminan ketersediaan BBM dan pasokan bagi seluruh lapisan masyarakat.[37]
Dengan demikian, seharusnya ketentuan Pasal 22 ayat (1) tidak hanya memberikan
pagu atas tanpa memberikan pagu bawah penyerahan bagian produksinya, sehingga
kata-kata ”paling banyak” dalam pasal tersebut harus dihapuskan.
3.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 058-059-060-063/PUU-II/2004
dan No. 008/PUU-III/2005
Putusan ini merupakan putusan atas 5
(lima) perkara Permohonan Uji Formil dan Uji Materiil UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Pemohon dalam perkara tersebut adalah: (a) Munarman, SH., Ketua YLBHI (perkara
No. 058/PUU-II/2004); (b) Longgena Ginting, Ketua WALHI (Perkara No.
059/PUU-II/2004); (c) Zumrotun (Perkara No. 060/PUU-II/2004); (d) Suta Widhya
(Perkara No. 063/PUU-II-2004); dan (e) Suyanto (Perkara No. 008/PUU-III/2005).
Dalam putusan yang dibacakan tanggal 19 Juli 2005, Mahkamah Konstitusi menyatakan
menolak Permohonan Uji Formil dan Uji Materiil Para Pemohon. Dalam pertimbangan
hukumnya, Mahkamah Konstitusi memberikan dasar-dasar pemikiran sebagai berikut:[38]
a.
Secara internasional melalui Piagam World Health Organization (1946), Universal Declaration of Human Rights
dan International Covenants on Economic,
Social and Cultural Rights (ICESR), akses terhadap pasokan air bersih telah
menjadi bagian dari hak asasi manusia. Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban
negara untuk menghormati (to respect),
melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak asasi manusia. Hak atas
air tidak hanya menyangkut terlindunginya hak yang telah dinikmati seseorang
dari pelanggaran oleh orang lain, tetapi juga menjamin kepastian bahwa sebagai
hak asasi harus benar-benar dapat dinikmati. Dengan demikian, perlindungan hak dalam aspek ini tidak dapat dipisahkan
dengan pemenuhan terhadap hak yang diakui;
b. Air tidak hanya diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia secara langsung saja. Sumber daya yang terdapat pada
air juga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti pengairan untuk
pertanian, pembangkit tenaga listrik,
dan untuk keperluan industri. Pemanfaatan sumber daya air tersebut juga
mempunyai andil yang penting bagi kemajuan kehidupan manusia, dan menjadi
faktor yang penting pula bagi manusia untuk dapat hidup secara layak;
c. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi
landasan konstitusional yang memberikan dasar bagi keterlibatan negara secara
aktif dalam perencanaan pengelolaan sumber daya air yang tujuannya untuk
menjamin ketersediaan air bagi masyarakat. Perencanaan tersebut menyangkut
banyak hal di antaranya adalah usaha konservasi sumber air, yang pada dasarnya
merupakan campur tangan manusia dalam siklus hidrologis, agar air tersedia
dengan cukup pada saat air diperlukan oleh manusia;
d. Sumber daya air adalah res commune, sehingga pengaturannya
harus dimasukkan dalam sistem hukum publik dan tidak dapat dijadikan obyek
kepemilikan perdata. Selain itu, karena hak atas air merupakan turunan dari
Pasal 28H dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka pengaturan mengenai air
mempunyai kekhususan yang berbeda dengan sumber daya alam lainnya.
Berdasarkan konstruksi pemikiran diatas,
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan Pasal 11 ayat (3) UU No. 7
Tahun 2004 yang memberikan konsep pola pengelolaan sumber daya air yang melibatkan
peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya cukup mencerminkan keterbukaan
dalam penyusunan pola pengelolaan sumber daya air. Mengenai konsep hak guna
air, Mahkamah Konstitusi berpendapat sebagai berikut:[39]
”Konsep Hak Guna Air sedemikian ini sesuai dengan konsep bahwa air adalah res commune yang tidak menjadi objek harga secara ekonomi. Hak Guna Air mempunyai dua sifat. Pertama, pada hak guna pakai hak tersebut bersifat hak in persona. Hal dimaksud disebabkan hak guna pakai adalah pencerminan dari hak asasi, oleh karenanya hak tersebut melekat kepada subjek manusia yang sifatnya tak terpisahkan. Kedua, pada Hak Guna Usaha Air adalah hak yang semata-mata timbul dari izin yang diberikan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, dan sebagai izin maka terikat oleh kaidah-kaidah perizinan...”
