PENDAHULUAN
Pengelolaan hutan yang bijaksana dan
terencana merupakan syarat utama tercapainya pemanfaatan hutan dan sumber daya
alam yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selama
beberapa dekade, kegagalan Pemerintah dalam pengelolaan hutan yang tidak
sejalan dengan manfaat hakiki kawasan hutan dituding sebagai faktor utama krisis
kehutanan yang mengakibatkan rusaknya ekosistem dan fungsi kawasan hutan. Padahal hutan sebagai modal utama penggerak
pembangunan nasional memiliki potensi pemanfaatan yang sangat besar, baik dari
segi ekologis, sosial-budaya, dan ekonomis.
Setidaknya terdapat beberapa permasalahan
yang dapat ditarik dari praktek kegagalan pengelolaan hutan . Pertama, paradigma pengelolaan hutan selama
ini yang cenderung eksploitatif demi mencapai manfaat ekonomis tanpa melihat
nilai sosial-budaya, serta ekologis dari kawasan hutan. Kedua, kebijakan pengelolaan hutan tidak bersifat strategis dan
multi-sektoral telah menyebabkan tumpang tindih kawasan hutan dengan sektor
pembangunan lainnya. Ketiga, konflik
antara masyarakat dan sektor swasta muncul sebagai akibat dari ketidakpastian
penguasaan lahan dan pemanfaatan sumber daya hutan. Ketiga, desentralisasi menjadi salah satu faktor perlunya
peninjauan kembali kerangka pengelolaan kawasan hutan agar dapat dimanfaatkan
bagi seluruh masyarakat dan tidak elitis.
Tulisan ini berusaha menganalisis akar
masalah dari krisis pengelolaan hutan yang terjadi di Indonesia. Oleh karena itu,
tulisan ini diharapkan dapat mencari jawaban langkah awal reformasi sistem
pengelolaan hutan yang mampu mengembangkan seluruh potensi kawasan hutan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran bangsa Indonesia.
PEMBAHASAN
Fungsi Hutan dan Peranannya bagi Masyarakat
Sebagai
salah satu pilar sistem penyangga kehidupan, kebijakan pengelolaan hutan harus
dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Dari
data yang diambil oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian
Kehutanan, Indonesia memiliki total luas hutan sekitar 133.841.805,91 hektar (ha) yang tersebar di 33 (tiga puluh tiga) provinsi
di seluruh Indonesia.[1] Dari total jumlah hutan tersebut sebagian besar tersebar di tiga pulau
terbesar di Indonesia, yakni sekitar 27.638.995,00 ha tersebar di Pulau
Sumatera, 40.892.307,00 ha di Pulau Kalimantan dan 40.546.360,00 ha di Papua.
Sedangkan sisanya 3.040.023,97 ha, 2.729.298,00 ha, 11.419.789,895 ha, dan
7.146.109,00 ha berturut-turut tersebar
di Pulau Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Sulawesi serta Kepulauan Maluku. Dari segi
jenisnya, luas hutan tersebut kemudian dapat diperinci lagi, yaitu hutan
lindung sekitar 31.551.110,40 ha, hutan produksi terbatas sekitar 22.427.298,74
ha, hutan produksi sekitar 36.748.091,98 ha, hutan suaka alam dan pelestarian
alam sekitar 19.642.245,57 ha,
dan taman buru sekitar 167.632,70 ha.[2]
Dengan luas
tutupan hutan yang sedemikian besar tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa
Indonesia memiliki potensi pemanfaatan sumberdaya hutan yang sangat besar.
Sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagaimana yang telah dibahas
dalam tulisan sebelumnya, dimana Negara c.q. Pemerintah diberikan kekuasaan dalam
pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, termasuk
juga hutan dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu,
pemanfaatan hutan tersebut harus dapat dilakukan secara berkesinambungan, tanpa
mengabaikan kemampuan generasi yang akan datang dalam mencukupi kebutuhannya.
Selain itu, pemanfaatan hutan harus dapat mendukung perekonomian nasional demi
peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia, sesuai dengan dinamika
pembangunan nasional dan tanpa mengabaikan kelestarian keanekaragaman hayati
yang terkandung didalamnya.
Hutan pada prinsipnya merupakan terjemahan
dari kata forrest (Inggris) yang
berarti dataran tanah yang bergelombang dan dapat dikembangkan untuk
kepentingan di luar kehutanan. Dengler mendefinisikan hutan sebagai berikut:[3]
”sejumlah pepohonan yang
tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembapan, cahaya, angin
dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi
oleh tumbuh-tumbuhan atau pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup
luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal)."
Sedangkan pengertian hutan dalam peraturan
perundang-undangan terdapat dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, yakni sebagai berikut:[4]
”suatu kesatuan ekosistem
berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan.”
Sementara itu, kawasan hutan menurut Pasal
1 butir 3 UU No. 41 Tahun 1999 memiliki definisi yaitu: “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau
ditetapkan oleh Pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”.[5]
Berdasarkan pengertian hutan dan kawasan hutan dalam UU 41/1999 tersebut,
menurut Salim H.S setidaknya terdapat empat unsur yang terkandung, yaitu:[6]
a. Unsur lapangan yang sukup luas (minimal ¼
ha) yang disebut tanah hutan;
b. unsur pohon (kayu, bambu, palem), flora
dan fauna;
c. unsur lingkungan; dan
d. unsur penetapan pemerintah melalui
keputusan Menteri Kehutanan;
Selanjutnya menurut Salim, ketiga unsur
pertama membentuk suatu persekutuan hidup yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Pengertian hutan
disini, mengandung konsepsi hukum secara vertikal, karena antara lapangan
(tanah), pohon, flora dan fauna, beserta lingkungannya merupakan satu kesatuan
yang utuh. Jika ditinjau secara yuridis, terdapat dua konsekuensi logis terkait
diterbitkannya penetapan pemerintah. Pertama,
diterbitkannya keputusan tersebut memberi kewajiban kepada pemerintah untuk
mengurus dan melindungi kawasan hutan, sehingga kawasan tersebut dapat
berfungsi dengan baik. Kedua,
keputusan tersebut memberi kewajiban kepada masyarakat untuk turut serta dalam
perlindungan hutan, namun, apabila masyarakat secara tanpa izin mengubah, mengalihkan,
menduduki, atau mempergunakan kawasan hutan, maka akan dikenakan sanksi sesuai
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga,
tiap kawasan hutan memiliki tingkat kerentanan yang berbeda-beda berdasarkan
variasi ekosistem dan bentang alamnya. Oleh karena itu, keputusan penetapan kawasan hutan oleh Pemerintah memungkinkan
penetapan rencana pengelolaan hutan yang didasarkan atas karakteristik dan
tujuan penetapan kawasan hutan itu sendiri.
