Jumat, 30 Desember 2011

PERBANDINGAN GAYA PERUNDANG-UNDANGAN (STYLE OF LEGISLATION) PADA SISTEM HUKUM CIVIL LAW DAN COMMON LAW

PENDAHULUAN
Konstitusi di tiap negara memberikan pengaturan mengenai peraturan perundang-undangannya tersendiri. Pengaturan tersebut menciptakan gaya peraturan perundang-undangan (style of legislation) yang menjadi karakteristik sistem hukum negara masing-masing. Perbedaan style of legislation tiap negara dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang paling utama adalah sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara. Terdapat dua sistem hukum besar yang dianut secara masif oleh negara-negara di dunia, yakni Sistem Hukum Civil law dan Sistem Hukum Common law. Kedua sistem hukum tersebut memiliki karakteristik yang sangat berpengaruh dalam pembentukan hukum suatu negara.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka tulisan ini akan membahas mengenai konsepsi style of legislation dalam tataran ilmu perundang-undangan, terutama dalam hubungannya dengan sistem hukum yang dianut, baik common law maupun civil law. Selain itu, akan dibahas pula mengenai perkembangan style of legislation di Indonesia, sebagai salah satu negara yang menganut sistem hukum civil law.

PEMBAHASAN
Pengertian Style of legislation
Kajian mengenai gaya peraturan perundang-undangan (style of legislation) secara umum sejauh ini belum mendapatkan perhatian yang serius, tidak terkecuali di Indonesia. Pertama, paradigma yang ada menjadikan style of legislation bukan menjadi unsur yang utama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan suatu negara. Kedua, kajian mengenai style of legislation bersifat subyektif, karena berkaitan erat dengan karakteristik perundang-undangan masing-masing negara, sehingga sulit untuk membahasnya secara obyektif dalam tataran akademis. Ketiga, kajian mengenai perundang-undangan sendiri dalam konsep ilmu hukum belum mendapatkan perhatian yang serius.[i] Ketiga hal tersebut menjadi penyebab utama kurangnya pemahaman ahli hukum, terutama para pembentuk undang-undang tentang style of legislation. Padahal, perkembangan kajian mengenai perundang-undangan sangat penting bagi negara yang menganut sistem hukum civil law, dimana prinsip ”statutory law” sangat berperan.
Apa yang sebenarnya dimaksud dengan style of legislation? Kata ”style” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diartikan sebagai corak; gaya; gaya bahasa.[ii] Dengan demikian, style of legislation dapat diartikan sebagai gaya peraturan perundang-undangan yang memiliki karakteristik tersendiri. Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi style of legislation suatu negara, diantaranya adalah bahasa yang digunakan, budaya masyarakat, kondisi hukum dan politik suatu negara, serta sistem hukum yang digunakan. Jika dilihat dalam perspektif pembentukan peraturan perundang-undangan, style of legislation memiliki beberapa unsur utama, yakni: (1) susunan kata (penggunaan bahasa, definisi, terminologi, dll); (2) struktur peraturan perundang-undangan (bagian-bagian dalam peraturan perundang-undangan),  suprastruktur (hubungannya dengan peraturan perundang-undangan yang lain); dan (3) identitas legal-kultur (sistem hukum yang dipakai dan pengaruhnya dalam negara tersebut).[iii]
1.      Faktor Bahasa
            Faktor bahasa segi memiliki peran yang sangat vital dalam pembentukan style of legislation suatu negara. Bahasa hukum bukan bahasa yang dipakai pada umumnya. Bahasa hukum mengkonversikan suatu norma kedalam ketentuan tertulis yang mencerminkan kejernihan pengertian, kelugasan, kebakuan, dan keserasian. Ketika merancang suatu peraturan, fokus utama terletak pada ketelitian pemakaian kosakata dan gramatikal bahasa yang memungkinkan terciptanya komunikasi secara tertulis untuk mencegah ambiguitas penafsiran suatu norma hukum. Bates menyatakan bahwa kosakata pada hakekatnya memiliki keterbatasan dalam menyampaikan suatu norma hukum. Oleh karena itu, untuk mencegah ketentuan yang bersifat kabur dan penafsiran yang ambigu, maka perlu memasukkan tabel dan grafik untuk menyampaikan maksud dari ketentuan perundang-undangan secara lebih terperinci.[iv]
            Perumusan susunan kata dalam peraturan perundang-undangan akan menjadi semakin rumit, apabila disusun dalam lebih dari satu bahasa. European Community (EU) menjadi salah satu contoh nyata, meskipun EU telah membuat EU Joint Practical Guide yang menawarkan panduan spesifik mengenai masalah susunan kata. Masalah bukan hanya pada penerjemahan susunan kata ke bahasa yang lain, namun lebih kepada perbedaan dan karakteristik konsepsi hukum yang dipakai.[v] Sebagai contoh, konsep ”faute” dalam hukum Perancis tidak memiliki padanan yang serupa dalam hukum negara yang lainnya.