Dengan
pertimbangan hukum sebagaimana dikemukakan diatas, maka Mahkamah Konstitusi
menyatakan menolak Permohonan Uji Formil dan Uji Materiil Para Pemohon.
Terdapat dua hal menarik yang patut dicatat dalam Putusan ini. Pertama, adanya klausul conditially constitutional. Klausul ini
memberikan konstruksi Pemerintah haruslah memperhatikan pendapat Mahkamah
Konstitusi yang telah disampaikan dalam pertimbangan hukum. Sehingga, apabila pelaksanaan UU No. 7
Tahun 2004 ditafsirkan lain, maka tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian
kembali.
Kedua, adanya dua dissenting opinion (pendapat berbeda)
dari dua Hakim Konstitusi. Hakim Abdul Mukhtie Fadjar menyatakan bahwa dalam
tataran paradigmatik, pengaturan oleh negara atas sumber daya air seharusnya
hanya menyangkut pengaturan dalam pengelolaan sumberdaya air, agar air dapat
digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) hak manusia atas air yang
secara universal sudah diakui sebagai hak asasi manusia.[40] Pemberian hak tertentu kepada swasta
dikawatirkan akan menimbulkan privatisasi terselubung, sehingga mendistorsi
ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Lebih lanjut menurt Hakim Abdul Mukhtie
Fadjar, UU No. 7 Tahun 2004 harus direvisi terlebih dahulu dulu agar lebih
menekankan kepada dimensi sosial dan lingkungan dari pada dimensi ekonominya,
jika tidak, UU SDA akan inkonstitusional, sebab paradigmanya tidak sejalan
dengan paradigma Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Dissenting opinion lainnya dikemukakan
oleh Hakim Maruarar Siahaan yang menyatakan bahwa UU No. 7 Tahun 2004 membuka
peluang privatisasi sumber daya air. Pengaturan hak asasi rakyat atas akses
terhadap air tidak boleh disejajarkan dengan hak guna usaha, yang diberikan
kepada swasta. Hal ini karena, hak guna usaha akan memiliki sifat eksklusifitas
yang dapat dipertahankan terhadap siapapun. Sumber daya air memiliki fungsi
sosial, lingkungan dan ekonomis. Oleh karena itu, penyerahan hak guna usaha air
kepada swasta yang profit-oriented,
tidak dapat diharapkan untuk mengabdikan dirinya bagi pelayanan publik yang
bersifat sosial. Alasan yang dikemukakan bahwa Pemerintah tidak mempunyai modal
dan kemampuan untuk mengelola air minum, adalah satu alasan yang tidak tepat
untuk menyerahkan pengelolalan pada swasta, karena swasta juga tidak memiliki
modal sendiri dalam pengelolaan tersebut melainkan memanfaatkan sumber modal
dari perbankan.[41]
PENUTUP
Konsep
penguasaan negara atas sumber daya alam secara filosofis berangkat dari konstruksi
Pancasila yang memberikan kekuasaan kepada negara untuk campur tangan dalam
kehidupan masyarakat. Campur tangan negara tersebut kemudian memberikan bentuk
pengaturan konsep penguasaan negara atas sumber daya alam kedalam Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945 demi mewujudkan tujuan negara sebagaimana yang diamanatkan dalam
Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, penguasaan negara tersebut tidak dapat
dipisahkan dari tujuannya, yakni untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang
mana menghendaki agar sumber daya alam tidak boleh menjadi alat kekuasaan
orang-seorang untuk menindas dan memeras hidup orang lain.