Dalam kedudukannya sebagai salah satu
penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar
bagi seluruh makhluk hidup. Sebagai sebuah ekosistem, hutan Indonesia merupakan
rumah bagi sekitar 27.500 spesies tumbuhan berbunga (10 persen dari seluruh
tumbuhan dunia), 1.539 spesies burung (17 persen dari seluruh burung di dunia),
515 spesies satwa mamalia (12 persen dari seluruh spesies burung di dunia), dan
270 spesies amfibia (16 persen dari seluruh spesies amfibi di dunia).[7] Sedangkan bagi manusia, hutan memiliki manfaat baik secara langsung maupun
tidak langsung. Secara langsung, rubuan tahun hutan telah dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar kawasan hutan sebagai tempat tinggal dan untuk mengambil
hasil hutan seperti kayu, rotan, buah-buahan. Selain itu, keanekaragaman hayati
dan sumber daya mineral yang ada di kawasan hutan juga dimanfaatkan untuk
menghasilkan bahan baku industri. Pemanfaatan hutan juga dapat dioptimalkan
dengan pemanfaatan plasma nutfah dan jasa lingkungan, sehingga tidak terbatas
pada hasil hutan kayu dan bukan kayu semata.
Sedangkan secara tidak langsung, hutan
memiliki beberapa manfaat, yaitu: (1) mengatur tata air; (2) mencegah
terjadinya erosi; (3) memberikan manfaat terhadap kesehatan; (4) memberikan
rasa keindahan; (5) memberikan manfaat di sektor pariwisata; (6) memberikan
manfaat dalam bidang pertahanan-keamanan; (7) menampung tenaga kerja; dan (8) menambah
devisa negara. Sementara menurut data dari Kementerian Kehutanan, hutan juga
memiliki fungsi-fungsi yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama
lain, antara lain:[8]
a. fungsi ekologis hutan, yaitu sebagai suatu
sistem penyangga kehidupan antara lain sebagai pengatur tata air, menjaga iklim
mikro, penghasil udara bersih, menjaga siklus makanan, serta sebagai tempat
pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya;
b. fungsi ekonomis, sebagai penghasil barang
dan jasa, baik yang terukur seperti hasil hutan berupa kayu dan non kayu,
maupun hasil tidak terukur, seperti jasa ekoturisme.
c. fungsi sosial, sebagai sumber penghidupan
dan lapangan kerja, serta kesempatan berusaha bagi sebagian besar masyarakat,
terutama yang hidup di dalam dan sekitar hutan untuk kepentingan pendidikan dan
penelitian demi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Permasalahan Pengelolaan Hutan Indonesia
Selama lebih dari tiga dasawarsa
kepemimpinan di era orde baru, keadaan hutan Indonesia memiliki potret yang
menyedihkan. Paradigma pengelolaan kawasan hutan yang eksploitatif menjadikan
hutan dan sumber daya alam yang ada didalamnya sebagai obyek eksploitasi untuk
mengejar pembangunan ekonomi tanpa mempedulikan kerentanan ekosistem. Paradigma
tersebut tampaknya masih diwarisi oleh Pemerintah saat ini. UU No. 41 Tahun 1999
sebenarnya telah mencoba mengubah paradigma pengelolaan hutan yang tadinya
sangat eksploitatif ke arah pengelolaan yang juga menitikberatkan perlindungan
sumber daya hutan dan pemberian akses pemanfaatan kawasan hutan bagi
masyarakat. Apalagi jika dikaitkan dengan UU No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang mencoba mengembangkan
kewajiban Pemerintah dan peran serta masyarakat dalam upaya konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai bagian terpenting dari unsur pembentuk
lingkungan hidup. Namun, tampaknya komitmen Pemerintah dalam kedua
undang-undang tersebut hanya berhenti sebatas regulasi semata tanpa ada
aplikasi yang memadai.
Secara keseluruhan, pengelolaan hutan
Indonesia mengalami krisis yang bersifat multidimensional, mulai dari
deforestasi kawasan hutan hingga konflik horizontal di masyarakat. Beberapa
permasalahan tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:
a. Deforestasi
Deforestasi di Indonesia sebenarnya
berangkat dari warisan suatu sistem politik dan ekonomi korup yang menganggap
bahwa sumber daya alam, khususnya hutan merupakan sumber pendapatan yang bisa
dieksploitasi sebanyak-banyaknya demi mengejar keuntungan pribadi, tanpa
mempedulikan akibatnya terhadap kelestarian ekosistem kawasan hutan.
Pemanfaatan kawasan hutan selama ini telah membawa ancaman deforestasi yang
cukup mengejutkan. Fakta mengatakan bahwa laju deforestasi hutan Indonesia
antara tahun 2003-2006 diperkirakan mencapai 1.174.068 ha/tahun, sedangkan
untuk kawasan hutan konservasi sendiri, angka deforestasi mencapai 55.616,4
ha/tahun.[9]
Deforestasi disebabkan karena berbagai hal, diantaranya kebakaran hutan, penebangan
liar (illegal logging), perambahan
hutan secara ilegal, konversi hutan untuk tempat tinggal, indutri serta
kegiatan pembangunan lainnya dan kesalahan pengelolaan. Dengan angka
deforestasi hutan yang sedemikian besar, tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan
pemanfaatan hutan selama ini telah membawa kepada hilangnya ekosistem kawasan
hutan.
b. Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan umumnya terjadi di hutan
Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran hutan diduga terjadi, baik secara disengaja
maupun secara alami. Secara alami, kebakaran hutan diduga sebagai konsekuensi
adanya endapan kayu arang. Namun, belakangan ini diketahui bahwa kebakaran
hutan lebih disebabkan oleh faktor deforestasi yang sangat tinggi. Kebakaran hutan secara sengaja pada
umumnya lebih untuk kegiatan perladangan, maupun pembukaan lahan untuk tujuan
lainnya. Kebakaran hutan tidak dapat disangkal menimbulkan kerugian yang cukup
besar, baik dari segi ekonomi maupun konservasi yang meliputi rusaknya habitat
dan ekosistem hutan, pencemaran udara, gangguan penerbangan, gangguan
kesehatan, kematian, maupun rusaknya harta benda. Sepanjang tahun 2009 saja,
luas total kebakaran hutan diprediksi mencapai 283,40 ha, yang diantaranya
terdiri dari: (1) hutan lindung 15.60 %; (2) hutan produksi 23.98 %; (3) hutan
suaka alam 10.86 %; (4) taman wisata alam 1.56 %; (5) taman nasional 46.1 %;
(6) tahura 0.31 %; (7) taman buru 0.86 %; (8) hutan masyarakat 0.39 %.[10]
Sedangkan pada tahun 2003 dan 2006 kejadian kebakaran hutan paling luas di
kawasan hutan produksi, dan pada tahun 2004, 2006, 2007, 2008 dan 2009 kejadian
kebakaran hutan paling luas di kawasan Taman Nasional. Pada tahun 2005
kebakaran hutan paling luas di kawasan Hutan Lindung.
