Rabu, 29 Agustus 2012

KEBIJAKAN KEHUTANAN: MENCARI SOLUSI SISTEM PENGELOLAAN HUTAN INDONESIA (Bagian II)


PENDAHULUAN

Pengelolaan hutan yang bijaksana dan terencana merupakan syarat utama tercapainya pemanfaatan hutan dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selama beberapa dekade, kegagalan Pemerintah dalam pengelolaan hutan yang tidak sejalan dengan manfaat hakiki kawasan hutan dituding sebagai faktor utama krisis kehutanan yang mengakibatkan rusaknya ekosistem dan fungsi kawasan hutan. Padahal hutan sebagai modal utama penggerak pembangunan nasional memiliki potensi pemanfaatan yang sangat besar, baik dari segi ekologis, sosial-budaya, dan ekonomis.
Setidaknya terdapat beberapa permasalahan yang dapat ditarik dari praktek kegagalan pengelolaan hutan . Pertama, paradigma pengelolaan hutan selama ini yang cenderung eksploitatif demi mencapai manfaat ekonomis tanpa melihat nilai sosial-budaya, serta ekologis dari kawasan hutan. Kedua, kebijakan pengelolaan hutan tidak bersifat strategis dan multi-sektoral telah menyebabkan tumpang tindih kawasan hutan dengan sektor pembangunan lainnya. Ketiga, konflik antara masyarakat dan sektor swasta muncul sebagai akibat dari ketidakpastian penguasaan lahan dan pemanfaatan sumber daya hutan. Ketiga, desentralisasi menjadi salah satu faktor perlunya peninjauan kembali kerangka pengelolaan kawasan hutan agar dapat dimanfaatkan bagi seluruh masyarakat dan tidak elitis.
Tulisan ini berusaha menganalisis akar masalah dari krisis pengelolaan hutan yang terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, tulisan ini diharapkan dapat mencari jawaban langkah awal reformasi sistem pengelolaan hutan yang mampu mengembangkan seluruh potensi kawasan hutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bangsa Indonesia.
  