Dari
analisis pengertian konsep penguasaan negara atas sumber daya alam, dapat
diambil kesimpulan bahwa konsepsi penguasaan bukan diartikan sebagai
kepemilikan negara, namun sebagai kekuasaan negara dalam membuat peraturan guna
mengatur hubungan-hubungan hukum, pelaksanaan serta pengawasan pemanfaatan
sumber daya alam agar benar-benar dilaksanakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Sejalan dengan hal tersebut, Mahkamah Konstitusi kemudian
menafsirkan konsep penguasaan negara atas sumber daya alam terhadap beberapa
undang-undang yang terkait dengan sumber daya alam. melalui putusan pengujian
undang-undang, Mahkamah Konstitusi memberikan konstruksi penafsiran sebagai berikut:
a. Konsep penguasaan negara mengandung
pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata,
dimana diartikan bukan hanya hak untuk mengatur, namun juga meliputi 5 fungsi
penguasaan negara, yaitu kebijakan (beleid),
pengurusan (bertuurdaad), fungsi
pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(beheerdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad).
b. Konsepsi kepemilikan perdata juga harus
diakui sebagai salah satu konsekuensi logis dari penguasaan negara, dimana
kepemilikan privat oleh negara melalui kepemilikan dalam bentuk saham (share-holding) dalam badan usaha
diperbolehkan sepanjang tidak meniadakan peran negara dalam menentukan proses
pengambilan keputusan atau penentuan kebijakan.
c. Penguasaan negara atas sumber daya alam
tidak dapat dilepaskan dari tujuannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Aplikasi
konstruksi ini terkait dengan sektor minyak dan gas bumi adalah tidak hanya
mencakup tanggung jawab negara dalam menyediakan harga murah maupun mutu yang
baik, tetapi juga adanya jaminan ketersediaan BBM dan pasokan bagi seluruh
lapisan masyarakat. Sedangkan dalam sektor sumber daya air, tanggung jawab
negara bukan hanya sekedar menghormati (to
respect), melindungi (to protect)
dan memenuhi (to fulfill) hak atas
air sebagai bagian dari hak asasi manusia, namun juga termasuk keterlibatan
negara secara aktif dalam perencanaan pengelolaan sumber daya air yang
tujuannya untuk menjamin ketersediaan air bagi masyarakat.
[1]
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Eksekutif
Data Strategis Kehutanan 2009 (Jakarta
:Kementerian Kehutanan Republik Indonesia ,
2009), hal 4.
[2] Hans
Kelsen, General Theorie of Law and State
(1945), sebagaimana dikutip dalam: Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2007), hal 41.
[3] Hans
Nawiasky berpendapat bahwa norma hukum dalam suatu negara dikelompokkan menjadi
4 (empat) kelompok besar, yaitu:
a. Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara), yakni norma
hukum tertinggi yang bersifat pre-supposed
yang merupakan landasan filosofis negara yang mengandung kaidah-kaidah dasar
bagi pengaturan negara;
b. Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara), yakni norma hukum
yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang bersifat garis
besar;
c. Formell
Gesetz (Undang-Undang
Formal), yakni kelompok norma hukum yang lebih konkret dan terpirinci, sehingga
dapat langsung diterapkan di masyarakat; dan
d. Verordnung (Peraturan Pelaksanaan) dan Autonome Satzung (Peraturan Otonom), yakni
norma hukum yang berfungsi untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan lebih
lanjut dalam Formell Gesetz. Verordnung bersumber dari kewenangan
delegasi, sedangkan Autonome Satzung
bersumber dari kewenangan atribusi.
Lebih lanjut baca: ibid, hal 45-56.
[4] A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (1990), sebagaimana
dikutip dalam: Ibid, hal 59.
[5] Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu
(Jakarta: Rajawali Press, 2009), hal 27.
[6] Azhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis Negara Hukum Indonesia, Analisis
Yuridis
Normatif tentang
Unsur-unsurnya (Jakarta:
UI Press, 1995), hal 54
[7] W.
Friedmann, The State and The Rule of Law
in a Mix Economy (1977), sebagaimana dikutip dalam: Makhmud Zulkifli, “Peran
Negara dalam Pengembangan Badan Usaha Milik Negara Melalui Penerapan Prinsip
Good Corporate Governance,” dimuat dalam Jurnal
Studi Manajemen (vol.3 No.1, April 2009).
