Senin, 16 Mei 2011

MEKANISME CARBON TRADING DALAM PROTOKOL KYOTO DAN MANFAATNYA BAGI INDONESIA

Pendahuluan
       Perubahan iklim kini bukan lagi sebuah wacana. Ketika dampaknya kini semakin dirasakan oleh masyarakat dunia, munculah komitmen negara-negara di dunia untuk mencegah kerusakan yang lebih parah terhadap atmosfer. Beberapa solusinya adalah mereduksi pelepasan gas rumah kaca sebagai limbah industri ke atmosfer dan penurunan laju degradasi sumber daya hutan di kawasan tropis. Berbagai kesepakatan internasional dilakukan terkait dengan pelaksanaan solusi tersebut.
      Mekanisme carbon trading atau perdagangan karbon lahir sebagai solusi alternatif penaatan komitmen negara-negara di dunia dalam mereduksi emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas secara singkat bagaimana sebenarnya mekanisme carbon trading yang terdapat dalam Protokol Kyoto, serta bagai mana potensi Indonesia sebagai negara hutan tropis dalam mekanisme carbon trading.

Protokol Kyoto Sebagai Latar Belakang Lahirnya Carbon Trading
     Untuk mencegah dampak perubahan iklim yang lebih parah, beberapa negara sepakat melakukan penurunan jumlah emisi gas rumah kaca di masing-masing negara. Kesepakatan ini kemudian diwujudkan dalam UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) Tahun 1992. Tujuan utama dari konvensi ini adalah untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitroksida (N2O), sulfur heksafluorida (SF6), hidroflouorokarbon (HFC), dan perfluorokarbon (PFC) pada tingkat yang aman, sehingga tidak membahayakan iklim global.[i] Konvensi ini kemudian membagi negara-negara peserta kedalam kelompok negara Annex I dan kelompok negara non-Annex I. Kelompok Annex I adalah negara-negara yang telah lebih dulu melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer sejak revolusi industri tahun 1850an. 
     Beberapa tahun setelah UNFCCC ditandatangani dan diratifikasi, negara-negara peserta konvensi melakukan kesepakatan untuk memperkuat komitmen pelaksanaan UNFCCC. Oleh karena itu pada Third Session of the Conference of Parties (COP-3) tahun 1997 di Kyoto dicetuskanlah Protokol Kyoto. Protokol ini mewajibkan seluruh negara Annex I untuk menurunkan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5,2% dari tingkat emisi rumah tahun 1990 pada perode tahun 2008-2012. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia.[ii]

Mekanisme Carbon Trading dalam Protokol Kyoto
        Selain untuk menegaskan komitmen negara-negara peserta UNFCCC untuk menurunkan jumlah emisi, Protokol Kyoto juga menawarkan mekanisme baru yang dinamakan Flexibility Mechanisms. Mekanisme ini memungkinkan negara-negara peserta, khususnya negara Annex I memenuhi kewajiban target penurunan emisi gas rumah kaca melalui penurunan emisi di negara lain. Mekanisme tersebut antara lain sebagai berikut:
1.      Joint Implementation (JI)
         JI merupakan salah satu dari tiga flexibility mechanisms yang ada dalam Pasal 6 Protokol Kyoto yang bertujuan untuk membantu negara Annex I untuk memenuhi komitmennya dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. JI dapat dilakukan sebagai salah satu alternatif penurunan emisi secara domestik. Mekanisme ini biasa disebut mekanisme perdagangan kredit berbasis proyek. JI  biasanya terjadi antara negara industri dengan transisi menuju ekonomi pasar dengan negara maju yang terdaftar pada Annex II di Lampiran UNFCCC.[iii]
     Melalui mekanisme ini, negara maju dapat meminimalkan biaya yang dikeluarkan bila dibandingkan melakukan proyek penurunan emisi di negaranya sendiri, sedangkan negara pelaksana proyek mendapatkan keuntungan berupa tersedianya investasi melalui bantuan pendanaan ataupun transfer teknologi. Pasar dan aturan pelaksanaan JI diatur oleh sebuah lembaga yang mirip dengan Executive Board CDM, yang disebut dengan JI Supervisory Board.
     Ada dua tingkatan JI, yaitu JI Tier 1 dan JI Tier 2.  JI Tier 1 adalah untuk negara-negara yang pencatatan emisi domestik serta perubahannya tidak terlalu rapi (mirip dengan situasi negara-negara berkembang), sehingga pencatatan dan monitoring di tingkat proyek menjadi sangat teliti dan hati-hati.  Sementara itu, JI Tier 2 adalah untuk negara-negara yang pencatatan emisi domestik serta perubahannya sudah rapi (sama dengan situasi negara-negara maju lainnya), sehingga monitoring di tingkat proyek tidak harus terlalu menuntut.[iv]