2.      Struktur dan Akses terhadap Perundang-undangan
            Struktur menjadi hal yang sangat penting dalam perancangan suatu peraturan perundang-undangan. Seuatu peraturan perundang-undangan yang baik harus memuat struktur yang jelas, mulai dari judul hingga bagian penutup. Strukturakan menjadi pedoman bagi masyarakat umum dalam melihat ketentuan dalam bagian tertentu dalam suatu peraturan. Selain itu, dalam kaitannya dengan peraturan yang lain, struktur dapat mencegah adanya pengaturan yang berulang. Dalam mengidentifikasi suatu hal, biasanya dipakai singkatan dari namanya, misalnya Dewan Perwakilan Rakyat, disingkat menjadi DPR. Bates, mengemukakan bahwa struktur perundang-undangan dapat lebih efektif apabila dalam menunjuk suatu hal tertentu dipakai kode alfabetik atau angka.[vi]
          Akses kepada suatu peraturan perundang-undangan tidak hanya merujuk kepada ketersediaan dan banyaknya suatu teks peraturan perundang-undangan yang dapat diakses. Masalah pemberitahunan suatu teks peraturan perundang-undangan, baik secara formal maupun informal (pengundangan, pengumuman, hubungan masyarakat, pemberitaan media, dll).[vii] Hal ini menjadi sangat penting dalam mengukur tingkat kepercayaan suatu sistem hukum dan politik suatu negara bekerja, dimana masyarakat dianggap tahu hukum. Dalam sistem hukum civil law dikenal adagium ”ignorantia iuris neminem excusat” (ketidaktahuan seseorang terhadap undang-undang tidak dapat dijadikan alasan pemaaf).
           Kata pengundangan dalam bahasa Inggris disebut juga sebagai ”promulgation”, yang berarti:[viii] “the order given to cause a law to be executed, and to make it public; it differs from publication” (perintah yang diberikan agar suatu undang-undang diberlakukan dan diumumkan). Sedangkan dalam bahasa Belanda disebut sebagai “afkondiging”, yang berarti:[ix] “ter openbare bekendmaking, voor onderscheidene overheidschandelingen voorgeschreven en wel veeal op straffe van nietigheid” (pemberitahuan kepada umum, ditetapkan terhadap tindakan-tindakan pemerintah tertentu, sebagian dengan sanksi pidana). Pengundangan berbeda dengan pengumuman. Dalam bahasa Inggris, pengumuman disebut sebagai “publication”, yang berarti:[x] “to make public; to make know to people in general; to bring before public” (mengumumkan kepada khalayak ramai; membawa kepada masyarakat). sementara dalam bahasa Belanda disebut “publicatie” yang berarti:[xi] “bekendmaking, openbaarmaking” (pengumuman membuat sesuatu terbuka untuk umum atau diketahui oleh umum).

3.      Identitas Legal-Kultur
            Faktor lain yang mempengaruhi karakteristik style of legislation adalah perbedaan identitas legal-kultur suatu negara. Identitas legal-kultur suatu negara dipengaruhi oleh pola ketentuan dalam konstitusi, sifat sistem hukum, serta sistem hukum yang dianut.[xii] Konstitusi yang mengatur ketentuan-ketentuan prinsipil dalam penyelenggaraan negara juga mengatur tentang kebijakan perundang-undangan. Hal inilah yang menyebabkan tiap negara memiliki karakteristiknya tersendiri. Dalam hal perancangan suatu peraturan perundang-undangan, van Poelje menyatakan bahwa pemisahan perancangan teks peraturan dalam suatu departemen khusus, menyebabkan peraturan tidak saling berkaitan satu dengan yang lain.[xiii]