PEMBAHASAN
                                                         
Fungsi Hutan dan Peranannya bagi Masyarakat
Sebagai salah satu pilar sistem penyangga kehidupan, kebijakan pengelolaan hutan harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Dari data yang diambil oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Indonesia memiliki total luas hutan sekitar 133.841.805,91 hektar (ha) yang tersebar di 33 (tiga puluh tiga) provinsi di seluruh Indonesia.[1] Dari total jumlah hutan tersebut sebagian besar tersebar di tiga pulau terbesar di Indonesia, yakni sekitar 27.638.995,00 ha tersebar di Pulau Sumatera, 40.892.307,00 ha di Pulau Kalimantan dan 40.546.360,00 ha di Papua. Sedangkan sisanya 3.040.023,97 ha, 2.729.298,00 ha, 11.419.789,895 ha, dan 7.146.109,00 ha berturut-turut  tersebar di Pulau Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Sulawesi serta Kepulauan Maluku. Dari segi jenisnya, luas hutan tersebut kemudian dapat diperinci lagi, yaitu hutan lindung sekitar 31.551.110,40 ha, hutan produksi terbatas sekitar 22.427.298,74 ha, hutan produksi sekitar 36.748.091,98 ha, hutan suaka alam dan pelestarian alam sekitar 19.642.245,57 ha, dan taman buru sekitar 167.632,70 ha.[2]
Dengan luas tutupan hutan yang sedemikian besar tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia memiliki potensi pemanfaatan sumberdaya hutan yang sangat besar. Sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagaimana yang telah dibahas dalam tulisan sebelumnya, dimana Negara c.q. Pemerintah diberikan kekuasaan dalam pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, termasuk juga hutan dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu, pemanfaatan hutan tersebut harus dapat dilakukan secara berkesinambungan, tanpa mengabaikan kemampuan generasi yang akan datang dalam mencukupi kebutuhannya. Selain itu, pemanfaatan hutan harus dapat mendukung perekonomian nasional demi peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia, sesuai dengan dinamika pembangunan nasional dan tanpa mengabaikan kelestarian keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya.
Hutan pada prinsipnya merupakan terjemahan dari kata forrest (Inggris) yang berarti dataran tanah yang bergelombang dan dapat dikembangkan untuk kepentingan di luar kehutanan. Dengler mendefinisikan hutan sebagai berikut:[3]
”sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembapan, cahaya, angin dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan atau pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal)."
Sedangkan pengertian hutan dalam peraturan perundang-undangan terdapat dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yakni sebagai berikut:[4]
”suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.”
Sementara itu, kawasan hutan menurut Pasal 1 butir 3 UU No. 41 Tahun 1999 memiliki definisi yaitu: “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk  dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”.[5] Berdasarkan pengertian hutan dan kawasan hutan dalam UU 41/1999 tersebut, menurut Salim H.S setidaknya terdapat empat unsur yang terkandung, yaitu:[6]
a.       Unsur lapangan yang sukup luas (minimal ¼ ha) yang disebut tanah hutan;
b.      unsur pohon (kayu, bambu, palem), flora dan fauna;
c.       unsur lingkungan; dan
d.      unsur penetapan pemerintah melalui keputusan Menteri Kehutanan;
Selanjutnya menurut Salim, ketiga unsur pertama membentuk suatu persekutuan hidup yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pengertian hutan disini, mengandung konsepsi hukum secara vertikal, karena antara lapangan (tanah), pohon, flora dan fauna, beserta lingkungannya merupakan satu kesatuan yang utuh. Jika ditinjau secara yuridis, terdapat dua konsekuensi logis terkait diterbitkannya penetapan pemerintah. Pertama, diterbitkannya keputusan tersebut memberi kewajiban kepada pemerintah untuk mengurus dan melindungi kawasan hutan, sehingga kawasan tersebut dapat berfungsi dengan baik. Kedua, keputusan tersebut memberi kewajiban kepada masyarakat untuk turut serta dalam perlindungan hutan, namun, apabila masyarakat secara tanpa izin mengubah, mengalihkan, menduduki, atau mempergunakan kawasan hutan, maka akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, tiap kawasan hutan memiliki tingkat kerentanan yang berbeda-beda berdasarkan variasi ekosistem dan bentang alamnya. Oleh karena itu, keputusan penetapan kawasan hutan oleh Pemerintah memungkinkan penetapan rencana pengelolaan hutan yang didasarkan atas karakteristik dan tujuan penetapan kawasan hutan itu sendiri.
Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi seluruh makhluk hidup. Sebagai sebuah ekosistem, hutan Indonesia merupakan rumah bagi sekitar 27.500 spesies tumbuhan berbunga (10 persen dari seluruh tumbuhan dunia), 1.539 spesies burung (17 persen dari seluruh burung di dunia), 515 spesies satwa mamalia (12 persen dari seluruh spesies burung di dunia), dan 270 spesies amfibia (16 persen dari seluruh spesies amfibi di dunia).[7] Sedangkan bagi manusia, hutan memiliki manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, rubuan tahun hutan telah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan sebagai tempat tinggal dan untuk mengambil hasil hutan seperti kayu, rotan, buah-buahan. Selain itu, keanekaragaman hayati dan sumber daya mineral yang ada di kawasan hutan juga dimanfaatkan untuk menghasilkan bahan baku industri. Pemanfaatan hutan juga dapat dioptimalkan dengan pemanfaatan plasma nutfah dan jasa lingkungan, sehingga tidak terbatas pada hasil hutan kayu dan bukan kayu semata.