2.      International Emission Trading (IET)
IET merupakan salah satu flexibility mechanisms dalam Pasal 17 Protokol Kyoto yang memungkinkan sebuah negara Annex I untuk menjual kredit penurunan emisi gas rumah kaca kepada negara Annex I lainnya. Semua kredit penurunan emisi yang ditetapkan Protokol Kyoto, seperti Assigned Ammount Unit (AAU), Removal Unit (RMU), Certified Emission Reduction (CER) maupun Emission Reduction Unit (ERU) dapat diperjualbelikan melalui mekanisme ini.
Berbeda dengan JI yang kredit penurunan emisinya berbasis proyek, IET tidak memerlukan suatu proyek yang spesifik. IET dapat dilaksanakan apabila suatu negara Annex I memiliki kredit penurunan emisi gas rumah kaca melebihi target negaranya. Kredit tersebut dapat dijual ke negara Annex I lainnya.

3.      Clean Development Mechanism (CDM)
CDM merupakan satu-satunya flexibility mechanisms dalam Protokol Kyoto yang memberikan peran bagi negara berkembang (non-Annex I) untuk membantu target penurunan emisi gas rumah kaca negara Annex I. Dalam CDM, negara-negara Annex I dapat memenuhi target kewajiban penurunan emisinya melalui investasi proyek penurunan emisi (emission reduction project) maupun perdagangan karbon dengan negara-negara non-Annex I. Dapat dikatakan bahwa CDM merupakan gabungan antara JI dan IET.
Adapun tujuan CDM sebagaimana terdapat dalam Pasal 12 Protokol Kyoto adalah:
a.   Membantu negara berkembang yang tidak termasuk dalam negara Annex I untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan serta menyumbang pencapaian tujuan utama UNFCCC, yakni menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca dunia pada tingkat yang tidak akanmengganggu system iklim global; dan
b.      Membantu negara-negara Annex  I dalam memenuhi target penurunan emisi di negaranya.
CDM diharapkan dapat menjadi faktor pendukung munculnya proyek-proyek berbasis lingkungan di negara non-Annex I. Proyek berbasis lingkungan tersebut akan dinilai, dievaluasi dan divalidasi apakah telah berhasil menurunkan tingkat emisi. Kemudian akan diterbitkan Certified Emission Reduction (CER), yakni sertifikasi reduksi emisi yang setara dengan 1 ton CO2 oleh CDM Executive Board. Dengan CER, negara-negara Annex I dapat mengkonversi nilai tersebut untuk memenuhi target penurunan emisi negaranya.