c. Kebijakan Otonomi Daerah
Instrumen kebijakan perimbangan kewenangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, baik dalam UU No. 22 Tahun 2009
maupun UU No. 32 Tahun 2004 telah memberikan porsi kewenangan yang lebih besar
kepada pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya alam yang ada di
wilayahnya. Hal ini tentu saja memberikan keleluasaan kepada daerah dalam
mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, termasuk dalam sektor
kehutanan. Namun sayangnya, orientasi pemanfaatan hutan yang dimiliki oleh
Pemerintah Daerah tidak mengutamakan unsur konservasi dan kelestarian ekosistem.
Pemanfaatan hutan seringkali disalahartikan sebagai eksploitasi besar-besaran
seluruh sumber daya hutan yang tentunya mengakibatkan kerusakan lingkungan yang
parah.
d. Konflik Agraria
Konflik agraria terjadi akibat adanya sengketa
penggunaan lahan kehutanan yang terjadi antara masyarakat adat, para
transmigran, kegiatan perkebunan, kegiatan pertambangan maupun kegiatan
kehutanan itu sendiri. Konflik antara masyarakat sekitar kawasan hutan yang
mengklaim hak-haknya atas tanah dan sumberdaya hutan dengan pemerintah maupun
perusahaan pertambangan dan perkebunan telah meningkat secara konsisten
sepanjang lima belas tahun terakhir.[11]
Masyarakat sekitar kawasan hutan yang selama turun-temurun melakukan
pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan menuntut haknya terhadap akses kawasan
hutan yang telah diberikan konsesi baik kepada perusahaan pertambangan maupun
perkebunan. Tidak adanya batas lahan yang jelas serta wilayah konsesi yang
terlalu luas menjadi faktor utama penyebab konflik horizontal tersebut. Konflik
atas pemanfaatan terhadap hutan dan sumberdaya alam tersebut akan tetap menjadi
konflik laten, kecuali jika ada satu usaha serius dan terorganisir untuk
merasionalisasi Kawasan Hutan Negara melalui strategi tindakan yang jelas.
e. Penebangan Liar (Illegal Logging)
dan Penambangan Liar (Illegal Mining)
Timbulnya kegiatan penebangan liar lebih
banyak dilatarbelakangi oleh lemahnya penegakan hukum dan buruknya sistem
perekonomian. Ketika krisis ekonomi melanda tahun 1998, terjadi PHK
besar-besaran yang menyebabkan masyarakat kemudian beralih mencari nafkah
dengan melakukan kegiatan penebangan liar (illegal
logging). Selain itu, kegiatan penebangan liar juga tidak jarang dilakukan
oleh perusahaan besar yang tidak memiliki izin. Diduga kerugian negara akibat
penebangan liar mencapai miliaran rupiah, belum lagi kerugian akibat hilangnya
tegakan serta habitat satwa liar, khususnya satwa liar yang dilindungi. Sama
halnya dengan penebangan liar, kegiatan penambangan liar pada umumnya dilakukan
secara tradisional oleh masyarakat sekitar hutan.maupun perusahaan pertambangan
skala kecil yang tidak memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Namun, tidak jarang pula dilakukan oleh
perusahaan pertambangan besar yang bersekongkol dengan aparat pemerintahan
setempat. Contoh paling nyata kegiatan penambangan liar adalah tambang bijih
emas di kawasan Daerah Aliran Sungai atau biasa disebut dengan Penambangan Emas
Tanpa Izin (PETI).
f.
Kerusakan Lingkungan
Kegiatan pertambangan seringkali menjadi
penyebab rusaknya kelestarian lingkungan di kawasan hutan. Kerusakan tersebut
terjadi baik pada masa penambangan maupun pasca tambang. Dampak lingkungan ini
sangat terkait dengan penerapan teknologi dan teknik pertambangan yang
digunakan. Pada masa penambangan, permasalahan seringkali berkaitan dengan pembuangan
limbah (dumping), hilangnya biodiversity
(keanekaragaman hayati) akibat pembukaan lahan, maupun adanya air asam tambang.
Sedangkan masa pasca tambang, banyak perusahaan yang kemudian meninggalkan
wilayah pertambangannya apabila tidak terdapat kandungan bahan tambang atau
cadangannya telah habis. Oleh karena itu, kebijakan reklamasi pasca tambang
harus memiliki aturan yang jelas serta pengawasan yang ketat dari aparat
pemerintah.
g. Tumpang Tindih Lahan Pemanfaatan Hutan dan Kegiatan Pertambangan
Permasalahan lain yang tidak kalah penting
adalah tumpang tindih antara lahan pertambangan dan kehutanan. Hutan merupakan
rumah bagi ribuan organisme alami dan tempat bagi senyawa-senyawa organik yang
membusuk. Setelah melalui periode yang cukup panjang, senyawa organik yang
membusuk tersebut tertimbun di dalam tanah dan menghasilkan mineral-mineral
organik yang berpotensi menjadi bahan tambang. Oleh karena itu, kawasan hutan
merupakan salah satu tempat paling strategis untuk pertambangan.
Berlakunya UU No. 41 Tahun 1999 telah
menyebabkan ketidakpastian status antara kawasan hutan dan pertambangan. Sebelum
berlakunya UU No. 41 Tahun 1999, tidak ada ketentuan yang dengan tegas melarang
kegiatan pertambangan di kawasan hutan. Namun, sejak berlakunya UU No. 41 Tahun
1999, kegiatan pertambangan dilarang di kawasan hutan lindung dan hutan
konservasi, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap kegiatan
pertambangan di kawasan hutan lindung yang tengah berlangsung. Untuk itu,
pemerintah kemudian menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 yang ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 pada intinya melegalisasi semua
izin pertambangan di kawasan hutan lindung yang sudah berlangsung sebelum
ditetapkannya UU No. 41 Tahun 1999. Namun, sampai saat ini tumpang tindih lahan pemanfaatan hutan antara
kegiatan pertambangan dan kegiatan kehutanan masih belum dapat diselesaikan dan
tetap terjadi di beberapa daerah.