Sedangkan secara tidak langsung, hutan memiliki beberapa manfaat, yaitu: (1) mengatur tata air; (2) mencegah terjadinya erosi; (3) memberikan manfaat terhadap kesehatan; (4) memberikan rasa keindahan; (5) memberikan manfaat di sektor pariwisata; (6) memberikan manfaat dalam bidang pertahanan-keamanan; (7) menampung tenaga kerja; dan (8) menambah devisa negara. Sementara menurut data dari Kementerian Kehutanan, hutan juga memiliki fungsi-fungsi yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, antara lain:[8]
a.       fungsi ekologis hutan, yaitu sebagai suatu sistem penyangga kehidupan antara lain sebagai pengatur tata air, menjaga iklim mikro, penghasil udara bersih, menjaga siklus makanan, serta sebagai tempat pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya;
b.      fungsi ekonomis, sebagai penghasil barang dan jasa, baik yang terukur seperti hasil hutan berupa kayu dan non kayu, maupun hasil tidak terukur, seperti jasa ekoturisme.
c.       fungsi sosial, sebagai sumber penghidupan dan lapangan kerja, serta kesempatan berusaha bagi sebagian besar masyarakat, terutama yang hidup di dalam dan sekitar hutan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian demi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Permasalahan Pengelolaan Hutan Indonesia
Selama lebih dari tiga dasawarsa kepemimpinan di era orde baru, keadaan hutan Indonesia memiliki potret yang menyedihkan. Paradigma pengelolaan kawasan hutan yang eksploitatif menjadikan hutan dan sumber daya alam yang ada didalamnya sebagai obyek eksploitasi untuk mengejar pembangunan ekonomi tanpa mempedulikan kerentanan ekosistem. Paradigma tersebut tampaknya masih diwarisi oleh Pemerintah saat ini. UU No. 41 Tahun 1999 sebenarnya telah mencoba mengubah paradigma pengelolaan hutan yang tadinya sangat eksploitatif ke arah pengelolaan yang juga menitikberatkan perlindungan sumber daya hutan dan pemberian akses pemanfaatan kawasan hutan bagi masyarakat. Apalagi jika dikaitkan dengan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang mencoba mengembangkan kewajiban Pemerintah dan peran serta masyarakat dalam upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai  bagian terpenting dari unsur pembentuk lingkungan hidup. Namun, tampaknya komitmen Pemerintah dalam kedua undang-undang tersebut hanya berhenti sebatas regulasi semata tanpa ada aplikasi yang memadai.
Secara keseluruhan, pengelolaan hutan Indonesia mengalami krisis yang bersifat multidimensional, mulai dari deforestasi kawasan hutan hingga konflik horizontal di masyarakat. Beberapa permasalahan tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:
a.      Deforestasi
Deforestasi di Indonesia sebenarnya berangkat dari warisan suatu sistem politik dan ekonomi korup yang menganggap bahwa sumber daya alam, khususnya hutan merupakan sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi sebanyak-banyaknya demi mengejar keuntungan pribadi, tanpa mempedulikan akibatnya terhadap kelestarian ekosistem kawasan hutan. Pemanfaatan kawasan hutan selama ini telah membawa ancaman deforestasi yang cukup mengejutkan. Fakta mengatakan bahwa laju deforestasi hutan Indonesia antara tahun 2003-2006 diperkirakan mencapai 1.174.068 ha/tahun, sedangkan untuk kawasan hutan konservasi sendiri, angka deforestasi mencapai 55.616,4 ha/tahun.[9] Deforestasi disebabkan karena berbagai hal, diantaranya kebakaran hutan, penebangan liar (illegal logging), perambahan hutan secara ilegal, konversi hutan untuk tempat tinggal, indutri serta kegiatan pembangunan lainnya dan kesalahan pengelolaan. Dengan angka deforestasi hutan yang sedemikian besar, tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan pemanfaatan hutan selama ini telah membawa kepada hilangnya ekosistem kawasan hutan.

b.      Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan umumnya terjadi di hutan Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran hutan diduga terjadi, baik secara disengaja maupun secara alami. Secara alami, kebakaran hutan diduga sebagai konsekuensi adanya endapan kayu arang. Namun, belakangan ini diketahui bahwa kebakaran hutan lebih disebabkan oleh faktor deforestasi yang sangat tinggi. Kebakaran hutan secara sengaja pada umumnya lebih untuk kegiatan perladangan, maupun pembukaan lahan untuk tujuan lainnya. Kebakaran hutan tidak dapat disangkal menimbulkan kerugian yang cukup besar, baik dari segi ekonomi maupun konservasi yang meliputi rusaknya habitat dan ekosistem hutan, pencemaran udara, gangguan penerbangan, gangguan kesehatan, kematian, maupun rusaknya harta benda. Sepanjang tahun 2009 saja, luas total kebakaran hutan diprediksi mencapai 283,40 ha, yang diantaranya terdiri dari: (1) hutan lindung 15.60 %; (2) hutan produksi 23.98 %; (3) hutan suaka alam 10.86 %; (4) taman wisata alam 1.56 %; (5) taman nasional 46.1 %; (6) tahura 0.31 %; (7) taman buru 0.86 %; (8) hutan masyarakat 0.39 %.[10] Sedangkan pada tahun 2003 dan 2006 kejadian kebakaran hutan paling luas di kawasan hutan produksi, dan pada tahun 2004, 2006, 2007, 2008 dan 2009 kejadian kebakaran hutan paling luas di kawasan Taman Nasional. Pada tahun 2005 kebakaran hutan paling luas di kawasan Hutan Lindung.