Style of legislation dalam Kaitannya dengan Sistem Hukum yang Dianut
            Perbedaan sistem hukum yang dianut juga menjadi faktor yang signifikan dalam karakteristik style of legislation suatu negara. Terdapat dua sistem hukum besar yang dianut secara masif yang mempengaruhi sistem hukum negara-negara di dunia, yakni Sistem Hukum Civil law dan Sistem Hukum Common law. Bagian ini akan memberikan perbandingan antara kedua sistem hukum tersebut dengan mengaitkan pengaruhnya pada style of legislation suatu negara.
                Konsepsi Civil law berangkat pada kodifikasi Hukum Romawi yang dikenal sebagai Corpus Juris Civilis, yang kemudian berkembang di negara-negara Eropa Kontinental. Hukum Romawi menyatukan hukum perdata dan hukum dagang. Unifikasi hukum tersebut merupakan salah satu ciri Sistem Hukum Romawi, sehingga semua hukum nasional yang termasuk dalam sistem keluarga hukum tersebut selalu mempunyai unifikasi yang sama.[xiv]
  Sistem Hukum Civil law menekankan pada positivisme hukum. Titik tolak pembentukan norma hukum adalah dengan pembuatannya secara secara tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini disebut juga sebagai ”statutory law”. Konsepsi ini menjamin asas kepastian hukum dalam penyelenggaraannya Norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dibuat dalam bentuk abstraksi yang kemudian diaplikasikan secara deduktif utnuk menyelesaikan berbagai permasalahan di masyarakat.[xv]. Selain itu, hukum berlaku secara sah apabila dibuat oleh penguasa yang berwenang. Jika dikaitkan dengan teori ”separation of powers” dari Montesquieu, kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan secara rigid berada ditangan badan legislatif, sementara badan yudikatif berwenang dalam mengaplikasikan peraturan perundang-undangan dalam lingkup peradilan.
             Dalam sistem civil law juga dikenal adanya pertingkatan peraturan perundang-undangan. Konsepsi ini dikemukakan oleh Hans Nawiasky yang mengaplikasikan lebih lanjut teori Hans Kelsen tentang pertingkatan norma hukum. Nawiasky berpendapat bahwa suatu peraturan hanya dapat berlaku apabila bersumber dari peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya, sampai pada suatu norma hukum yang tertinggi yang dinamakan sebagai staatsfundamentalnorm.[xvi]
          Konsepsi yang berbeda dianut oleh Sistem Hukum Common law. Secara historis, sistem common law berkembang di Inggris pada abad ke-11 dan meluas hingga seluruh negara-negara persemakmuran Inggris, termasuk Amerika Serikat. Sistem common law menekankan pada hukum tidak tertulis berupa yurisprudensi hakim guna mencapai rasa keadilan di masyarakat, meskipun sistem common law juga mempunyai peraturan perundang-undangan dalam bentuk tertulis. Dalam bidang yudisial, hakim tidak hanya sebagai penafsir peraturan dalam bentuk tertulis semata, namun juga berwenang dalam menemukan preseden-preseden hukum yang baru. Dengan demikian, titik tolak pembentukan hukum bukan mengambil dari abstraksi norma hukum dalam peraturan perundang-undangan, namun pada prakteknya di masyarakat, yang disebut juga sebagai “case law” atau “judge-made law”. Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa preseden merupakan sejumlah besar jus non scriptum yang terdiri dari hasil-hasil keputusan pengadilan. Hasil-hasil ini dihimpun ke dalam sejumlah sangat besar law reports yang sudah dimulai sejak akhir abad ketigabelas.[xvii]
          Dalam menerapkan hukum, hakim dalam sistem common law menganalisis putusan hakim sebelumnya, mencari prinsip-prinsip dasar dan kemudian menerapkannya pada kasus tertentu, sehingga tidak terpaku pada peraturan perundang-undangan semata. Terkait dengan hal ini, terdapat doktrin ”stare of decisis”. doktrin ini mempunyai dua komponen utama, yakni:[xviii] (1) komponen vertikal, dalam arti bahwa hakim dalam peradilan lebih rendah terikat pada kewajiban untuk mendasarkan putusannya pada putusan-putusan hakim di tingkat yang lebih tinggi, meskipun yurisprudensi tersebut belum teruji kebenarannya; dan (2) komponen horizontal, dalam arti bahwa hakim tidak dapat mengenyampingkan pada putusan-putusan sebelumnya pada tingkat yang sama dalam kasus serupa, meskipun hakim juga memiliki kewenangan dalam membuat preseden hukum baru. Preseden hukum pada putusan sebelumnya tetap berlaku sampai diputus ulang oleh peradilan pada tingkat yang lebih tinggi..
            Pada saat ini, kedua sistem hukum tersebut diatas tidak selalu diaplikasikan secara rigid dalam sistem hukum suatu negara. Negara yang menganut sistem hukum civil law, dalam prakteknya juga menganut beberapa konsep sistem hukum common law, begitu pun sebaliknya. Meskipun sistem common law menganut ”judge-made law”, namun pada kenyatannya peraturan perundang-undangan juga memiliki peran yang signifikan. Bahkan dikatakan bahwa:[xix]
”legislation or law-making by the formal declaration in statutory form of rules by a competent authority is the most powerful and yet the latest of the law-making instruments. Statute law is today the principle source of law and is a very convenient method of making law.”
Selain itu, peraturan perundang-undangan dalam sistem civil law juga tidak lagi menekankan pada aspek kodifikasi yang mengkristalisasi norma-norma hukum yang hidup di masyarakat, namun lebih mengarah kepada modifikasi dengan mengedepankan perubahan gejala-gejala sosial dalam masyarakat. Walaupun demikian, perbedaan karakteristik antara kedua sistem hukum tersebut jelas tidak dapat dikesampingkan dalam mempengaruhi identitas legal-kultur suatu negara. Inggris, sebagai contoh negara yang menganut sistem common law, norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dibuat untuk mencegah kekacauan yang terjadi dalam penerapan ”case law”.[xx] Hakim dapat menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai pedoman untuk menyelesaikan kasus yang secara kontekstual diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan Jerman, yang menganut sistem civil law, ketelitian pembentukan peraturan perundang-undangan digerakkan oleh keinginan untuk membuat suatu tata perundang-undangan yang bertalian satu sama lain.[xxi] Dengan demikian peraturan perundang-undangan dapat diaplikasikan secara universal dalam perkara yang sama dan mencegah pengulangan pengaturan.