Potensi Indonesia dalam Mekanisme Carbon Trading
Sebagaimana yang telah kita ketahui, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki areal hutan hujan tropis terluas di dunia. Luas areal hutan Indonesia adalah sekitar 120,35 juta Ha atau sekitar 68% dari total luas daratan Indonesia. Dari total luas tersebut, 33,52 juta ha merupakan areal hutan lindung, 66,33 juta ha merupakan hutan produksi, dan 20,50 juta ha adalah hutan konservasi.[v] Hutan hujan tropis sebagai paru-paru dunia menjadi komoditas yang vital dalam menyerap emisi gas rumah kaca untuk meminimalisir kerusakan atmosfer.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah memiliki komitmen dalam menanggulangi dampak perubahan iklim, sebagai salah satu peserta dalam Protokol Kyoto, Indonesia meratifikasi protokol tersebut pada 28 Juni 2004 dengan disahkannya UU Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations Framework of Climate Change.[vi] Dengan potensi hutan yang sedemikian besar, Indonesia memiliki potensi yang vital dalam perdagangan karbon. Dalam konteks mekanisme CDM khususnya, Indonesia sebagai negara non-Annex I memiliki keuntungan masuknya investasi asing, terutama dari negara Annex I dalam mendukung proyek berbasis lingkungan domestik. Beberapa keuntungan tersebut antara lain:
a.       Sumber dana
Dalam konteks CDM, Indonesia sebagai negara non-Annex I memiliki potensi menjadi negara tujuan utama investasi proyek berbasis penurunan emisi dari negara Annex I. Dengan demikian, dana investasi asing mengalir untuk mendukung proyek berbasis lingkungan di dalam negeri.
b.      Fasilitas alih teknologi
Dalam Protokol Kyoto tercantum adanya klausul kewajiban bagi negara-negara Annex I untuk menyediakan dana alih teknologi kepada negara-negara non-Annex I.
c.       Fasilitas peningkatan kemampuan
Seperti halnya fasilitas alih teknologi, negara-negara Annex I memiliki kewajiban menyediakan dana untuk mendukung pengembangan kemampuan di negara-negara non-Annex I dalam kaitannya dengan perubahan iklim, termasuk kemampuan penelitian, pemantauan serta adaptasi.
d.      Fasilitas adaptasi terhadap perubahan iklim
Protokol Kyoto memberikan klausul fasilitas adaptasi bagi negara-negara berkembang yang rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti Indonesia.
e.       Rehabilitasi kawasan hutan
Di bidang kehutanan, dana investasi CDM dapat diarahkan untuk mendukung program penghijauan kawasan hutan, seperti rehabilitasi hutan mangrove dan hutan gambut, Agroforestry, penerapan Reduced Impact Logging (RIL), peningkatan permudaan alam.[vii]
f.        Kompensasi carbon sequestration
Dalam Protokol Kyoto juga disebutkan adanya klausul bahwa negara-negara Annex I memberikan kompensasi kepada negara pemilik hutan tropis untuk mencadangkan wilayah hutannya untuk penyimpanan karbon (carbon sequestration).[viii]

Penutup
Berdasarkan pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa carbon trading merupakan bentuk flexibility mechanims yang ditawarkan oleh Protokol Kyoto kepada negara-negara Annex I untuk menurunkan target emisi gas rumah kacanya. Carbon trading dapat berbentuk mekanisme berbasis proyek (JI), perdagangan kredit emisi (IET), maupun gabungan keduanya (CDM). Ketiga mekanisme perdagangan karbon tersebut diharapkan dapat memenuhi target penurunan emisi rata-rata sebesar 5,2% hingga tahun 2012.
Indonesia sebagai negara hutan tropis memiliki potensi yang vital dalam carbon trading, terutama dalam konteks CDM. Wilayah hutan Indonesia yang luas dapat menjadi sasaran utama investasi CDM oleh negara Annex I untuk mendukung proyek berbasis lingkungan di dalam negeri. Namun, dalam implementasinya, CDM timbul beberapa permasalahan. Pertama, bagaimana penentuan proyek yang diprediksi dapat menurunkan emisi. Kedua, bagaimana mekanisme evaluasi pelaksanaan proyek apakah berhasil menurunkan emsi atau tidak. Dan yang terakhir, bagaimana peran serta masyarakat dalam proyek CDM terutama di bidang kehutanan.
       Terlepas dari beberapa permasalahan tersebut, mekanisme carbon trading, khususnya CDM menawarkan solusi alternatif menurunkan emisi gas rumah kaca secara tidak langsung. Menarik untuk melihat seberapa besar peran ketiga mekanisme tersebut dalam menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca di dunia, mengingat jangka waktu akan berakhir pada tahun 2012.