c.       Kebijakan Otonomi Daerah
Instrumen kebijakan perimbangan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, baik dalam UU No. 22 Tahun 2009 maupun UU No. 32 Tahun 2004 telah memberikan porsi kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya alam yang ada di wilayahnya. Hal ini tentu saja memberikan keleluasaan kepada daerah dalam mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, termasuk dalam sektor kehutanan. Namun sayangnya, orientasi pemanfaatan hutan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah tidak mengutamakan unsur konservasi dan kelestarian ekosistem. Pemanfaatan hutan seringkali disalahartikan sebagai eksploitasi besar-besaran seluruh sumber daya hutan yang tentunya mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah.

d.      Konflik Agraria
Konflik agraria terjadi akibat adanya sengketa penggunaan lahan kehutanan yang terjadi antara masyarakat adat, para transmigran, kegiatan perkebunan, kegiatan pertambangan maupun kegiatan kehutanan itu sendiri. Konflik antara masyarakat sekitar kawasan hutan yang mengklaim hak-haknya atas tanah dan sumberdaya hutan dengan pemerintah maupun perusahaan pertambangan dan perkebunan telah meningkat secara konsisten sepanjang lima belas tahun terakhir.[11] Masyarakat sekitar kawasan hutan yang selama turun-temurun melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan menuntut haknya terhadap akses kawasan hutan yang telah diberikan konsesi baik kepada perusahaan pertambangan maupun perkebunan. Tidak adanya batas lahan yang jelas serta wilayah konsesi yang terlalu luas menjadi faktor utama penyebab konflik horizontal tersebut. Konflik atas pemanfaatan terhadap hutan dan sumberdaya alam tersebut akan tetap menjadi konflik laten, kecuali jika ada satu usaha serius dan terorganisir untuk merasionalisasi Kawasan Hutan Negara melalui strategi tindakan yang jelas.

e.      Penebangan Liar (Illegal Logging) dan Penambangan Liar (Illegal Mining)
Timbulnya kegiatan penebangan liar lebih banyak dilatarbelakangi oleh lemahnya penegakan hukum dan buruknya sistem perekonomian. Ketika krisis ekonomi melanda tahun 1998, terjadi PHK besar-besaran yang menyebabkan masyarakat kemudian beralih mencari nafkah dengan melakukan kegiatan penebangan liar (illegal logging). Selain itu, kegiatan penebangan liar juga tidak jarang dilakukan oleh perusahaan besar yang tidak memiliki izin. Diduga kerugian negara akibat penebangan liar mencapai miliaran rupiah, belum lagi kerugian akibat hilangnya tegakan serta habitat satwa liar, khususnya satwa liar yang dilindungi. Sama halnya dengan penebangan liar, kegiatan penambangan liar pada umumnya dilakukan secara tradisional oleh masyarakat sekitar hutan.maupun perusahaan pertambangan skala kecil yang tidak memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Namun, tidak jarang pula dilakukan oleh perusahaan pertambangan besar yang bersekongkol dengan aparat pemerintahan setempat. Contoh paling nyata kegiatan penambangan liar adalah tambang bijih emas di kawasan Daerah Aliran Sungai atau biasa disebut dengan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI).

f.        Kerusakan Lingkungan
Kegiatan pertambangan seringkali menjadi penyebab rusaknya kelestarian lingkungan di kawasan hutan. Kerusakan tersebut terjadi baik pada masa penambangan maupun pasca tambang. Dampak lingkungan ini sangat terkait dengan penerapan teknologi dan teknik pertambangan yang digunakan. Pada masa penambangan, permasalahan seringkali berkaitan dengan pembuangan limbah (dumping), hilangnya biodiversity (keanekaragaman hayati) akibat pembukaan lahan, maupun adanya air asam tambang. Sedangkan masa pasca tambang, banyak perusahaan yang kemudian meninggalkan wilayah pertambangannya apabila tidak terdapat kandungan bahan tambang atau cadangannya telah habis. Oleh karena itu, kebijakan reklamasi pasca tambang harus memiliki aturan yang jelas serta pengawasan yang ketat dari aparat pemerintah.

g.      Tumpang Tindih Lahan Pemanfaatan Hutan dan Kegiatan Pertambangan
Permasalahan lain yang tidak kalah penting adalah tumpang tindih antara lahan pertambangan dan kehutanan. Hutan merupakan rumah bagi ribuan organisme alami dan tempat bagi senyawa-senyawa organik yang membusuk. Setelah melalui periode yang cukup panjang, senyawa organik yang membusuk tersebut tertimbun di dalam tanah dan menghasilkan mineral-mineral organik yang berpotensi menjadi bahan tambang. Oleh karena itu, kawasan hutan merupakan salah satu tempat paling strategis untuk pertambangan.
Berlakunya UU No. 41 Tahun 1999 telah menyebabkan ketidakpastian status antara kawasan hutan dan pertambangan. Sebelum berlakunya UU No. 41 Tahun 1999, tidak ada ketentuan yang dengan tegas melarang kegiatan pertambangan di kawasan hutan. Namun, sejak berlakunya UU No. 41 Tahun 1999, kegiatan pertambangan dilarang di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung yang tengah berlangsung. Untuk itu, pemerintah kemudian menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 yang ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004   pada intinya melegalisasi semua izin pertambangan di kawasan hutan lindung yang sudah berlangsung sebelum ditetapkannya UU No. 41 Tahun 1999. Namun, sampai saat ini tumpang tindih lahan pemanfaatan hutan antara kegiatan pertambangan dan kegiatan kehutanan masih belum dapat diselesaikan dan tetap terjadi di beberapa daerah.