Perkembangan Style of legislation di Indonesia
Di Indonesia sendiri, kajian mengenai style of legislation, terutama dalam perancangan suatu peraturan perundang-undangan belum mendapatkan perhatian serius. Sistem hukum Indonesia saat ini masih tidak dapat dilepaskan dari pengaruh sistem hukum Belanda yang menganut sistem civil law. Hal ini dibuktikan dengan adanya masih terdapat kodifikasi peraturan. Sebagai contoh adalah peraturan-peraturan mengenai Hukum Pidana yang merupakan bidang hukum publik dikodifikasi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, peraturan-peraturan mengenai hubungan perorangan yang merupakan hukum privat dikodifikasi dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan masih banyak lagi peraturan yang dikodifikasi dalam kitab undang-undang kodifikasi. Padahal pembentukan sistem hukum nasional yang sesuai dengan Cita Hukum Nasional (rechtsidee) yang selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara merupakan hal yang sangat mendesak.
           Style of legislation di Indonesia masih sangar dipengaruhi oleh sistem Civil law. Pembentukan hukum ditekankan pada aspek positivisme hukum. Norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dibuat dalam bentuk abstraksi yang kemudian diaplikasikan secara deduktif utnuk menyelesaikan berbagai permasalahan di masyarakat. Dengan demikian, hakim hanya berperan dalam menjalankan dan menafsirkan undang-undang. Hakim di pengadilan Indonesia harus berpegangan kepada undang-undang dalam memutus suatu perkara selama masalah tersebut diatur di dalam undang-undang. Hakim baru bisa menemukan hukum sendiri apabila permasalahan yang ia tangani tidak diatur di dalam undang-undang. Hal ini berbeda dengan hakim di negara yang  menganut sistem Common law, dimana pembentukan hukum terletak pada preseden hakim. Oleh karena itu, hakim memiliki peran yang sangat vital dalam pembentukan norma hukum, yang mana hakim tersebut diberi kebebasan untuk menciptakan hukum sendiri, dan undang-undang hanya digunakan sebagai pelengkap saja.
            Teori pertingkatan norma (stuffentheorie) dari Hans Kelsen dan teori pertingkatan norma hukum (die theorie vom stufenordnung der rechtsnormen) dari Hans Nawiasky memberikan pengaruh yang signifikan dalam pembentukan tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.[xxii] Dalam sistem hukum nasional, Pancasila merupakan ”staatsfundamentalnorm” yang menjadi dasar dari segala hukum yang berlaku di Indonesia. Dibawahnya terdapat Ketetapan MPR serta hukum tidak tertulis yang disebut sebagai Konvensi Ketatanegaraan sebagai ”staatsgrundgesetz”; Undang-Undang (formell gesetz); serta secara berturut-turut mulai dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, serta peraturan otonom lainnya sebagai ”verordnung” dan ”autonome satzung”
        Karakteristik style of legislation di Indonesia juga dapat dilihat dari perspektif fungsi peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Penjelasan Umum UUD 1945 alinea ke IV, disebutkan bahwa:
”maka telah cukup jikalau Undang-Undang Dasar hanya emmuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara negara untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial. Terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada Undang-Undang yang lebih mudah caranya membuat, mengubah, dan mencabut.”
Ketentuan tersebut memberikan pemahaman bahwa pengaturan lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam konstitusi, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat ditetapkan lewat undang-undang, karena lebih fleksibel sifatnya. Pengaturan tersebut dapat berupa pengaturan organisasi, tugas dan susunan lembaga negara yang disebutkan dalam UUD Tahun 1945; atau tata hubungan antara negara dan warga negara dan antara warga negara timbal balik.[xxiii] Selain itu, sistem hukum di Indonesia juga menganut asas ”law as a tool of social enggineering”. Dalam sistem common law, asas tersebut memberikan pemahaman bahwa yurisprudensi hakim bertujuan sebagai alat rekayasa sosial dimana dapat diterapkan dalam mengatur perubahan-perubahan social yang terjadi dalam masyarakat. asas tersebut kemudian diaplikasikan dalam konteks undang-undang.
            Dari perspektif materi muatan, para ahli berpendapat bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan dalam arti ”formell gezets”, tidak dapat ditentukan lingkup materinya, mengingat undang-undang merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat, sedangkan kedaulatan itu sendiri bersifat mutlak tidak tergantung pada siapapun.[xxiv] Pendapat berbeda dianut oleh Prof. Hamid Attamimi. Menurut Prof. Hamid, peraturan perundang-undangan di Indonesia memiliki karakteristik tersendiri. Hal ini karena, selain dibentuk oleh lembaga yang berbeda, masing-masing peraturan perundang-undangan juga memiliki fungsi sekaligus materi muatan yang berbeda sesuai dengan tingkatannya. Sehingga dalam hierarki perundang-undangan memiliki hubungan yang fungsional satu dengan yang lainnya. Dalam menemukan materi muatan undang-undang, terdapat tiga pedoman yang dipakai, yakni: (1) ketentuan dalam Batang Tubuh UUD Tahun 1945; (2) berdasarkan wawasan negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat); dan (berdasarkan wawasan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi).[xxv]

PENUTUP
            Kajian mengenai style of legislation secara umum memang belum mendapat perhatian yang serius dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Style of legislation memiliki beberapa unsur utama, yakni: (1) susunan kata (penggunaan bahasa, definisi, terminologi, dll); (2) struktur peraturan perundang-undangan (bagian-bagian dalam peraturan perundang-undangan),  suprastruktur (hubungannya dengan peraturan perundang-undangan yang lain); dan (3) identitas legal-kultur (sistem hukum yang dipakai dan pengaruhnya dalam negara tersebut. Dalam kaitannya dengan sistem hukum yang dianut, meskipun kebanyakan negara tidak menganut secara rigid satu sistem hukum semata, namun karakteristik yang lahir dari originalitas sistem hukum, naik civil law maupun common law memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam pemberian karakteristik style of legislation suatu negara. Secara umum dapat digeneralisir bahwa negara yang menganut sistem hukum civil law memiliki karakteristik positivisme hukum dengan pembentukan tata urutan peraturan perundang-undangan. Sementara negara yang menganut sistem common law memiliki karakteristik ”case law” atau ”judge-made law” dengan menekankan pada aspek preseden hakim.
            Style of legislation di Indonesia secara garis besar masih dipengaruhi oleh sistem hukum Belanda yang notabene menganut sistem civil law. Hal ini terlihat dengan adanya berbagai peraturan kodifikasi, meskipun masih warisan kolonial. Pengaruh civil law juga dapat dilihat dalam tata urutan perundang-undangan yang menganut teori pertingaktan norma hukum Hans Kelsen dan Hans Nawiasky.