Catatan:
[i] Heri Murdianto, Carbon Trading dalam Konteks Kepentingan Indonesia,
[ii] ibid
[iv] ibid
[v] Danang Kuncara Sakti, Dampak Protokol Kyoto Melalui Clean Development Mechanism Pada Sektor Kehutanan Terhadap Perekonomian Indonesia: Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Tesis dalam Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2005, hal 11
[vi] ibid, hal 20
[viii] Heri Murdianto, op.cit 

RELEVANSI RAHASIA NEGARA DI ERA KETERBUKAAN INFORMASI

 Pendahuluan
Fenomena kebebasan pers kembali memicu kontroversi. Kali ini, Wikileaks dan The Age, media cetak Australia mempublikasikan dokumen diplomatik AS yang berisi persepsi terhadap beberapa kebijakan pejabat tanah air. Hal ini segera memicu pro dan kontra di Indonesia. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kasus ini dijadikan pelajaran untuk segera menuntaskan RUU Rahasia Negara yang selama ini terkatung-katung. Namun, sebagian lainnya berpendapat bahwa RUU Rahasia Negara justru akan “mengamputasi” UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang telah memberikan akses informasi yang luas kepada masyarakat, khususnya media.
Apakah rahasia negara masih relevan ditengah era globalisasi informasi dan kebebasan pers saat ini? Tulisan ini mencoba menjawab dua pertanyaan kritis. Pertama, bagaimana sebenarnya hakekat dan batasan rahasia negara. Kedua, bagaimana membuat penyelenggaraan rahasia negara yang tidak bertentangan dengan kebebasan informasi. Dengan membahas dua pertanyaan tersebut, diharapkan dapat memberikan konsepsi penyelenggaraan rahasia negara yang selaras dengan kebebasan informasi.