Desentralisasi Tata Kelola Kehutanan: Sebuah Solusi atau Praktek Baru
Eksploitasi Hutan?
Secara universal, proses desentralisasi[12]
dapat dikatakan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pola pemerintahan
di berbagai negara di dunia, terlepas dari apakah negara tersebut menganut
sistem negara kesatuan atau negara federal. Desentralisasi memberikan akses
kepada pemerintah daerah untuk mengurus urusan pemerintahannya sendiri
berdasarkan kearifan lokal. Hal ini termasuk pula kewenangan dalam
melakukan pengelolaan hutan. Beberapa
dekade yang lalu, desentralisasi sektor kehutanan bukanlah sebuah persoalan
bagi banyak negara. Dalam proposal aksi the Intergovernmental Panel
on Forests (IPF, 1995-1997) dan the
Intergovernmental Forum on Forests (IFF, 1997-2000), desentralisasi tidak
secara eksplisit disebutkan, dan hanya secara tidak langsung muncul pada bagian
rekomendasi mengenai partisipasi.[13] Desentralisasi
kemudian menjadi sebuah tema di sektor kehutanan setelah berlangsung perubahan politik
yang signifikan di sejumlah negara. Namun sesungguhnya, desentralisasi tata kelola kehutanan menjadi salah satu
elemen penting dalam hal peningkatan kemanfaatan hutan bagi masyarakat. Dimana
dalam UU No. 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa salah satu tujuan penyelenggaraan
kehutanan adalah untuk:[14]
”meningkatkan
kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara
partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan
ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan
eksternal.”
Desentralisasi kehutanan memungkinkan
tata kelola kehutanan yang lebih dekat dengan masyarakat dan lebih dapat dipertanggungjawabkan
karena adanya mekanisme pengawasan berimbang yang dapat mengontrol
penyelewengan yang dilakukan pejabat pemerintah dan sekaligus membuat para
pejabat ini lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.[15] Tata kelola ini juga pada gilirannya dapat meningkatkan efektifitas dan
efisiensi pelayanan serta membantu menjaga kesetaraan dan keadilan sosial. Desentralisasi dilaksanakan berdasarkan
asumsi bahwa institusi lokal yang demokratis dapat melihat dan merespon
kebutuhan lokal dengan lebih baik karena mereka mempunyai akses yang lebih baik
terhadap informasi dan lebih mudah dituntut akuntabilitasnya oleh penduduk
lokal.[16]
Agar penduduk lokal mau meminta akuntabilitas pemegang kewenangan, kewenangan
yang mereka pegang dan pelayanan yang bisa mereka berikan harus juga relevan
dengan penduduk lokal.
Jika dikaji secara mendalam, terdapat dua pertanyaan utama yang timbul
terkait dengan implementasi desentralisasi tata kelola hutan. Pertama, seberapa besar pemberian
kewenangan dari pusat ke daerah dalam hal pengelolaan kawasan hutan? Serta
seberapa besar efektifitasnya dalam pengembangan pengelolaan kawasan hutan? Di Indonesia, format desentralisasi tata kelola hutan mengalami pasang
surut sejak pasca kemerdekaan. Peraturan Pemerintah 64/1957 memberikan kewenangan
untuk mengelola sumber daya
hutan di wilayah kerjanya, dan memberikan ijin pemanfaatan kayu kepada
Pemerintah daerah Provinsi dalam bentuk:[17]
a.
Konsesi
Hutan seluas sampai dengan 10.000 hektar dalam jangka waktu 20 tahun,
b.
Persil
Penebangan seluas sampai dengan 5.000 hektar selama 5 tahun, dan
c.
Ijin
Tebangan kayu dan pemungutan hasil hutan non kayu lainnya sampai dengan batas
tertentu selama 2 tahun. Dengan kewenangan ini pula, Pemerintah Provinsi berhak
untuk memungut pajak dan royalty kayu hasil tebangan dan hasil hutan lainnya
berdasarkan luas tebangan dan volume hasil hutan yang dipungut.
Desentralisasi tata kelola hutan di Indonesia mengalami kemunduran pada era
orde baru yang sentralistik. Sifat sentralistik semakin terlihat dari peran Pemerintah
Pusat dalam memberikan Hak Pengusahaan Hutan pada kawasan hutan Produksi yang
dialokasikan sekitar 60 juta hektar di seluruh Indonesia.[18]
Pada masa ini, eksploitasi hutan ditingkatkan dalam rangka meningkatkan
perolehan devisa untuk mengatasi situasi ekonomi nasional yang pada saat itu sangat
memprihatinkan. Pemerintah Pusat mengendalikan kegiatan ekploitasi hutan
melalui berbagai peraturan dan perencanaan, sementara Pemerintah Daerah hanya menjadi
aktor operasional lapangan.
Pada era reformasi, isu desentralisasi tata kelola hutan muncul kembali ke
permukaan. Keinginan yang sangat kuat dari elit daerah untuk mengelola sendiri
sumber daya alam ada di daerahnya justru menjadi bumerang dalam hal mekanisme
koordinasi dan kontrol pengelolaan hutan. UU No. 22 Tahun 1999 yang menjadi
acuan tidak secara tegas mengatur hierarki dan hubungan keterkaitan antar
tingkatan pemerintah Beberapa urusan kehutanan baik di tingkat pusat, provinsi
serta kabupaten/kota tidak berjalan secara harmonis, antara lain dalam hal penetapan
kebijakan, serta pemberian izin pemanfaatan hasil hutan, peredaran hasil hutan,
pemberian izin pertambangan di dalam kawasan, dan perubahan status dan fungsi
kawasan hutan.[19] Pada akhirnya, tumpang
tindih penggunaan dan pemanfaatan sering terjadi di kawasan hutan dalam wilayah
pemerintahan kabupaten, di mana izin-izin yang telah diatur oleh keputusan
Pemerintah Pusat tertumpangi oleh izin-izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Kabupaten; dan begitupun sebaliknya. Demikian pula tumpang tindih antara
kebijakan dan peraturan di bidang kehutanan, baik antara Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota. Masing-masing level pemerintahan tampak tidak
saling berkoordinasi dan cenderung memikirkan kepentingan elit masing-masing.