[8]
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi
Negara, cet.10 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hal 25.
[9] Mohammad
Hatta, Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945 (Jakarta: Mutiara, 1977), hal 2
[10] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hal 95-96.
[11] Yance Arizona, ”Perkembangan
Konstitusionalitas Penguasaan Negara atas Sumber Daya Alam dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi,” dimuat dalam Jurnal
Konsitusi: Ekologi Konstitusi dan
Demokrasi Konstitusional (vol.8 no.3, Juni 2011), hal 258.
[12] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2010), 70.
[13] Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul
Huda, Teori Hukum dan Konstitusi
(Jakarta: Rajawali Pers, 1999), hal 16.
[14] Sri Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi (1987), sebagaimana
dikutip dalam: Novianto Murti Hantoro, “Penafsiran Pasal 33 Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945,” dimuat
dalam http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/14109128.pdf, diakses pada 5 Juli 2012, hal 1.
[15]
William L. Collier, “One Aspect of Land
Affairs: Forestry (MoF) Control’s of the Land of Indonesia !
How did this happen? What should be in the Proposed Land
Law?” (Makalah yang dipresentasikan pada Simposium Nasional Permasalahan
Pertanahan Abad ke 21, disponsori oleh Badan Pertanahan Nasional, diselenggakan
di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ,
13 Desember 2011), hal 15
[16]
Seketariat Negara Republik Indonesia ,
Risalah Sidang Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) (1993), sebagaimana dikutip dalam: Novianto Murti Hantoro,
op.cit, hal 7.
[17] Mohammad
Hatta, op.cit, hal. 28.
[18] Mohammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, cet.6 (Jakarta:
Ghalia, 1982), hal 46.
[19]
William L. Collier, op.cit, hal 12.
[20] Bagir
Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan
Konstitusi Suatu Negara (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 12
[21] Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta:
Pustaka LP3ES, 2007), hal 55.
[22] Indonesia, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, L.N. RI Tahun 1960 Nomor 104. T.L.N. RI Nomor
2403, Pasal 2 ayat (2).
[23] Indonesia, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kehutanan, L.N. RI Tahun 1967 Nomor 8. T.L.N. RI Nomor 2823, Pasal 5 ayat (2).
[24] Indonesia, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan, Penjelasan Umum.
[25] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, ed.5 (Yogyakarta: Penerbit Liberty
Yogyakarta, 2005), hal 169.
[26] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I (Jakarta: Sekretariat
Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2006), hal 273.
[27]
Wheare, Modern Constitutions (1960),
sebagaimana dikutip dalam: Ibid, hal
145.
[28] Jimly
Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata
Negara Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta :
PT Bhuana Ilmu Populer, 2007), hal 581.
[29] Sri
Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia
(1997), sebagaimana dikutip dalam: Ibid,
hal 589.
[30] Ibid
[31]
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, B.N. RI Nomor 102 Tahun 2004, hal
332-334.
[32] Ibid, hal 334.
[33] Ibid, hal 336.
[34] Ibid, hal 348.
[35] Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-I/2003, B.N. RI Nomor 01
Tahun 2005, hal 225.
[36] Ibid, hal 228.
[37] Ibid, hal 230.
[38] Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
058-059-060-063/PUU-II/2004 dan No. 008/PUU-III/2005, hal 486-495.
[39] Ibid, hal 496.
[40] Ibid, hal 507.
[41] Ibid, hal 520.
MantapPPPP..... bagus and referensinya juga ada.. thanks mas.. ijin copas..
BalasHapuskeren mas pembahasannya, ijin kopas yaa
BalasHapusblog nya sangat bagus dan sangat membantu izin copy ya
BalasHapusblog nya sangat bagus dan sangat membantu izin copy ya
BalasHapusBagus tuk referensi para pemangku kebijakan bid. kehutanan baik pusat maupun daerah. Ijin coli ya gan
BalasHapusUU Sumber Daya Air sudah dibatalkan MK
BalasHapuskok nggak bisa di copy sih bang??
BalasHapus