Catatan:
[i] Wim Voermans, Styles of Legislation and Their Effect, makalah yang dipresentasikan pada Konferensi ‘Styles of Legislation’ yang diseenggarakan pada pembukaan European Academy for Law and Legislation, Peace Palace, Hague, 17–18 Desember 2009, hal 1.
[ii] http://kamusindonesiainggris.org/, diakses pada 29 Desember 2011, pukul 11.00 WIB.
[iii] Wim Voermans, op.cit, hal 3.
[iv] Ibid, hal 4.
[v] Ibid.
[vi] Ibid. hal 7.
[vii] Ibid, hal 8.
[viii] Maria  Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hal 152.
[ix] Ibid, hal 151.
[x] Ibid, hal 152.
[xi] Ibid.
[xii] Wim Voermans, op.cit, hal 9.
[xiii] Ibid, hal 10.
[xiv] R.Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal 100
[xv] Dominik Lengeling, Common law and Civil law: Differenses, Reciprocal Influences and Points of Intersections (Toronto/Siegen: Law Firm Patrick Schindler/Schleifenbaum & Adler, 2008), hal 10.
[xvi] Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hal 45.
[xvii] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal 113.
[xviii] Dominik Lengeling, op.cit, hal 9.
[xix] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hal 13.
[xx] Wim Voermans, op.cit, hal 10.
[xxi] Ibid.
[xxii] Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, op.cit, hal 57.
[xxiii] Ibid, hal 21.
[xxiv] Ibid, hal 235.
[xxv] Ibid, hal 237.

Minggu, 25 Desember 2011

HAK ASASI LINGKUNGAN HIDUP: SUATU TINJAUAN SINGKAT

”our ecological crisis is a crisis of character, not a political or social crisis”  -Wendell Berry-

Pendahuluan
Manusia dan lingkungan memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai makhluk hidup, manusia membutuhkan lingkungan yang layak bagi tempat hidupnya. Interaksi manusia, baik dalam lingkup kelompok sosial, masyarakat, maupun bernegara merupakan suatu conditio sine qua non dengan lingkungan hidupnya. Selama ini, paradigma hampir tiap manusia beranggapan bahwa lingkungan hanyalah objek eksploitasi sederhana yang sekedar terkait dengan tumbuhan dan hewan. Padahal sesungguhnya, ruang lingkup lingkungan sangatlah jauh lebih luas, yakni mencakup keseluruhan ruang dimana semua makhluk hidup berada. Pembangunan sejatinya hanya dapat tercapai apabila kondisi lingkungan hidup terjaga, sehingga pada gilirannya akan menciptakan sebuah kondisi yang kondusif bagi penghormatan, perlindungan, penegakan, dan pemenuhan HAM.
Pada saat ini, kerusakan lingkungan hidup tidak dapat lagi disangkal. Dengan paradigma yang memposisikan lingkungan menjadi obyek eksploitasi, manusia tanpa pikir panjang melakukan berbagai tindakan-tindakan perusakan dengan menggunduli hutan, menebarkan polusi, membuang sembarangan, tanpa memperdulikan akibat yang akan timbul, baik bagi lingkungan maupun makhluk hidup. Padahal, aspek perlindungan lingkungan hidup adalah sangat penting, mengingat lingkungan memiliki keterbatasan dalam menampung berbagai tindakan pencemaran yang dilakukan manusia. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba memberikan tinjauan singkat konsepsi hak asasi lingkungan hidup sebagai suatu penghormatan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Tulisan ini bertujuan untuk merubah paradigma berpikir sebagian manusia agar tercipta suatu kondisi mutualisme antara manusia dengan lingkungannya.

Dari Paradigma Antroposentris ke Ekosentris
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, paradigma yang menempatkan lingkungan sebagai obyek eksploitasi telah kepada kerusakan lingkungan fatal yang kemudian berujung kepada berbagai bencana alam yang justru merugikan manusia. Mengenai hal ini, Barack Obama, Presiden Amerika Serikat pernah berkata bahwa:[i]
“All across the world, in every kind of environment and region known to man, increasingly dangerous weather patterns and devastating storms are abruptly putting an end to the long-running debate over whether or not climate change is real. Not only is it real, it's here, and its effects are giving rise to a frighteningly new global phenomenon: the manmade natural disaster”
perubahan iklim meruapakan salah satu dari berbagai bencana alam yang diakibatkan oleh perbuatan manusia terhadap alam. Saat ini, perubahan iklim menjadi suatu wacana yang menarik perhatian berbagai negara di dunia. Pencemaran udara yang disebabkan oleh asap kendaraan bermotor, asap pabrik, maupun penebangan hutan secara besar-besaran telah berimplikasi pada rusaknya lapisan ozon pada atmosfer bumi.
Bencana alam seperti perubahan iklim seharusnya dapat dicegah apabila paradigma manusia terhadap lingkungannya dapat diubah. Sebagian besar masyarakat dunia cenderung beranggapan bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta dan lingkungan hanya sekadar sebagai tumpukan kekayaan dan energi untuk dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Paradigma ini memisahkan antara manusia dan lingkungannya. Lingkungan hanya menjadi alat dan sarana manusia dalam memperoleh keuntungan. Dengan demikian, manusia dapat berbuat seenaknya terhadap lingkungan dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, tanpa memperdulikan efek yang akan timbul. Dalam teori hukum lingkungan, paradigma semacam ini dinamakan antroposentris.[ii]
Dalam hubungan antara manusia dengan lingkungan, van Peursen membagi kehidupan manusia dalam tiga tahapan.[iii] Pertama, adalah tahap mitis, dimana manusia menggantungkan hidupnya secara penuh kepada lingkungan sekitarnya. Semua kebutuhan hidup manusia diambil langsung dari alam. Kedua adalah tahap ontologis, dimana manusia menjadi pusat kehidupan. Disaat teknologi dan peradaban manusia sedemikian maju, manusia telah berhasil menguasai, mengeksplorasi dan mengeksploitasi alam secara besar-besaran untuk kepentingannya sendiri. Pada tahap inilah berkembang paradigma antroposentris. Kemudian, manusia semakin sadar bahwa tindakan eksploitatif yang dilakukannya telah mencemarkan alam dan memicu serangkaian bencana alam yang diakibatkan oleh batasan alam dalam menampung pencemaran. Cara pandang pun akan berubah, dimana lingkungan tidak lagi dijadikan sebagai sebuah obyek. Inilah yang dinamakan tahap fungsional. Manusia tidak lagi menjadi pusat penentu kehidupan. Pola hubungan antara alam dan manusia akan mencapai sebuah titik keseimbangan. Paradigma semacam ini disebut sebagai ekosentris[iv].
Paradigma ekosentris menganggap bahwa lingkungan merupakan suatu entitas menyeluruh antara makhluk hidup dan alam sekitar. lingkungan memiliki nilai yang harus dijaga dan dilestarikan oleh manusia. Dengan adanya penghormatan atas hak-hak lingkungan hidup, hubungan antara manusia dan lingkungannya dapat bersifat mutualisme.  Manusia tetap dapat melakukan eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya, namun di sisi lain, manusia juga harus memperhatikan daya dukung lingkungan agar tidak merusak keseimbangan alam. Perubahan paradigma dari antroposentris ke ekosentris sedemikian, sebagaimana dikemukakan oleh Wendell Berry, ”our ecological crisis is a crisis of character, not a political or social crisis”.[v]