Ketidakefektifan penyelenggaraan desentralisasi tata kelola kehutanan secara
umum juga diakibatkan oleh ketidaksiapan Pemerintah Daerah dalam mengemban
kewenangan yang sedemikian besar tersebut. Dibukanya keran desentralisasi
pengelolaan kawasan hutan tidak diimbangi dengan dukungan tekis yang memadai.
Pemerintah pusat tidak memberikan pedoman mengenai norma, standar, prosedur dan
kriteria yang baku bagaimana pelaksanaan kewenangan tersebut dilakukan,
sehingga Pemerintah Daerah cenderung secara diskresional melaksanakan
kewenangan pengelolaan tanpa mempertimbangkan unsur eksternalitas dan efisiensi
serta keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Selain itu, pemerintah
daerah juga cenderung lebih dulu melaksanakan kewenangan yang berkontribusi
pada Penerimaan Asli Daerah (PAD) tanpa mempedulikan kewajibannya dalam
pelestarian ekosistem kawasan hutan dan konservasi sumber daya alam hayati.
Dengan demikian, eksploitasi hutan cenderung tidak terkendali dan malah
mengakibatkan tingginya angka deforestasi dan degradasi kawasan hutan.
Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, pengaturan yang lebih cermat
dan hati-hati diterapkan pada UU No. 32 Tahun 2004. Undang-undang ini
mengamanatkan adanya pembagian urusan pemerintahan yang didasarkan pada
kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi, dengan tetap
memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Dengan demikian,
pembagian wewenang atas suatu urusan pemerintahan harus mempertimbangkan:[20]
a. sampai
di manakah eksternalitas pelaksanaan suatu urusan pemerintahan yang
dilaksanakan di suatu wilayah pemerintahan akan terjadi;
b. di level pemerintahan yang manakah bobot
tanggung jawab atas pelaksanaan suatu urusan pemerintahan selayaknya diletakkan,
dan
c. di level pemerintahan yang manakah pelaksanaan
kegiatan pemerintahan tersebut secara rasional dianggap efisien.
Untuk urusan perencanaan hutan, Pemerintah Pusat berwenang melakukan
kegiatan-kegiatan yang bersifat makro nasional, sedangkan Pemerintah Daerah
berwenang untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat lokal dengan mengacu
pada acuan nasional. Dengan memperhatikan pengalaman masa lalu yang terkait
dengan kemampuan teknis Pemerintah Daerah dan anggaran yang ada, maka kewenangan
pengukuhan status dan fungsi kawasan hutan serta penyusunan rencana pengelolaan
hutan jangka panjang dan menengah berada pada Pemerintah Pusat, sedangkan
Pemerintah Daerah hanya berwenang memberikan usulan, pertimbangan, dan
rekomendasi. Khusus untuk penyusunan rencana pengelolaan jangka pendek atau
tahunan kewenangan penetapan atas rencana ini berada di Pemerintah Provinsi,
sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota hanya berwenang untuk memberikan usulan,
pertimbangan, dan rekomendasi. Sedangkan demi tercapainya pengelolaan hutan
yang lebih efisien serta menyesuaikan dengan karakteristik dan kondisi
wilayahnya, maka dibentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai unit
terkecil pengelolaan hutan. Luas wilayah KPH ditetapkan oleh Menteri Kehutanan
atas usulan Gubernur setempat.[21]
Pertanyaan kedua yang muncul
berkaitan dengan penerapan desentralisasi tata kelola hutan adalah: seberapa
besar manfaat desentralisasi tata kelola hutan dirasakan secara langsung oleh
masyarakat, khususnya masyarakat sekitar kawasan hutan? Dan bagaimana
pelaksanaannya dalam mendukung kelestarian ekosistem dan sumber daya alam
hayati kawasan hutan? Desentralisasi tata kelola hutan pada hakikatnya berusaha
untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat dan untuk mengelola sumber
daya hutan secara berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat. Kerangka
desentralisasi bertujuan untuk meningkatkan peran aktif masyarakat, khususnya
masyarakat sekitar kawasan hutan yang hidupnya bergantung kepada sumber daya
hutan.
Namun, yang terjadi selama ini adalah fenomena deforestasi dan degradasi kawasan
hutan secara sistematis. Sebelumnya dalam bagian permasalahan pengelolaan hutan
telah dijelaskan bagaimana laju deforestasi hutan Indonesia antara tahun
2003-2006 diperkirakan mencapai 1.174.068 ha/tahun. Deforestasi dan degradasi
kawasan hutan terjadi secara sistematis, baik akibat kebakaran hutan, illegal logging, maupun alih fungsi
hutan menjadi kawasan pertambangan dan perkebunan. Fenomena kebakaran hutan
meningkat pada kurun waktu 2005-2009, yakni sekitar 31.122,97 ha, dimana
kebakaran paling luas terjadi di Jawa Timur dengan 3.688,28 ha.[22]
Sedangkan di sisi lain, beberapa pihak memperkirakan bahwa dampak pertambangan bagi
kerusakan kawasan hutan hampir setara dengan 10% total perusakan hutan di
Indonesia.[23]
Sebelum diundangkannya UU No. 41 Tahun 1999, setidaknya terdapat sekitar
150 perusahaan tambang yang memiliki Kontrak Karya dan Kuasa Pertambangan yang
berada di kawasan hutan. Setelah diundangkannya UU No. 41 Tahun 1999 yang
melarang kegiatan pertambangan yang berada di kawasan hutan lindung dan hutan
konservasi, maka terjadi tumpang tindih antara kawasan hutan dan wilayah
pertambangan seluas 11 juta hektar, termasuk diantaranya 8,7 juta hektar hutan
lindung dan 2,8 juta hektar hutan konservasi.[24]
Deforestasi dalam skala yang lebih luas dapat menyebabkan reduksi
keanekaragaman hayati dan di banyak tempat terjadi rusaknya ekosistem, erosi
tanah, sedimentasi dan penurunan fungsi hidrologis hutan.
Permasalahan lain yang tidak kalah penting adalah konflik antara masyarakat
dengan pemegang izin pertambangan maupun perkebunan. Konflik terjadi karena
adanya ketidakjelasan mengenai siapa yang berwenang dalam mengelola dan
mengontrol kawasan hutan yang berakar dari ketidakjelasan status dan lokasi
kawasan hutan serta kewenangan dari Kementerian Kehutanan sendiri.
Desentralisasi meningkatkan peran pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD
mereka melalui pemberian izin pertambangan maupun perkebunan, baik skala kecil
maupun skala besar. Di sisi lain, desentralisasi juga memberikan akses kepada masyarakat
lokal, khususnya masyarakat sekitar kawasan hutan menuntut partisipasinya dalam
pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan kawasan hutan. Masyarakat lokal
berpendapat bahwa hutan seharusnya dikelola berdasarkan sejarah penguasaan
kawasan hutan secara turun-temurun.