Desentralisasi Tata Kelola Kehutanan: Sebuah Solusi atau Praktek Baru Eksploitasi Hutan?
Secara universal, proses desentralisasi[12] dapat dikatakan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pola pemerintahan di berbagai negara di dunia, terlepas dari apakah negara tersebut menganut sistem negara kesatuan atau negara federal. Desentralisasi memberikan akses kepada pemerintah daerah untuk mengurus urusan pemerintahannya sendiri berdasarkan kearifan lokal. Hal ini termasuk pula kewenangan dalam melakukan pengelolaan hutan. Beberapa dekade yang lalu, desentralisasi sektor kehutanan bukanlah sebuah persoalan bagi banyak negara. Dalam proposal aksi the Intergovernmental Panel on Forests (IPF, 1995-1997) dan the Intergovernmental Forum on Forests (IFF, 1997-2000), desentralisasi tidak secara eksplisit disebutkan, dan hanya secara tidak langsung muncul pada bagian rekomendasi mengenai partisipasi.[13] Desentralisasi kemudian menjadi sebuah tema di sektor kehutanan setelah berlangsung perubahan politik yang signifikan di sejumlah negara. Namun sesungguhnya, desentralisasi tata kelola kehutanan menjadi salah satu elemen penting dalam hal peningkatan kemanfaatan hutan bagi masyarakat. Dimana dalam UU No. 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa salah satu tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah untuk:[14]
 ”meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal.”
Desentralisasi kehutanan memungkinkan tata kelola kehutanan yang lebih dekat dengan masyarakat dan lebih dapat dipertanggungjawabkan karena adanya mekanisme pengawasan berimbang yang dapat mengontrol penyelewengan yang dilakukan pejabat pemerintah dan sekaligus membuat para pejabat ini lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.[15] Tata kelola ini juga pada gilirannya dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan serta membantu menjaga kesetaraan dan keadilan sosial. Desentralisasi dilaksanakan berdasarkan asumsi bahwa institusi lokal yang demokratis dapat melihat dan merespon kebutuhan lokal dengan lebih baik karena mereka mempunyai akses yang lebih baik terhadap informasi dan lebih mudah dituntut akuntabilitasnya oleh penduduk lokal.[16] Agar penduduk lokal mau meminta akuntabilitas pemegang kewenangan, kewenangan yang mereka pegang dan pelayanan yang bisa mereka berikan harus juga relevan dengan penduduk lokal.
Jika dikaji secara mendalam, terdapat dua pertanyaan utama yang timbul terkait dengan implementasi desentralisasi tata kelola hutan. Pertama, seberapa besar pemberian kewenangan dari pusat ke daerah dalam hal pengelolaan kawasan hutan? Serta seberapa besar efektifitasnya dalam pengembangan pengelolaan kawasan hutan? Di Indonesia, format desentralisasi tata kelola hutan mengalami pasang surut sejak pasca kemerdekaan. Peraturan Pemerintah 64/1957 memberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya hutan di wilayah kerjanya, dan memberikan ijin pemanfaatan kayu kepada Pemerintah daerah Provinsi dalam bentuk:[17]
a.       Konsesi Hutan seluas sampai dengan 10.000 hektar dalam jangka waktu 20 tahun,
b.      Persil Penebangan seluas sampai dengan 5.000 hektar selama 5 tahun, dan
c.       Ijin Tebangan kayu dan pemungutan hasil hutan non kayu lainnya sampai dengan batas tertentu selama 2 tahun. Dengan kewenangan ini pula, Pemerintah Provinsi berhak untuk memungut pajak dan royalty kayu hasil tebangan dan hasil hutan lainnya berdasarkan luas tebangan dan volume hasil hutan yang dipungut.
Desentralisasi tata kelola hutan di Indonesia mengalami kemunduran pada era orde baru yang sentralistik. Sifat sentralistik semakin terlihat dari peran Pemerintah Pusat dalam memberikan Hak Pengusahaan Hutan pada kawasan hutan Produksi yang dialokasikan sekitar 60 juta hektar di seluruh Indonesia.[18] Pada masa ini, eksploitasi hutan ditingkatkan dalam rangka meningkatkan perolehan devisa untuk mengatasi situasi ekonomi nasional yang pada saat itu sangat memprihatinkan. Pemerintah Pusat mengendalikan kegiatan ekploitasi hutan melalui berbagai peraturan dan perencanaan, sementara Pemerintah Daerah hanya menjadi aktor operasional lapangan.
Pada era reformasi, isu desentralisasi tata kelola hutan muncul kembali ke permukaan. Keinginan yang sangat kuat dari elit daerah untuk mengelola sendiri sumber daya alam ada di daerahnya justru menjadi bumerang dalam hal mekanisme koordinasi dan kontrol pengelolaan hutan. UU No. 22 Tahun 1999 yang menjadi acuan tidak secara tegas mengatur hierarki dan hubungan keterkaitan antar tingkatan pemerintah Beberapa urusan kehutanan baik di tingkat pusat, provinsi serta kabupaten/kota tidak berjalan secara harmonis, antara lain dalam hal penetapan kebijakan, serta pemberian izin pemanfaatan hasil hutan, peredaran hasil hutan, pemberian izin pertambangan di dalam kawasan, dan perubahan status dan fungsi kawasan hutan.[19] Pada akhirnya, tumpang tindih penggunaan dan pemanfaatan sering terjadi di kawasan hutan dalam wilayah pemerintahan kabupaten, di mana izin-izin yang telah diatur oleh keputusan Pemerintah Pusat tertumpangi oleh izin-izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten; dan begitupun sebaliknya. Demikian pula tumpang tindih antara kebijakan dan peraturan di bidang kehutanan, baik antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota. Masing-masing level pemerintahan tampak tidak saling berkoordinasi dan cenderung memikirkan kepentingan elit masing-masing.
Ketidakefektifan penyelenggaraan desentralisasi tata kelola kehutanan secara umum juga diakibatkan oleh ketidaksiapan Pemerintah Daerah dalam mengemban kewenangan yang sedemikian besar tersebut. Dibukanya keran desentralisasi pengelolaan kawasan hutan tidak diimbangi dengan dukungan tekis yang memadai. Pemerintah pusat tidak memberikan pedoman mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria yang baku bagaimana pelaksanaan kewenangan tersebut dilakukan, sehingga Pemerintah Daerah cenderung secara diskresional melaksanakan kewenangan pengelolaan tanpa mempertimbangkan unsur eksternalitas dan efisiensi serta keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Selain itu, pemerintah daerah juga cenderung lebih dulu melaksanakan kewenangan yang berkontribusi pada Penerimaan Asli Daerah (PAD) tanpa mempedulikan kewajibannya dalam pelestarian ekosistem kawasan hutan dan konservasi sumber daya alam hayati. Dengan demikian, eksploitasi hutan cenderung tidak terkendali dan malah mengakibatkan tingginya angka deforestasi dan degradasi kawasan hutan.
Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, pengaturan yang lebih cermat dan hati-hati diterapkan pada UU No. 32 Tahun 2004. Undang-undang ini mengamanatkan adanya pembagian urusan pemerintahan yang didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi, dengan tetap memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Dengan demikian, pembagian wewenang atas suatu urusan pemerintahan harus mempertimbangkan:[20]
a.    sampai di manakah eksternalitas pelaksanaan suatu urusan pemerintahan yang dilaksanakan di suatu wilayah pemerintahan akan terjadi;
b.     di level pemerintahan yang manakah bobot tanggung jawab atas pelaksanaan suatu urusan pemerintahan selayaknya diletakkan, dan
c.   di level pemerintahan yang manakah pelaksanaan kegiatan pemerintahan tersebut secara rasional dianggap efisien.
Untuk urusan perencanaan hutan, Pemerintah Pusat berwenang melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat makro nasional, sedangkan Pemerintah Daerah berwenang untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat lokal dengan mengacu pada acuan nasional. Dengan memperhatikan pengalaman masa lalu yang terkait dengan kemampuan teknis Pemerintah Daerah dan anggaran yang ada, maka kewenangan pengukuhan status dan fungsi kawasan hutan serta penyusunan rencana pengelolaan hutan jangka panjang dan menengah berada pada Pemerintah Pusat, sedangkan Pemerintah Daerah hanya berwenang memberikan usulan, pertimbangan, dan rekomendasi. Khusus untuk penyusunan rencana pengelolaan jangka pendek atau tahunan kewenangan penetapan atas rencana ini berada di Pemerintah Provinsi, sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota hanya berwenang untuk memberikan usulan, pertimbangan, dan rekomendasi. Sedangkan demi tercapainya pengelolaan hutan yang lebih efisien serta menyesuaikan dengan karakteristik dan kondisi wilayahnya, maka dibentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai unit terkecil pengelolaan hutan. Luas wilayah KPH ditetapkan oleh Menteri Kehutanan atas usulan Gubernur setempat.[21]
Pertanyaan kedua yang muncul berkaitan dengan penerapan desentralisasi tata kelola hutan adalah: seberapa besar manfaat desentralisasi tata kelola hutan dirasakan secara langsung oleh masyarakat, khususnya masyarakat sekitar kawasan hutan? Dan bagaimana pelaksanaannya dalam mendukung kelestarian ekosistem dan sumber daya alam hayati kawasan hutan? Desentralisasi tata kelola hutan pada hakikatnya berusaha untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat dan untuk mengelola sumber daya hutan secara berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat. Kerangka desentralisasi bertujuan untuk meningkatkan peran aktif masyarakat, khususnya masyarakat sekitar kawasan hutan yang hidupnya bergantung kepada sumber daya hutan.
Namun, yang terjadi selama ini adalah fenomena deforestasi dan degradasi kawasan hutan secara sistematis. Sebelumnya dalam bagian permasalahan pengelolaan hutan telah dijelaskan bagaimana laju deforestasi hutan Indonesia antara tahun 2003-2006 diperkirakan mencapai 1.174.068 ha/tahun. Deforestasi dan degradasi kawasan hutan terjadi secara sistematis, baik akibat kebakaran hutan, illegal logging, maupun alih fungsi hutan menjadi kawasan pertambangan dan perkebunan. Fenomena kebakaran hutan meningkat pada kurun waktu 2005-2009, yakni sekitar 31.122,97 ha, dimana kebakaran paling luas terjadi di Jawa Timur dengan 3.688,28 ha.[22] Sedangkan di sisi lain, beberapa pihak memperkirakan bahwa dampak pertambangan bagi kerusakan kawasan hutan hampir setara dengan 10% total perusakan hutan di Indonesia.[23]
Sebelum diundangkannya UU No. 41 Tahun 1999, setidaknya terdapat sekitar 150 perusahaan tambang yang memiliki Kontrak Karya dan Kuasa Pertambangan yang berada di kawasan hutan. Setelah diundangkannya UU No. 41 Tahun 1999 yang melarang kegiatan pertambangan yang berada di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi, maka terjadi tumpang tindih antara kawasan hutan dan wilayah pertambangan seluas 11 juta hektar, termasuk diantaranya 8,7 juta hektar hutan lindung dan 2,8 juta hektar hutan konservasi.[24] Deforestasi dalam skala yang lebih luas dapat menyebabkan reduksi keanekaragaman hayati dan di banyak tempat terjadi rusaknya ekosistem, erosi tanah, sedimentasi dan penurunan fungsi hidrologis hutan.
Permasalahan lain yang tidak kalah penting adalah konflik antara masyarakat dengan pemegang izin pertambangan maupun perkebunan. Konflik terjadi karena adanya ketidakjelasan mengenai siapa yang berwenang dalam mengelola dan mengontrol kawasan hutan yang berakar dari ketidakjelasan status dan lokasi kawasan hutan serta kewenangan dari Kementerian Kehutanan sendiri. Desentralisasi meningkatkan peran pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD mereka melalui pemberian izin pertambangan maupun perkebunan, baik skala kecil maupun skala besar. Di sisi lain, desentralisasi juga memberikan akses kepada masyarakat lokal, khususnya masyarakat sekitar kawasan hutan menuntut partisipasinya dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan kawasan hutan. Masyarakat lokal berpendapat bahwa hutan seharusnya dikelola berdasarkan sejarah penguasaan kawasan hutan secara turun-temurun.
Pada awal reformasi, usaha untuk mereduksi potensi meningkatnya konflik diatur dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. peraturan ini mengamanatkan perlunya reformasi agraria melalui penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.[25] Oleh karena itu, Pasal 5 ayat (1) Tap MPR No. IX/MPR/2001 juga mengatur mengenai arah kebijakan reformasi agraria, yaitu:[26]
a.       sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam angka sinkronisasi kebijakan antar sektor;
b.      melaksanaan reformasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah;
c.       inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif;
d.      penyelesaian konflik agraria dan mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang;
e.       memperkuat kelembagaan dan kewenangannya;
f.        mengupayakan pembiayaan secara sungguh-sungguh.
  