Pembangunan Berkelanjutan (Sustainability Development) Sebagai Wujud Perlindungan Hak Asasi Lingkungan
Paradigma ekosentrisme akan membawa kepada pembangunan yang berwawasan lingkungan, dimana orientasi pembangunan akan memperhatikan daya dukung lingkungan dan keseimbangan ekosistem. Istilah sustainability development (pembangunan berkelanjutan) sebenarnya telah diperkenalkan oleh Rachel Carson pada tahun 1962 lewat bukunya Silent Spring. Ia berpendapat bahwa pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan atau perkembangan (development) yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam untuk kehidupan.[vi]
Secara sederhana, konsep pembangunan berkelanjutan dapat dirumuskan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan, termasuk sumber dayanya, ke dalam proses pembangunan yang menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi sekarang dan geneasi yang akan datang. Laporan Komisi Brundtland pada tahun 1967, atau yang dikenal sebagai Brundtland Report, mengidentifikasikan beberapa masalah kritis yang perlu dijadikan dasar kebijakan lingkungan bagi konsep pembangunan berkelanjutan, yakni:[vii]
a.      Mendorong pertumbuhan dan meningkatkan kualitas (reviving growth and changing its quality);
b.      Mendapat kebutuhan pokok mengenai pekerjaan, makanan energi, air, dan sanitasi (meeting essestial needs for jobs, food, energy, water, and sanitation);
c.       Menjamin tingkat pertumbuhan penduduk yang mendukung keberlanjutan (ensuring asustainable level of population);
d.      Melakukan konservasi dan kemampuan sumberdaya (conserving and enhancing the resource base);
e.       Orientasi teknologi dan mengelola resiko (reorienting technology and managing risks) dan;
f.        Memadukan pertimbangan lingkungan ekonomi dalam proses pengambilan keputusan (merging environment and economics in decision-making).
Dari pemaparan diatas, dapat dikatakan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan berkaitan dengan sistem penyelenggaraan pembangunan yang memiliki dimensi ruang dan waktu. Ruang dalam hal ini adalah lingkungan hidup dimana manusia hidup dan membangun kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pembangunan harus memperhatikan daya dukung lingkungan dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Sedangkan dimensi waktu berkaitan dengan kehidupan masa kini dan masa mendatang yang dipahami sebagai suatu hal yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Pembangunan tidak bertujuan jangka pendek dalam mengejar keuntungan untuk generasi sekarang semata, namun pembangunan harus juga memperhatikan kebutuhan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan juga merupakan suatu kebutuhan pembangunan (development needs) yang tidak dapat dihindarkan dalam konteks pembangunan yang dilakukan dewasa ini. Esensi dari prinsip ini adalah berupaya untuk memadukan unsur lingkungan hidup dan pembangunan sebagai dua hal yang tidak dapat terpisahkan satu sama lainnya dalam rutinitas pembangunan nasional khususnya di bidang lingkungan hidup. Dalam perspektif yuridis, prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah merupakan suatu upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.[viii] Sejalan dengan ketentuan tersebut, Emil Salim, mendeskripsikan tentang pembangunan dan lingkungan hidup sebagai berikut:[ix]
”Bahwa unsur lingkungan itu melarut dalam pembangunan. Unsur lingkungan tidak dilihat terpisah dari pembangunan sebagaimana dipisahkannya gula dari air teh, tetapi lingkungan dilarutkan dalam pembangunan berkelanjutan seperti gula melarut dalam teh manis”.