Pada awal reformasi, usaha untuk mereduksi potensi meningkatnya konflik
diatur dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam. peraturan ini mengamanatkan perlunya reformasi agraria
melalui penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan
perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.[25]
Oleh karena itu, Pasal 5 ayat (1) Tap MPR No. IX/MPR/2001 juga mengatur
mengenai arah kebijakan reformasi agraria, yaitu:[26]
a. sinkronisasi peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan agraria dalam angka sinkronisasi kebijakan antar sektor;
b. melaksanaan reformasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah;
c. inventarisasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif;
d. penyelesaian konflik agraria dan
mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang;
e. memperkuat kelembagaan dan kewenangannya;
f.
mengupayakan
pembiayaan secara sungguh-sungguh.
Paradigma Pengelolaan Hutan: Menuju Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
dan Masyarakat
Sebagai salah satu pilar sistem penyangga kehidupan, kebijakan pengelolaan hutan harus dilakukan menurut cara
yang menjamin keserasian, keselarasan, keseimbangan, serta berkesinambungan
baik antara manusia dengan Tuhan sebagai penciptanya, antara manusia dengan
masyarakat, maupun antara manusia dengan ekosistemnya. Pengelolaan hutan harus
ditujukan tidak hanya untuk memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan
kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, namun juga harus mendukung
kelestarian ekosistem dan konservasi sumber daya alam hayati.
Pada dasarnya, hutan mempunyai dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, yakni
hutan sebagai sumber daya alam dan hutan sebagai ekosistem. Hutan sebagai
sumber daya alam menyimpan potensi pemanfaatan yang digunakan untuk tujuan
kepentingan pembangunan nasional, sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD
1945. Sedangkan hutan sebagai ekosistem menjamin kelestarian sumber daya alam
hayati yang terdiri dari hewan, tumbuhan yang hidup didalamnya maupun berupa
fenomena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi
dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak
dapat diganti. Kebijakan
pengelolaan hutan harus melihat kedua sisi hutan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam
arti bahwa hutan dapat dilindungi, dipelihara, dilestarikan dan dimanfaatakan
dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik dan keutamaannya, secara
optimal demi kepentingan pembangunan nasional.
Dari beberapa permasalahan di sektor kehutanan sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa permasalahan
muncul sebagai akibat dari masih dianutnya paradigma konvensional pengelolaan
kawasan hutan yang cenderung bersifat eksploitatif tanpa melihat karakteristik
dan daya dukung ekosistem suatu kawasan hutan. Dalam khasanah teori kehutanan, secara historis
metode pengelolaan hutan dapat dibagi kedalam dua metode, yakni metode
pengelolaan hutan konvensional dan metode pengelolaan hutan secara modern. Metode pengelolaan hutan konvensional dibagi menjadi
penambangan kayu (timber extraction) dan
pengelolaan kebun kayu (timber
management). Metode timber
extraction merupakan sebuah metode pengelolaan hutan yang telah
dipraktekkan ribuan tahun sejak masa pra-sejarah. Secara umum, timber extraction adalah suatu metode
eksploitasi hutan dengan melakukan penebangan hutan secara besar-besaran tanpa
memperhatikan keseimbangan ekosistem, serta dampak negatif yang timbul.[27]
Metode ini telah dipraktekkan oleh sejak manusia memiliki teknologi untuk
menebang pohon. Dengan ciri eksploitasi yang berlebihan, metode ini tentu saja
telah menyebabkan kerusakan hutan serta ekosistem yang fatal.
Karena metode timber extraction
telah menyebabkan kerusakan tegakan hutan yang fatal, pada akhirnya paradigma pengelolaan
hutan beralih pada metode timber
management yang dapat mengembalikan kelestarian kawasan hutan bekas tebangan,
dengan tujuan agar dapat menambah produktivitas hasil kayu. Pada tahun 1710,
Hans Carl von Carlowitz membuat suatu konsep pengelolaan hutan satu jenis
(monokultur). Konsep ini menekankan pada pengembangan produktivitas produksi
kayu yang semaksimal mungkin.[28]
Dengan konsep monokultur, biaya pengelolaan dapat ditekan serendah mungkin,
namun dapat menghasilkan tingkat produksi yang tinggi. Dengan kata lain, sama
halnya dengan metode timber extraction,
metode ini masih menekankan pada pengelolaan hutan eksploitatif dengan mengejar
kepentingan ekonomis, daripada mempedulikan kepentingan ekologis ekosistem
kawasan hutan.
Paradigma pengelolaan hutan secara modern berusaha untuk mengembalikan
fungsi ekologis kawasan hutan. Pengelolaan hutan secara modern berangkat dari
pemikiran dimana pemanfaatan kawasan hutan tidak hanya ditujukan untuk mengejar
kepentingan ekonomi semata melalui eksploitasi sumber daya alam, melainkan juga
mendukung fungsi ekologis dan sosial kawasan hutan. Fungsi ekologis ditujukan
melalui pemeliharaan ekosistem serta konservasi sumber daya alam hayati yang
terkandung di dalam kawasan hutan. Sedangkan fungsi sosial ditujukan dalam
pengelolaan kawasan hutan yang memberikan manfaat secara langsung bagi
masyarakat di sekitar kawasan hutan. Dengan demikian, metode pengelolaan hutan
modern berusaha membuat suatu kerangka pengelolaan
hutan yang bertumpu pada perekonomian masyarakat dan mendukung partisipasi
aktif masyarakat dalam rangka pengelolaan hutan tanpa mengesampingkan daya
dukung ekosistem dan kelestarian lingkungan.
Dalam metode pengelolaan hutan secara modern,
terdapat beberapa konsekuensi yang harus diyakini dalam pelaksanaan pengelolaan
hutan, yaitu:[29]
a. Bahwa hutan dan masyarakat setempat tidak
dapat dipisahkan. Karena itu orientasi pengelolaan hutan harus berubah dari
kepentingan memperoleh keuntungan finansial ke kepentingan dan kebutuhan
masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal dikawasan hutan, dimana masyarakat
menjadi pelaku utama.
b. Bahwa hutan merupakan sebuah ekosistem
yang bersifat integral. Karena itu, pengelolaan hutan konvensional yang hanya
berorientasi pada kayu (timber extraction) harus diubah menuju
pengelolaan hutan yang berorientasi pada sumber daya alam yang bersifat
multi-produk, baik hasil hutan kayu maupun non kayu, jasa lingkungan serta
manfaat hutan lain.