Hakekat dan Ruang Lingkup Rahasia Negara
Permasalahan klasik antara kebebasan pers dan rahasia negara memang sangat problematis. Di satu sisi, kebebasan pers memberikan akses kepada masyarakat untuk turut serta mengawasi penyelenggaraan pemerintahan. Namun, di sisi lain, publikasi informasi yang bersifat rahasia, apalagi tentang kebijakan negara yang sensitif, jelas akan memicu instabilitas pemerintahan. Bahkan, lebih jauh lagi akan mengancam keamanan nasional.
Secara konstitusional, hak atas informasi bukanlah hak yang tidak terbatas. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa hak konstitusional warga negara dapat dibatasi untuk menjamin penghormatan atas hak orang lain, memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Selain itu, dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) terdapat ketentuan mengenai informasi yang tidak wajib dipublikasikan.[i] Dengan demikian, terdapat ruang bagi berlakunya instrumen rahasia negara.
Sebenarnya, diskursus mengenai rahasia negara, yang dalam bahasa Yunani disebut, arcane rei publica telah berlangsung sejak abad 16.[ii] Sejauh ini belum disepakati sebuah definisi yang pasti mengenai rahasia negara. Secara filosofis, yang menjadi dasar eksistensi rahasia negara adalah tanggung jawab pemerintah terhadap keselamatan negara dan rakyatnya.[iii] Denny Hariandja mengaitkan konsepsi rahasia negara dengan wujud negara itu sendiri. Negara merupakan sebuah konsep inklusif yang meliputi seluruh aspek pembuatan kebijakan dan pelaksanaan sanksi hukum. Negara yang merupakan abstraksi sekumpulan nilai universal, memang sering mempersulit masyarakat ketika diminta menunjukkan wujud materiil negara. Kesulitan itu kemudian mendorong untuk mereduksi negara ke dalam wujud birokrasi.[iv] Dengan demikian, birokrasi menjadi refleksi negara yang secara riil dirasakan oleh masyarakat. Sementara Alvin S. Quist secara implisit memberikan lingkup rahasia negara, yakni suatu informasi yang apabila diketahui oleh umum dapat mengancam keamanan nasional negara, terutama yang terkait dengan pertahanan keamanan nasional dan hubungan luar negeri.[v]
Salah satu hal yang menyebabkan sulitnya mendefinisikan rahasia negara adalah ruang lingkupnya yang sangat luas. Ruang lingkup rahasia negara yang jelas sangat dibutuhkan, mengingat adanya jaminan hak masyarakat terhadap keterbukaan informasi. Sebenarnya, pengaturan mengenai batasan rahasia negara telah ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Pasal 113 KUHP, rahasia negara diidentikkan dengan dokumen tentang pertahanan dan keamanan negara. Pasal 112 KUHP memiliki lingkup yang lebih luas lagi, yakni dengan adanya unsur “kepentingan negara”. Sayangnya, KUHP tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang disebut dengan “kepentingan negara”, sehingga tergantung pada persepsi para penegak hukum dalam menginterpretasikan istilah “kepentingan negara”. Dengan batasan yang tidak pasti, kedua aturan tersebut dalam prakteknya jelas rawan  penyalahgunaan.
Inggris boleh dikatakan telah sukses membuat regulasi yang jelas mengenai rahasia negara. The Official Secret Act 1911 mengatur bahwa yang dimaksud dengan rahasia negara adalah wilayah terlarang yang tidak boleh siapapun, kecuali yang berwenang, untuk mengawasi, atau masuk ke dalamnya, baik langsung maupun tidak langsung, termaksud juga benda atau segala sesuatu yang ada di dalamnya untuk kepentingan musuh.[vi] Sementara The Official Secret Act tahun 1920 dan 1989, memberikan pengaturan yang terperinci tentang rahasia negara yang meliputi kode-kode rahasia, gambar-gambar, serta yang berkaitan dengan sistem pertahanan yang meliputi logistik pertahanan, kebijakan dan rencana kebijakan di bidang pertahanan.[vii]

Penyelenggaraan Rahasia Negara
Perlu ditekankan bahwa rahasia negara tidak hanya mencakup aspek informasi, namun juga benda, wilayah, dan aktivitas negara yang jika disebarluaskan, akan membahayakan keselamatan bangsa dan keamanan nasional. Penyelenggaraan rahasia negara tidak hanya menyangkut ruang lingkup hal-hal yang sifatnya dirahasiakan. Penyelenggaraan negara  juga harus mengatur pembiayaan, pengawasan, serta mekanisme, prosedur, pengelolaan, pertanggungjawaban dan pengakhiran rahasia negara.[viii]
Pertama-tama akan dibahas mengenai tingkat kerahasiaan suatu rahasia negara. Konsepsi dasar tingkat kerahasiaan suatu rahasia negara adalah sangat rahasia, rahasia, rahasia dinas.[ix] Hal ini akan berhubungan dengan siapa saja yang berhak mengetahui dan mengelola rahasia negara. Tingkat kerahasiaan ini disesuaikan dengan prediksi ancaman yang akan timbul, apabila rahasia negara diketahui publik. Sedangkan dari sudut substansi,  rahasia negara diklasifikasikan menjadi: pertama, berita rahasia strategis, yakni yang menyangkut nilai strategis bagi kepentingan negara yang dalam pengamanannya lebih mengutamakan faktor keamanan daripada kecepatan; kedua, berita rahasia yang mengandung nilai taktis, yang dalam penerapannya lebih mengutamakan faktor kecepatan meskipun harus tetap memperhatikan faktor keamanan.[x] Rahasia negara yang menyangkut faktor strategis biasanya akan dipertahankan lebih lama, karena mencakup pula rencana kebijakan. Sedangkan rahasia yang menyangkut faktor kecepatan bertindak, lebih kepada tindakan atau aktifitas, maka rahasia negara dalam faktor ini lebih cepat dibuka kepada publik.