Ekokrasi dan Perlindungan Konstitusi Terhadap Lingkungan Hidup
Konsep pembangunan berkelanjutan tentunya hanya akan menjadi wacana semata, apabila tidak memiliki suatu kekuatan hukum mengikat yang dimuat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, penting untuk menjamin adanya perlindungan terhadap hak asasi lingkungan hidup dalam konstitusi sebagai norma dasar dalam suatu negara.  Terhadap perlindungan hak asasi lingkungan hidup, terdapat wacana mengenai demokrasi model baru yang dinamakan ekokrasi. Diskursus mengenai ekokrasi sebenarnya telah berlangsung sejak akhir 1990an. Wolfgang Sachs menyatakan bahwa ”the ecocratic discourse which is about to unfold in the late 1990s starts from conceptual marriage of ‘environment’ and ‘development’, finds it cognitive monitoring and control.”.[x] Prof. Jimly berpendapat bahwa konsep ekokrasi merupakan suatu tahapan paling baru dari perkembangan filsafat hukum dan politik mengenai kekuasaan negara. dari perkembangan ini, dituntuk peletakkan dasar-dasar konseptual mengenai isu lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan yang setara dengan konsep demokrasi, nomokrasi, dan bahkan teokrasi.[xi]
Konsepsi awal mengenai ekokrasi pertama kali hadir dalam the Brundtland Report. Menurut Henry Skolimowski, konsepsi ekokrasi ini lebih pada bentuk pengakuan terhadap kekuatan alam dan kehidupan yang ada di dalamnya, pemahaman mengenai keterbatasan lingkungan, elemen kerjasama dengan alam, serta yang terpenting yakni menciptakan sistem ekologi yang berkelanjutan dengan penghormatan terhadap bumi berserta isinya dan tidak melakukan perampasan secara eksploitatif tanpa perhitungan.[xii]  Dengan konsepsi ekokrasi, alam dan manusia sama-sama merupakan subyek hak-hak yang bersifat asasi. Alam memiliki hak-hak asasi dan kekuasaannya sendiri yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun.
Konsepsi ekokrasi menuntut adanya formulasi pengakuan hak asasi lingkungan hidup dalam konstitusi. Hal inilah yang oleh Prof. Jimly dinamakan sebagai ”green constitution”, dimana konstitusi sebagai hukum yang tertinggi memberikan jaminan hukum perlindungan hak-hak asasi lingkungan hidup. Urgenitas perlindungan hak-hak asasi lingkungan hidup dalam konstitusi disebabkan oleh ketidakseimbangan kepentingan lingkungan hidup dengan kepentingan-kepentingan pembangunan. Selain itu, pada kenyataannya undang-undang yang berkaitan dengan lingkungan hidup juga belum dapat melindungi secara sepenuhnya kepentingan lingkungan hidup. Keputusan-keputusan di forum politik seperti parlemen juga tentunya tidak dapat mendukung ide-ide perlindungan lingkungan hidup. Dengan menaikkan norma perlindungan lingkungan hidup kedalam konstitusi, maka setiap produk perundang-undangan yang dibuat harus dapat melindungi hak-hak asasi lingkungan hidup.
Dewasa ini, sudah terdapat beberapa konstitusi negara-negara di dunia yang telah memasukkan ide perlindungan hak asasi lingkungan hidup dalam ketentuannya. Konstitusi-konstitusi tersebut dapat dibagai menjadi beberapa kelompok. Pertama, konstitusi yang memuat ketentuan spesifik mengenai perlindungan lingkungan hidup. Kedua, konstitusi yang mengintegrasikan ketentuan mengenai lingkungan hidup dengan ketentuan mengenai hak asasi manusia. Ketiga, konstitusi yang hanya mengatur tentang lingkungan hidup secara implisit atau menentukan jaminan hak-hak asasi tertentu dapat dipakai untuk kepentingan perlindungan lingkungan hidup dalam praktek. Dan keempat, konstitusi yang mengaitkan garis-garis besar kebijakan lingkungan tertentu dengan tugas atau tanggungjawab  lembaga negara tertentu untuk melestarikan lingkungan hidup dan mengatasi kerusakan alam.[xiii]
Konstitusi negara-negara di dunia yang dapat dikatakan sebagai konstitusi yang paling maju dalam perlindungan hak asasi lingkungan hidup adalah Konstitusi Prancis dan Konstitusi Ekuador. Salah satu perubahan paling mendasar dalam Konstitusi Pransic adalah dimasukkannya Environmental Charter of 2004 (Piagam Lingkungan Hidup) dalam Preambule-nya, yang disejajarkan dengan Declaration of rights of Man and of Citizen 1798. Piagam Lingkungan hidup tersebut memperkenalkan prinsip precaution (kewaspadaan antisipatif) sebagai prinsip yang terkandung dalam konstitusi. Prinsip ini dianut untuk mengantisipasi dan merespon kekhawatiran yang timbul akibat possible harmful effect of technologies (kemungkinan akibat buruk dari penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi) yang mencemarkan atau membahayakan lingkungan hidup.[xiv] Selain itu, piagam ini juga memperkenalkan prinsip polluter-payer, yang memperkuat adanya daya paksa kepada para pencemar agar benar-benar memenuhi kewajibannya dalam membiayai pencegahan atau pengurangan tingkat polusi yang disebabkan oleh kegiatannya.[xv]
Konstitusi yang tidak kalah dalam menjamin perlindungan hak asasi lingkungan hidup adalah Konstitusi Ekuador. Konstitusi yang disahkan pada tanggal 10 April 2008 ini memiliki terobosan baru dengan menegaskan adanya hak alam sebagai subyek dalam kehidupan manusia dalam wadah negara konstitusional. Dalam Title II tentang ”Fundamental Rights”, ”Article of Rights Entitlement”, ditegaskan bahwa “Persons and people have the fundamental rights guaranteed in this Constitution and in the International human rights instruments. Nature is subject to those rights given by this Constitution and Law”.[xvi] Selain itu ditentukan pula dalam Artikel 2 bahwa alam berhak atas pemulihan atau restorasi yang bersifat integral yang terpisah dari kewajiban orang atau badan hukum atau negara untuk menjamin kerugian orang atau kelompok orang yang menggantungkan hidupnya dari ekosistem.
Bagaimana dengan penerapan konstitusionalitas perlindungan hak asasi lingkungan hidup di Indonesia? Ketentuan mengenai jaminan perlindungan hak asasi lingkungan hidup dalam UUD Tahun 1945 dapat terlihat dalam Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Dalam ketentuan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa:[xvii] “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dari ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa UUD 1945 menjamin adanya hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat serta pelayananan kesehatan yang baik, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Sedangkan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 berbunyi:[xviii] “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Dari dua ketentuan tersebut diatas, terdapat ide yang berkaitan dengan lingkungan hidup, yaitu bahwa perekonomian nasional berdasar atas demokrasi ekonomi dimaksud haruslah mengandung prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Artinya, pada alam diakui adanya kekuasaan dan hak-hak asasinya sendiri yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun (inalienable rights). Alam diakui memiliki kedaulatannya sendiri. Oleh karena itu, di samping rakyat sebagai manusia yang dianggap berdaulat, alam juga berdaulat. Inilah yang dimaksudkan dengan prinsip ekokrasi yang juga terkandung dalam UUD 1945.[xix] Lebih lanjut Jimly Ashiddiqie, mengatakan bahwa setidaknya terdapat dua alasan utama betapa konsepsi green constitution dan ekokrasi menjadi sangat penting untuk di pahami oleh segenap komponen bangsa indonesia. Pertama, terhadap kondisi kelestarian lingkungan hidup yang sangat memprihatinkan, maka sudah seharusnya dasar-dasar konseptual mengenai persoalan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dengan berwawasan lingkungan dijamin dalam UUD 1945. Kedua, UUD 1945 sebagai the sumpreme law of the land pada dasarnya telah memuat gagasan dasar mengenai kedaulatan lingkungan dan ekokrasi yang dapat disetarakan pula nilai-nilainya dengan konsep demokrasi dan nomokrasi.