Paradigma Pengelolaan Hutan: Menuju Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem dan Masyarakat
Sebagai salah satu pilar sistem penyangga kehidupan, kebijakan  pengelolaan hutan harus dilakukan menurut cara yang menjamin keserasian, keselarasan, keseimbangan, serta berkesinambungan baik antara manusia dengan Tuhan sebagai penciptanya, antara manusia dengan masyarakat, maupun antara manusia dengan ekosistemnya. Pengelolaan hutan harus ditujukan tidak hanya untuk memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, namun juga harus mendukung kelestarian ekosistem dan konservasi sumber daya alam hayati.
Pada dasarnya, hutan mempunyai dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, yakni hutan sebagai sumber daya alam dan hutan sebagai ekosistem. Hutan sebagai sumber daya alam menyimpan potensi pemanfaatan yang digunakan untuk tujuan kepentingan pembangunan nasional, sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Sedangkan hutan sebagai ekosistem menjamin kelestarian sumber daya alam hayati yang terdiri dari hewan, tumbuhan yang hidup didalamnya maupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti. Kebijakan pengelolaan hutan harus melihat kedua sisi hutan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam arti bahwa hutan dapat dilindungi, dipelihara, dilestarikan dan dimanfaatakan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik dan keutamaannya, secara optimal demi kepentingan pembangunan nasional.
Dari beberapa permasalahan di sektor kehutanan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa permasalahan muncul sebagai akibat dari masih dianutnya paradigma konvensional pengelolaan kawasan hutan yang cenderung bersifat eksploitatif tanpa melihat karakteristik dan daya dukung ekosistem suatu kawasan hutan. Dalam khasanah teori kehutanan, secara historis metode pengelolaan hutan dapat dibagi kedalam dua metode, yakni metode pengelolaan hutan konvensional dan metode pengelolaan hutan secara modern. Metode pengelolaan hutan konvensional dibagi menjadi penambangan kayu (timber extraction) dan pengelolaan kebun kayu (timber management). Metode timber extraction merupakan sebuah metode pengelolaan hutan yang telah dipraktekkan ribuan tahun sejak masa pra-sejarah. Secara umum, timber extraction adalah suatu metode eksploitasi hutan dengan melakukan penebangan hutan secara besar-besaran tanpa memperhatikan keseimbangan ekosistem, serta dampak negatif yang timbul.[27] Metode ini telah dipraktekkan oleh sejak manusia memiliki teknologi untuk menebang pohon. Dengan ciri eksploitasi yang berlebihan, metode ini tentu saja telah menyebabkan kerusakan hutan serta ekosistem yang fatal.
Karena metode timber extraction telah menyebabkan kerusakan tegakan hutan yang fatal, pada akhirnya paradigma pengelolaan hutan beralih pada metode timber management yang dapat mengembalikan kelestarian kawasan hutan bekas tebangan, dengan tujuan agar dapat menambah produktivitas hasil kayu. Pada tahun 1710, Hans Carl von Carlowitz membuat suatu konsep pengelolaan hutan satu jenis (monokultur). Konsep ini menekankan pada pengembangan produktivitas produksi kayu yang semaksimal mungkin.[28] Dengan konsep monokultur, biaya pengelolaan dapat ditekan serendah mungkin, namun dapat menghasilkan tingkat produksi yang tinggi. Dengan kata lain, sama halnya dengan metode timber extraction, metode ini masih menekankan pada pengelolaan hutan eksploitatif dengan mengejar kepentingan ekonomis, daripada mempedulikan kepentingan ekologis ekosistem kawasan hutan.
Paradigma pengelolaan hutan secara modern berusaha untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan hutan. Pengelolaan hutan secara modern berangkat dari pemikiran dimana pemanfaatan kawasan hutan tidak hanya ditujukan untuk mengejar kepentingan ekonomi semata melalui eksploitasi sumber daya alam, melainkan juga mendukung fungsi ekologis dan sosial kawasan hutan. Fungsi ekologis ditujukan melalui pemeliharaan ekosistem serta konservasi sumber daya alam hayati yang terkandung di dalam kawasan hutan. Sedangkan fungsi sosial ditujukan dalam pengelolaan kawasan hutan yang memberikan manfaat secara langsung bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan. Dengan demikian, metode pengelolaan hutan modern berusaha membuat suatu kerangka pengelolaan hutan yang bertumpu pada perekonomian masyarakat dan mendukung partisipasi aktif masyarakat dalam rangka pengelolaan hutan tanpa mengesampingkan daya dukung ekosistem dan kelestarian lingkungan.
Dalam metode pengelolaan hutan secara modern, terdapat beberapa konsekuensi yang harus diyakini dalam pelaksanaan pengelolaan hutan, yaitu:[29]
a.    Bahwa hutan dan masyarakat setempat tidak dapat dipisahkan. Karena itu orientasi pengelolaan hutan harus berubah dari kepentingan memperoleh keuntungan finansial ke kepentingan dan kebutuhan masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal dikawasan hutan, dimana masyarakat menjadi pelaku utama.
b.  Bahwa hutan merupakan sebuah ekosistem yang bersifat integral. Karena itu, pengelolaan hutan konvensional yang hanya berorientasi pada kayu (timber extraction) harus diubah menuju pengelolaan hutan yang berorientasi pada sumber daya alam yang bersifat multi-produk, baik hasil hutan kayu maupun non kayu, jasa lingkungan serta manfaat hutan lain.
Terdapat beberapa ahli yang mengemukakan teori pengelolaan hutan secara modern. MR. Koelling dari Department of Forestry Michigan State University pernah mengangkat teori Forest Resource Management (FRM). Teori ini menegaskan bawa pemanfaatan hutan yang menjadi bagian dari sistem pengelolaan hutan harus dapat memberikan jaminan bahwa ekosistem hutan dan berbagai sumber daya yang terkandung di dalamnya akan dapat memberikan keuntungan lebih bagi masyarakat dan bagi keseimbangan alam.[30] Selain itu, dikemukakan pula teori Forest Ecosystem Management (FEM) yang menegaskan bahwa pengelolaan hutan harus mampu memelihara ekosistem  lingkungan yang tidak hanya bagi tumbuhan dengan hewan yang hidup disekitarnya, namun juga manusia yang sangat bergantung dengan alam.[31]
Paradigma pengelolaan hutan yang berbasis ekosistem dan masyarakat harus diimplementasikan dalam setiap regulasi dan kebijakan pengelolaan hutan. selain itu, paradigma ini juga harus tercermin dalam sikap dan perilaku para stakeholders agar dapat dilaksanakan hingga level terendah. Dalam UU No. 41 Tahun 1999, paradigma pengelolaan hutan yang berbasis ekosistem dan masyarakat diimplementasikan dalam prinsip pengelolaan hutan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal.[32] Prinsip tersebut kemudian diwujudkan melalui pembinaan dan penyuluhan kehutanan kepada masyarakat serta optimalisasi peran aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Konsep pengelolaan hutan yang bertumpu pada perekonomian masyarakat.  juga telah diakomodir dalam kerangka UU No. 41 Tahun 1999 melalui konsep Social Forestry atau Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).[33] Terdapat beberapa asas yang penting dalam penyelenggaraan Social Forestry, yaitu:[34]
a.       Mampu memberdayakan masyarakat;
b.      terdapat wilayah yang diberikan hak pengelolaan kepada masyarakat;
c.       Penetapan tujuan dan aplikasi social forestry di masing-masing fungsi kawasan hutan;
d.   Merupakan cost sharing, dimana adanya pembagian keuntungan dan biaya antara masyarakat dan pemerintah;
e.       Asas penyelenggaraan menggunakan asas pendekatan (Daerah Aliran Sungai) DAS, artinya dalam suatu DAS terdapat hubungan hulu & hilir. Karena selain adanya on site benefit juga terdapat off side effect, dimana  hutan lindung bisa berpengaruh terhadap fungsi lindungnya.
Social Forestry atau harus mampu mencakup semua bentuk, cara dan skala partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dalam koridor yang dapat menjamin terpeliharanya kelestarian sumber daya hutan yang dikelolanya.[35] Hal ini karena tiap kawasan hutan memiliki karakteristik serta keragaraman ekosistem yang berbeda. Selain itu, kondisi sosiologis dan ekonomi masyarakat juga mempengaruhi bentuk dan format Social Forestry. Konsep Social Forestry dapat diimplementasikan dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan melalui pemberian hak pengelolaan secara terbatas dalam jangka waktu tertentu. Pemberian hak pengelolaan bukan berarti memberikan hak kepemilikan kawasan hutan kepada masyarakat, namun lebih kepada pemberian akses kepada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan. Prioritas pemberian hak pengelolaan harus diberikan kepada di kawasan hutan yang sekarang ini sudah dikelola secara efisien oleh masyarakat dimana biaya transaksi mungkin tidak terlalu tinggi (hak-hak masyarakat adat yang jelas dan karenanya kecil peluang untuk terjadi konflik).[36]