Terdapat beberapa ahli yang mengemukakan teori pengelolaan hutan secara
modern. MR. Koelling dari Department of Forestry
Michigan State
University pernah
mengangkat teori Forest Resource
Management (FRM). Teori ini menegaskan bawa pemanfaatan hutan yang menjadi
bagian dari sistem pengelolaan hutan harus dapat memberikan jaminan bahwa
ekosistem hutan dan berbagai sumber daya yang terkandung di dalamnya akan dapat
memberikan keuntungan lebih bagi masyarakat dan bagi keseimbangan alam.[30]
Selain itu, dikemukakan pula teori Forest
Ecosystem Management (FEM) yang menegaskan bahwa pengelolaan hutan harus
mampu memelihara ekosistem lingkungan
yang tidak hanya bagi tumbuhan dengan hewan yang hidup disekitarnya, namun juga
manusia yang sangat bergantung dengan alam.[31]
Paradigma pengelolaan hutan
yang berbasis ekosistem dan masyarakat harus diimplementasikan dalam setiap
regulasi dan kebijakan pengelolaan hutan. selain itu, paradigma ini juga harus
tercermin dalam sikap dan perilaku para stakeholders
agar dapat dilaksanakan hingga level terendah. Dalam UU No. 41 Tahun 1999,
paradigma pengelolaan hutan yang berbasis ekosistem dan masyarakat
diimplementasikan dalam prinsip pengelolaan hutan yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat
secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu
menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan
eksternal.[32] Prinsip tersebut kemudian diwujudkan
melalui pembinaan dan penyuluhan kehutanan kepada masyarakat serta optimalisasi
peran aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Konsep pengelolaan hutan yang
bertumpu pada perekonomian masyarakat. juga telah diakomodir dalam kerangka UU No. 41
Tahun 1999 melalui konsep Social Forestry
atau Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).[33] Terdapat beberapa asas yang penting dalam penyelenggaraan Social Forestry, yaitu:[34]
a.
Mampu memberdayakan masyarakat;
b.
terdapat wilayah yang diberikan hak pengelolaan
kepada masyarakat;
c.
Penetapan tujuan dan aplikasi social
forestry di masing-masing fungsi kawasan hutan;
d. Merupakan cost sharing, dimana adanya pembagian
keuntungan dan biaya antara masyarakat dan pemerintah;
e.
Asas
penyelenggaraan menggunakan asas pendekatan (Daerah Aliran Sungai) DAS, artinya
dalam suatu DAS terdapat hubungan hulu & hilir. Karena selain adanya on site benefit juga terdapat off side effect, dimana hutan lindung bisa berpengaruh terhadap fungsi
lindungnya.
Social Forestry atau harus mampu mencakup
semua bentuk, cara dan skala partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan
dalam koridor yang dapat menjamin terpeliharanya kelestarian sumber daya hutan
yang dikelolanya.[35]
Hal ini karena tiap kawasan hutan memiliki karakteristik serta keragaraman
ekosistem yang berbeda. Selain itu, kondisi sosiologis dan ekonomi masyarakat
juga mempengaruhi bentuk dan format Social
Forestry. Konsep Social Forestry
dapat diimplementasikan dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan melalui pemberian hak
pengelolaan secara terbatas dalam jangka waktu tertentu. Pemberian hak
pengelolaan bukan berarti memberikan hak kepemilikan kawasan hutan kepada
masyarakat, namun lebih kepada pemberian akses kepada masyarakat untuk
mengelola kawasan hutan. Prioritas pemberian hak pengelolaan harus diberikan
kepada di kawasan hutan yang sekarang ini sudah dikelola secara efisien oleh
masyarakat dimana biaya transaksi mungkin tidak terlalu tinggi (hak-hak
masyarakat adat yang jelas dan karenanya kecil peluang untuk terjadi konflik).[36]
PENUTUP
Selama ini, krisis kehutanan Indonesia berakar dari
paradigma pengelolaan hutan yang eksploitatif, sehingga menyebabkan terjadinya
berbagai permasalahan pengelolaan hutan. Desentralisasi tata kelola hutan yang
diharapkan menjadi jawaban malah menambah rumit permasalahan. Reformasi pengelolaan hutan
harus melihat manfaat hutan secara keseluruhan sebagai sistem penyangga
kehidupan. Sehingga tujuan pengelolaan hutan tidak hanya mencari manfaat ekonomis dari sumber
daya alam yang ada di dalam kawasan hutan, namun harus juga memperhatikan
kesejahteraan masyarakat, serta mendukung kelestarian ekosistem dan konservasi
sumber daya alam hayati. Pembangunaan paradigma pengelolaan hutan yang berbasis
ekosistem dan masyarakat merupakan langkah awal reformasi sistem pengelolaan
hutan Indonesia. Kedepannya, diharapkan paradigma ini harus dapat tercermin
dalam setiap regulasi dan kebijakan pengelolaan hutan, serta dalam sikap dan
perilaku para stakeholders agar dapat
diimplementasikan hingga level terendah pemerintahan.
Catatan:
[2] Ibid, hal 2-4
[3] Salim, H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal 41.
[4] Indonesia (a), Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, L.N
RI . Tahun 1999 Nomor 167,
Pasal 1 butir 2.
[5] Mengenai
pengertian kawasan hutan dalam Pasal 1 butir 3 UU 41/199, Mahkamah Konstitusi
telah mengeluarkan putusan judicial review
Nomor 45/PUU-IX/2011 yang dibacakan tanggal 9 Februari 2012. Putusan ini pada
intinya menyatakan bahwa frase ”ditunjuk dan/atau” dalam Pasal 1 butir 3 UU
41/1999 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi berpendapat terdapat
ketidaksingkronan antara Pasal 1 butir 3 dengan Pasal 15, dimana Pasal 15 UU
41/1999 menyatakan bahwa penunjukkan merupakan salah satu tindakan dari seluruh
rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan. Sehingga frase ”ditunjuk” dalam
Pasal 1 butir 3 dapat menimbulkan ketidakpasian hukum yang dapat memungkinkan
penetapan suatu kawasan hutan tanpa melalui prosedur yang telah ditetapkan oleh
peraturan perundang-undangan yang melibatkan seluruh stakeholders yang terkait.
[6] Salim
H.S, op.cit.