Mispersepsi Pemerintah dalam Penyelenggaraan Rahasia Negara
Permasalahan yang paling mendasar mengenai penyelenggaraan rahasia negara adalah adanya mispersepsi Pemerintah. Selama ini, RUU Rahasia Negara yang diajukan oleh Pemerintah selalu ditolak oleh DPR yang beranggapan bahwa bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945. Menurut Irman Putra Siddin,  dari segi materiil memang terdapat pertentangan antara UUD 1945 dengan RUU Rahasia Negara. Prinsip yang dianut UUD 1945 tentang akses informasi adalah maximum access limited exemption, sedangkan dalam RUU Rahasia Negara malah sebaliknya, yakni limited access maximum exemption.[xi]
Kesalahan mispersepsi yang pertama adalah, pengklasifikasian rahasia negara lebih menekankan kepada kepatutan, apakah hal tersebut patut disebarluaskan atau tidak.[xii] Dengan persepsi ini, rahasia negara justru digunakan sebagai alasan untuk menutupi kesalahan pemerintah yang memalukan. Hal inilah yang paling sering terjadi, rahasia negara yang sebenarnya ditujukan untuk melindungi bangsa dan negara kemudian disalahgunakan untuk melindungi kesalahan segelintir orang. Kedua, selama ini RUU Rahasia Negara yang diajukan oleh Pemerintah cenderung memberikan porsi kewenangan delegasi yang luas kepada eksekutif dalam menentukan hal yang menjadi rahasia negara. Terlalu banyaknya pemberian otoritas penentuan rahasia negara jelas akan menimbulkan penyalahgunaan. Ketiga adalah pertanggungjawaban bocornya rahasia negara dibebankan kepada masyarakat, sehingga regulasi mengatur tentang pelekatan sanksi kepada masyarakat yang mengetahui rahasia negara. Berbagai mispersepsi inilah yang membuat masyarakat cederung antipati terhadap RUU Rahasia Negara.

Beberapa Pemikiran Kritis
Fenomena Wikileaks seharusnya menjadi cambuk bagi Pemerintah untuk menyusun format baru RUU Rahasia Negara. RUU Rahasia Negara adalah sebuah keharusan, mengingat tujuan negara dalam melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Namun, sekali lagi, ketentuan dalam RUU Rahasia Negara harus berjalan secara linear dengan UU KIP agar keterbukaan informasi kepada publik tidak menjadi terbelenggu.
Tulisan ini akan memaparkan beberapa pemikiran kritis dalam permasalahan penyelenggaraan rahasia negara. Pertama, perubahan paradigma Pemerintah bahwa dasar kebijakan penyelenggaraan rahasia negara bukanlah kepatutan.. Suatu hal dikategorikan sebagai rahasia karena jika disebarluaskan akan mengancam keselamatan bangsa dan keamanan nasional. Penyebarluasan pandangan negatif tentang Pemerintah bukanlah suatu pelanggaran terhadap rahasia negara, karena tidak mengancam keselamatan bangsa dan keamanan nasional.
Kedua, substansi RUU Rahasia Negara tidak hanya mengatur aspek yang yang menjadi rahasia negara semata, namun juga harus merumuskan secara lengkap informasi, benda, wilayah, maupun aktivitas yang dirahasiakan serta pengelolaanya. Dengan demikian, pemberian otoritas kepada eksekutif, khususnya instansi pengelola rahasia dalam merumuskan rahasia negara juga dapat diminimalisir. Isu rahasia negara adalah isu yang sangat sensitif. Oleh karena itu, apabila otoritas perumusan ruang lingkup rahasia negara diserahkan kepada eksekutif, maka dikhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan.
Ketiga, RUU Rahasia Negara harus dimaknai sebagai tindakan preventif dalam mengontrol rahasia negara. Sehingga substansi pengaturannya lebih ditujukan kepada instansi pengelola rahasia negara. Apabila ada tindakan represif berupa pelekatan sanksi, maka sanksi tersebut ditujukan sebagai pertanggungjawaban instansi pengelola rahasia negara. Sanksi bukan ditujukan kepada masyarakat. Jadi, apabila suatu rahasia negara bocor kepada publik, bukan masyarakat ataupun media massa yang bertanggungjawab, melainkan instansi pengelolanya.
Terakhir, adanya mekanisme mengenai batas waktu rahasia negara (dalam RUU Rahasia Negara yang diajukan Pemerintah disebut “Masa Retensi”). Suatu hal tidak selamanya akan dirahasiakan. Oleh karena itu, RUU Rahasia Negara juga harus merumuskan berapa lama suatu hal dinyatakan sebagai rahasia. Perumusan batas waktu berkaitan erat dengan tingkat kerahasiaan suatu rahasia negara. Rahasia negara yang berklasifikasi “sangat rahasia” biasanya akan memiliki batas waktu yang lama.