PENUTUP
Selama ini, krisis kehutanan Indonesia berakar dari paradigma pengelolaan hutan yang eksploitatif, sehingga menyebabkan terjadinya berbagai permasalahan pengelolaan hutan. Desentralisasi tata kelola hutan yang diharapkan menjadi jawaban malah menambah rumit permasalahan. Reformasi pengelolaan hutan harus melihat manfaat hutan secara keseluruhan sebagai sistem penyangga kehidupan. Sehingga tujuan pengelolaan hutan tidak hanya mencari manfaat ekonomis dari sumber daya alam yang ada di dalam kawasan hutan, namun harus juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat, serta mendukung kelestarian ekosistem dan konservasi sumber daya alam hayati. Pembangunaan paradigma pengelolaan hutan yang berbasis ekosistem dan masyarakat merupakan langkah awal reformasi sistem pengelolaan hutan Indonesia. Kedepannya, diharapkan paradigma ini harus dapat tercermin dalam setiap regulasi dan kebijakan pengelolaan hutan, serta dalam sikap dan perilaku para stakeholders agar dapat diimplementasikan hingga level terendah pemerintahan.


Catatan:
[1] Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Eksekutif Data Strategis Kehutanan 2009, (Jakarta :Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 2009), hal 4
[2] Ibid, hal 2-4
[3] Salim, H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal 41. 
[4] Indonesia (a), Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,  L.N RI. Tahun 1999 Nomor 167, Pasal 1 butir 2. 
[5] Mengenai pengertian kawasan hutan dalam Pasal 1 butir 3 UU 41/199, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan judicial review Nomor 45/PUU-IX/2011 yang dibacakan tanggal 9 Februari 2012. Putusan ini pada intinya menyatakan bahwa frase ”ditunjuk dan/atau” dalam Pasal 1 butir 3 UU 41/1999 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi berpendapat terdapat ketidaksingkronan antara Pasal 1 butir 3 dengan Pasal 15, dimana Pasal 15 UU 41/1999 menyatakan bahwa penunjukkan merupakan salah satu tindakan dari seluruh rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan. Sehingga frase ”ditunjuk” dalam Pasal 1 butir 3 dapat menimbulkan ketidakpasian hukum yang dapat memungkinkan penetapan suatu kawasan hutan tanpa melalui prosedur yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang melibatkan seluruh stakeholders yang terkait. 
[6] Salim H.S, op.cit. 
[7] Bryant D. Nielsen dan Trangley. L, The Last Frontier Forest: Ecosystem and Economies on the Edge, (Washington: World Resources Institute, 1997) hal 24.  
[8] Sukardi, Ilegal Logging: dalam Perspektif Kasus Papua, cet. 1, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya), hal 13. 
[9] Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, op.cit, hal 21. 
[10] Ibid, hal 161. 
[11] Contreras-Hermosilla, Arnoldo dan Chip Fay, Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia Melalui Pembaruan Penguasaan Tanah: Permasalahan dan Kerangka Tindakan. (Bogor: World Agroforestry Centre, 2006), hal 9. 
[12] Secara yuridis, terminologi desentralisasi diatur dalam Pasal 1 butir 7 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu: ”penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Desentralisasi menurut Maddick, mengandung dua elemen yang berkaitan, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum untuk menangani bidang pemerintahan tertentu. Desentralisasi memungkinkan Daerah Otonom melaksanakan pembentukan dan implementasi kebijakan sendiri pada jenjang organisasi yang lebih rendah. Dengan demikian, Daerah Otonom dapat mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat lokal sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah ini dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi. Lebih lanjut baca: Safri Nugraha, et.al, Hukum Administrasi Negara (Depok: CLGS FHUI, 2007), hal 217-226. 
[13] Carol J. Pierce Colfer dan Doris Capistrano, Politik Desentralisasi: Hutan, Kekuasaan dan Rakyat, Pengalaman di berbagai Negara (Bogor: CIFOR, 2006), hal 1. 
[14] Indonesia (a), op.cit, Pasal 3 huruf d. 
[15] Carol J. Pierce Colfer, dkk, “Kerangka Pikir: Uang dan Keadilan di Wilayah Hutan Asia dan Pasik,” dimuat dalam Pelajaran dari Desentralisasi Kehutanan: Mencari Tata Kelola yang Baik dan Berkeadilan di Asia-Pasifik (Bogor: CIFOR, 2009), hal 1. 
[16] Jesse C. Ribot, “Memilih Perwakilan: Institusi dan Kewenangan (Power) bagi Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Didesentralisasi,” dimuat dalam Politik Desentralisasi: Hutan, Kekuasaan dan Rakyat, Pengalaman di berbagai Negara (Bogor: CIFOR, 2006), hal 107. 
[17] Imam Santoso, “Perjalanan Desentralisasi Pengurusan Sumber Daya Hutan Indonesia,” (Tulisan yang disampaikan pada  Seminar Internasional “Ten Years Along: Decentralisation, land and Natural Resources in Indonesia”, Atma Jaya University, Huma, Leiden University, dan Radboud University. Jakarta 15-16 Juli 2008), hal 2. 
[18] Ibid, hal 3. 
[19] Ibid, hal 4. 
[20] Ibid, hal 7. 
[21] Berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2007 sebagaimana yang diubah dengan PP Nomor 3 Tahun 2008, serta Permenhut P.6/Menhut-II/2009, penetapan KPH dan rencana pengelolaan hutan tingkat KPH disesuaikan dengan pedoman, kriteria dan standar yang telah ditetapkan dalam Rencana Kehutanan baik di tingkat Nasional, Provinsi maupun Kabupaten/Kota berdasarkan persetujuan Menteri Kehutanan. Penetapan organisasi KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL) dan  KPH Produksi (KPHP) lintas Provinsi diserahkan kepada Menteri Kehutanan. Sedangkan penetapan KPHL dan KPHP lintas Kabupaten/Kota diserahkan kepada Gubernur; penetapan KPHL dan KPHP dalam wilayah Kabupaten/Kota diserahkan kepada Bupati/Walikota setempat. 
[22] Kementerian Kehutanan RI, Statistik Kehutanan Indonesia 2009 (Jakarta: Kementerian Kehutanan, 2009), Tabel II.3.5. 
[23] Contreras-Hermosilla, Arnoldo dan Chip Fay, op.cit, hal 9. 
[24] Ibid. 
[25]Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia Nomor IX/MPR/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Pasal 2. 
[26] Ibid, Pasal 5 ayat (1). 
[27] Simon, Pengelolaan Hutan Kolaboratif (1993), sebagaimana dikutip dalam Supratman dan Syamsu Alam, Manajemen Hutan (Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan-Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin, 2009), hal 8-9. 
[28] Ibid, hal 10-13. 
[29] R. Oszaer, ”Pembangunan Hutan Berbasis Ekosistem dan Masyarakat,” http://indonesiaforest.webs.com/hutan_ro.pdf , diakses pada 17 Oktober 2011, hal 3. 
[30] M.R. Koelling,  Forest Resource Management Terminology, 2006, sebagaimana dikutip dalam Abdul Muis Yusuf dan Mohammad Taufik Makarao,  Hukum Kehutanan di Indonesia (Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2011), hal 22 
[31] Scott D Robert dan George R. Parker, Forest Ecosystem Management in the Central Hardwood Region (1994), sebagaimana dikutip dalam ibid. 
[32] Indonesia (a), op.cit, Pasal 3 huruf d. 
[33] Konsep partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan sebenarnya telah diatur dalam Pasal 70. kemdian Pemerintah merumuskan suatu konsep pengelolaan hutan oleh masyarakat yang dinamakan  Social Forestry. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan/atau Sekitar Hutan Dalam Rangka Social Forestry, Pasal 1 butir 4 menyatakan bahwa:
”sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak,yang  memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan.” 
[34] http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/1222, diakses pada tanggal 15 April 2012. 
[35] Dudung Darusman, “Konsep dan Strategi Social Forestry dalam Peningkatan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Desa di Dalam dan Sekitar Hutan (Pokok-Pokok Pemikiran),” (Makalah yang disampaikan pada Seminar Tentang Strategi dan Peningkatan Pemberdayaan Peran Serta Masyarakat dalam Kegiatan Pengusahaan Hutan Produksi, diselenggarakan oleh Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Departemen Kehutanan dan Perkebunan, tanggal 8 Pebruari 2000), hal 3. 
[36] Contreras-Hermosilla, Arnoldo dan Chip Fay, op.cit, hal 58.