[7] Bryant D. Nielsen dan Trangley. L,
The Last Frontier Forest: Ecosystem and
Economies on the Edge, (Washington :
World Resources Institute, 1997) hal 24.
[8]
Sukardi, Ilegal Logging: dalam Perspektif
Kasus Papua, cet. 1, (Yogyakarta :
Universitas Atma Jaya), hal 13.
[9] Direktorat Jenderal Planologi
Kehutanan, op.cit, hal 21.
[10] Ibid, hal 161.
[11] Contreras-Hermosilla, Arnoldo dan Chip Fay, Memperkokoh
Pengelolaan Hutan Indonesia
Melalui Pembaruan Penguasaan Tanah: Permasalahan dan Kerangka Tindakan. (Bogor : World Agroforestry
Centre, 2006), hal 9.
[12]
Secara yuridis, terminologi desentralisasi diatur dalam Pasal 1 butir 7 UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu: ”penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Desentralisasi menurut Maddick,
mengandung dua elemen yang berkaitan, yakni pembentukan daerah otonom dan
penyerahan kewenangan secara hukum untuk menangani bidang pemerintahan
tertentu. Desentralisasi memungkinkan Daerah Otonom melaksanakan pembentukan
dan implementasi kebijakan sendiri pada jenjang organisasi yang lebih rendah. Dengan demikian, Daerah Otonom dapat
mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
lokal sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyerahan kewenangan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah ini dilaksanakan berdasarkan asas
desentralisasi. Lebih lanjut baca: Safri Nugraha, et.al, Hukum Administrasi
Negara (Depok: CLGS FHUI, 2007), hal 217-226.
[13] Carol J. Pierce Colfer dan Doris
Capistrano, Politik Desentralisasi:
Hutan, Kekuasaan dan Rakyat, Pengalaman di berbagai Negara (Bogor : CIFOR, 2006), hal
1.
[14] Indonesia
(a), op.cit, Pasal 3 huruf d.
[15] Carol J. Pierce Colfer, dkk, “Kerangka Pikir: Uang dan
Keadilan di Wilayah Hutan Asia dan Pasifik,” dimuat dalam Pelajaran dari
Desentralisasi Kehutanan: Mencari Tata Kelola yang Baik dan Berkeadilan di
Asia-Pasifik (Bogor: CIFOR, 2009), hal 1.
[16] Jesse C. Ribot, “Memilih
Perwakilan: Institusi dan Kewenangan (Power)
bagi Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Didesentralisasi,” dimuat dalam Politik Desentralisasi: Hutan, Kekuasaan dan
Rakyat, Pengalaman di berbagai Negara (Bogor: CIFOR, 2006), hal 107.
[17] Imam Santoso, “Perjalanan Desentralisasi
Pengurusan Sumber Daya Hutan Indonesia,” (Tulisan yang disampaikan pada Seminar Internasional “Ten Years Along: Decentralisation, land and Natural Resources in
Indonesia”, Atma Jaya University, Huma, Leiden University, dan Radboud
University. Jakarta
15-16 Juli 2008), hal 2.
[18] Ibid, hal 3.
[19] Ibid, hal 4.
[20] Ibid, hal 7.
[21]
Berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2007 sebagaimana yang diubah dengan PP Nomor 3
Tahun 2008, serta Permenhut P.6/Menhut-II/2009, penetapan KPH dan rencana
pengelolaan hutan tingkat KPH disesuaikan dengan pedoman, kriteria dan standar
yang telah ditetapkan dalam Rencana Kehutanan baik di tingkat Nasional,
Provinsi maupun Kabupaten/Kota berdasarkan persetujuan Menteri Kehutanan. Penetapan
organisasi KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL) dan KPH Produksi (KPHP) lintas Provinsi
diserahkan kepada Menteri Kehutanan. Sedangkan penetapan KPHL dan KPHP lintas
Kabupaten/Kota diserahkan kepada Gubernur; penetapan KPHL dan KPHP dalam
wilayah Kabupaten/Kota diserahkan kepada Bupati/Walikota setempat.
[22] Kementerian Kehutanan RI, Statistik Kehutanan Indonesia 2009 (Jakarta:
Kementerian Kehutanan, 2009), Tabel II.3.5.
[23] Contreras-Hermosilla, Arnoldo dan Chip Fay, op.cit,
hal 9.
[24] Ibid.
[25]Indonesia , Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia
Nomor IX/MPR/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,
Pasal 2.
[26] Ibid, Pasal 5 ayat (1).
[27] Simon, Pengelolaan Hutan Kolaboratif (1993), sebagaimana dikutip dalam
Supratman dan Syamsu Alam, Manajemen
Hutan (Laboratorium Kebijakan dan
Kewirausahaan Kehutanan-Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin, 2009), hal
8-9.
[28] Ibid, hal 10-13.
[29] R. Oszaer, ”Pembangunan Hutan Berbasis
Ekosistem dan Masyarakat,” http://indonesiaforest.webs.com/hutan_ro.pdf
, diakses pada 17 Oktober 2011, hal 3.
[30] M.R. Koelling, Forest
Resource Management Terminology, 2006, sebagaimana dikutip dalam Abdul Muis
Yusuf dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Kehutanan di Indonesia (Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2011), hal
22
[31] Scott
D Robert dan George R. Parker, Forest
Ecosystem Management in the Central Hardwood Region (1994), sebagaimana
dikutip dalam ibid.
[32] Indonesia
(a), op.cit, Pasal 3 huruf d.
[33]
Konsep partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan sebenarnya telah
diatur dalam Pasal 70. kemdian Pemerintah merumuskan suatu konsep pengelolaan
hutan oleh masyarakat yang dinamakan
Social Forestry. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan/atau
Sekitar Hutan Dalam Rangka Social
Forestry, Pasal 1 butir 4 menyatakan bahwa:
”sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada
kawasan hutan negara dan atau hutan hak,yang
memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau
mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan
kelestarian hutan.”
[34] http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/1222,
diakses pada tanggal 15 April 2012.
[35] Dudung
Darusman, “Konsep dan Strategi Social Forestry dalam Peningkatan Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat Desa di Dalam dan Sekitar Hutan (Pokok-Pokok Pemikiran),”
(Makalah yang disampaikan pada Seminar Tentang Strategi dan Peningkatan
Pemberdayaan Peran Serta Masyarakat dalam Kegiatan Pengusahaan Hutan Produksi,
diselenggarakan oleh Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Departemen Kehutanan dan
Perkebunan, tanggal 8 Pebruari 2000), hal 3.
[36] Contreras-Hermosilla, Arnoldo dan Chip Fay, op.cit,
hal 58.