Penutup
         Sebagai kata penutup, RUU Rahasia Negara merupakan sebuah keharusan agar penyelenggaraan rahasia negara mendapatkan legalitas dan tidak lagi dapat disalahgunakan. RUU Rahasia Negara jangan dianggap sebagai legitimasi rezim otoriter, melainkan harus dianggap sebagai pembatasan agar penyelenggaraan rahasia negara tidak lagi diinterpretasikan secara negatif. Dengan demikian, pengakuan hak-hak masyarakat terhadap informasi pemerintahan juga terjamin.
Dengan beberapa pemikiran kritis diatas, diharapkan Pemerintah dapat merumuskan kembali RUU Rahasia Negara yang mengakomodir hak-hak masyarakat atas keterbukaan informasi. Rezim “keterbukaan” dalam UU KIP dan rezim “kerahasiaan” dalam RUU Rahasia Negara tidak berbenturan, melainkan berjalan secara linear. Akhir kata, penyelenggaraan rahasia negara masih merupakan hal yang relevan dalam era keterbukaan informasi saat ini.


Catatan:
[i] Beberapa aspek informasi mengenai kebijakan negara yang tidak wajib untuk dipublikasikan. Pertama, informasi yang dapat menghambat proses penegakan hukum; kedua, informasi yang dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara; ketiga, informasi yang dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia; keempat, informasi yang dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional; kelima, informasi yang dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri; dan terakhir, memorandum antar  maupun intern instansi pemerintah, yang menurut sifatnya dirahasiakan. Pasal 17 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasu Publik
[ii] Brian Amy Prastyo, Kajian Mengenai Konsepsi dan Praktik Rahasia Negara dalam Sistem Administrasi Negara Indonesia, 2002, Skripsi dalam Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal 29
[iii] Brian Amy Prastyo, op.cit, hal 31
[iv] Denny B.C Hariandja, Birokrasi Nan Pongah: Belajar dari Kegagalan Orde Baru, (Yogyakarta: Kanisius), hal 49
[v] Brian Amy Prastyo, op.cit,  hal 30
[vii] Ibid.
[ix] Lembaga Sandi Negara, Berita Rahasia dan Klasifikasinya, (Jakarta, Agustus 2001), hal 2
[x] ibid
[xii] Loebby Loqman, Tinjauan terhadap Batasan Rahasia Negara, (Makalah yang disampaikan pada Seminar tentang Rahasia Negara oleh The Habibie Center, 27 Juni 2001)