Penutup
Perubahan paradigma adalah sebuah keharusan. Manusia dan lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keduanya memiliki hubungan mutualisme satu sama lain. Sama halnya dengan manusia, lingkungan juga mempunyai hak-hak asasi yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun. Dengan mengakui hak asasi lingkungan, pembangunan juga akan mengarah pada wawasan lingkungan, dimana lingkungan, termasuk sumber dayanya, dipadukan ke dalam proses pembangunan yang menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi sekarang dan geneasi yang akan datang. Konsepsi ini juga tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya apabila tidak diformulasikan dalam suatu norma hukum yang memiliki kekuatan pemaksa. Oleh karena itu, konstitusionalitas jaminan perlindungan hak-hak asasi lingkungan menjadi hal yang tidak dapat ditawar lagi, mengingat kerusakan lingkungan yang sudah sedemikian parah.


Catatan:
[i] Pan Mohamad Faiz, Perubahan Iklim dan Perlindungan terhadap Lingkungan: Suatu Kajian Berperspektif Hukum Konstitusi, tulisan yang disampaikan pada Forum Diskusi Kelompok Kerja Pakar Hukum mengenai ”Perubahan Iklim” yang diselenggarakan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) tanggal 27 April 2009, hal 1.
[ii] Dalam beberapa literatur disebut juga sebagai homosentris. Lebih lanjut mengenai antroposentrisme lihat A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), hal 47-50.
[iii] Jimly Asshiddiqie, Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2009), hal 118.
[iv] Selain ekosentris, terdapat pandangan lain yang menentang pandangan antroposentris, yakni biosentris, zoo-centris dan deep ecology, lebih lanjut baca A. Sonny Keraf, op.cit.
[v] Wendell Berry, The Unsetting of America: Culture and Agriculture (San Fransisco, Sierra Club, 1996), sebagaimana dikutip dalam Jimly Asshiddiqie, op.cit, hal 120.
[vi] Ibid, hal 134.
[vii] Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan dalam Rangka Pengelolaan (termasuk Perlindungan) Sumber Daya Alam yang Berbasis Pembangunan Sosial dan Ekonomi, makalah yang disampaikan pada Seminar Pembagunan Hukum Nasional VIII dengan tema “Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan” 14-18 Juli 2003, hal 13.
[viii] Mukhlis dan Mustafa Lutfi, Ekologi Konstitusi: Antara Rekonstruksi, Investasi atau Eksploitasi Atas Nama NKRI, dimuat dalam Jurnal Konstitusi Vo. 8 Nomor 3, Juni 2011, hal 172.
[ix] Emil Salim, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, cet.6 (Jakarta LP3ES,1993), hal 9, sebagaimana dikutip dalam ibid, hal 173.
[x] Jimly Asshiddiqie, op.cit, hal 6.
[xi] Ibid, hal 8.
[xii] Pan Mohamad Faiz, op.cit, hal 13.
[xiii] Jimly Asshiddiqie, op.cit, hal 20.
[xiv] Ibid, hal 64.
[xv] Ibid, hal 65.
[xvi] Ibid, hal 72.
[xvii] Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (1).
[xviii] Ibid, Pasal 33 ayat (4).
[xix] Mukhlis dan Mustafa Lutfi, op.cit, hal 170.