PENDAHULUAN
Catatan:
Peradaban manusia tidak dapat dipisahkan dari
energi. Tidak dapat dipungkiri bahwa energi, baik dalam bentuk apapun,
merupakan pendorong utama roda pembangunan dan kegiatan ekonomi masyarakat. Sampai saat ini, kebutuhan energi dunia masih
didominasi oleh minyak bumi. International
Energy Agency (IEA) mencatat bahwa 79,6% dari total kebutuhan energi global
didominasi oleh peran energi fosil, seperti minyak bumi dan batubara.[1] Dalam tingkat tertentu, situasi yang sama juga dialami di Indonesia. Ironisnya,
Indonesia sebagai negara anggota OPEC, terkena dampak negatif akibat fluktuasi
harga minyak. Meskipun kebijakan konversi energi nasional telah diterapkan
sejak tahun 2006, sampai saat ini Pemerintah belum mampu mengatasi ketergantungan
masyarakat pada minyak bumi. Impor BBM Indonesia tahun 2009 bahkan mencapai
angka 22.157 ribu kilo liter.[2]
Untuk mengurangi ketergantungan pada
minyak bumi, Pertamina bekerjasama dengan Balitbang Kementerian ESDM pada tahun
2010, berencana melakukan riset dan pengembangan lima energi baru dan
terbarukan diantaranya adalah unconventional
hydrocarbon, yakni CBM (Coal Bed
Methane) dan shale gas; serta renewable energy, seperti panas bumi, alga, dan angin.[3] Diantara beberapa sumber energi tersebut,
panas bumi merupakan energi yang paling potensial dikembangkan secara massal
untuk mencukupi kebutuhan listrik nasional. tulisan ini akan membahas bagaimana
prospek pengembangan energi panas bumi dalam mendukung ketahanan energi listrik
di Indonesia.
PEMBAHASAN
Potensi Energi Panas Bumi Indonesia
Al Gore, mantan Wakil Presiden Amerika
Serikat dalam kunjungannya ke Indonesia tahun 2011, menyatakan bahwa Indonesia
berpotensi menjadi negara pengguna energi panas bumi terbesar di dunia. Energi
panas adalah energi yang diekstraksi dari uap panas (hot steam) atau air panas (hot
spring) yang tersimpan di dalam bumi berasal dari aktivitas teknonik di
dalam bumi, serta tersimpan dalam batuan di bawah permukaan bumi dan fluida
yang terkandung di dalamnya.[4]
Energi listrik dihasilkan
dengan menyalurkan semburan uap atau air panas dengan tekanan tertentu untuk
menggerakkan turbin dan generator listrik. Uap dan air panas tersebut kemudian mengalami
proses kondensasi dan dialirkan ke menara pendingin; sisanya kemudian dialirkan
menuju sungai atau disuntikkan kembali ke kedalaman yang jauh dari lapisan
tanah melalui sumur injeksi.
Dengan 6000 km rangkaian gunung berapi,
serta aktifitas 3 lempeng tektonik benua, Indonesia diperkirakan menyimpan
potensi energi panas bumi yang mencapai angka 27 GW (giga watt) atau setara dengan 40% dari
total potensi dunia. Di
Provinsi Jawa Barat saja potensi energi panas bumi diperkirakan mencapai angka
4.257 MW (mega watt).[5]
Lokasi sumber energi panas
bumi pada umumnya memiliki karakteristik sebagai berikut:[6]
a. adanya batuan panas bumi berupa magma;
b. adanya persediaan air tanah secukupnya
yang sirkulasinya sekat dengan sumber magma, agar dapat berbentuk uap air
panas;
c.
adanya batuan berpori (poreous) yang menyimpan sumber uap dan air panas (reservoir rock);
d.
adanya batuan keras yang menahan hilangnya uap dan air
panas (cap-rock);
e.
adanya gejala-gejala tektonik, dimana dapat terbentuk
rekahan-rekahan dikulit bumi, yang memberikan jalan kepada uap dan air panas
bergerak ke permukaan bumi; dan
f.
panasnya
harus mencapai suhu tertentu minimum sekitar 180º-250º C.
Pemanfaatan panas bumi memiliki beberapa
keuntungan dari segi ekologis. Pertama,
emisi gas CO2 yang dihasilkannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan sumber energi fosil. Kedua, pengembangan panas bumi dapat menjaga kelestarian hutan,
karena pemanfaatan panas bumi memerlukan kawasan hutan sebagai daerah resapan
air. Selain itu, keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) tidak
akan mempengaruhi persediaan air tanah, karena sisa air disuntikkan kembali ke kedalaman
yang jauh dari lapisan air tanah.[7]
Ketiga, limbah yang dihasilkan juga
hanya berupa air, sehingga tidak mengotori udara dan merusak atmosfer. Keempat, energi panas bumi dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan dan cenderung tidak akan habis. Kehandalan
pasokan (security of supply) PLTP
terbukti dapat dipertahankan dalam jangka panjang (lebih dari 30 tahun).[8]
Kondisi Ketenagalistrikan Nasional dan Hambatan Pengembangan Industri
Panas Bumi
Premis awal menyatakan bahwa kebutuhan
akan energi semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk,
tingkat pertumbuhan ekonomi, dan laju industrialisasi di suatu negara. Namun pada kenyataannya, konsumsi energi
Indonesia masih jauh lebih rendah dari negara lain. Konsumsi energi per kapita
Indonesia tahun 2005 hanya sekitar 3 BOE (Barrel of Oil Equivalent); sedangkan konsumsi energi listrik
hanya 463 KWh/cap, masih jauh dibawah Malaysia (3.234 KWh/cap) atau Singapura
(7.961 KWh/cap).[9] kecilnya tingkat konsumsi energi
perkapita nasional lebih banyak disebabkan oleh minimnya infratstruktur energi,
sehingga terjadi kesenjangan dalam pemanfaatan energi. Rasio elektrifikasi
nasional juga masih kecil, sekitar 66%.[10]
Secara nasional, Indonesia memiliki pembangkit
listrik dengan kapasitas terpasang sebesar 31.453 MW, yang mampu menghasilkan
listrik hingga 120.628 GWh.[11]
dari jumlah tersebut,
batubara masih menjadi sumber listrik utama dengan produksi 43.138 GWh. Pembangkit
listrik batubara meskipun biaya produksinya lebih murah, namun membutuhkan
pasokan yang besar serta menghasilkan jumlah emisi yang besar pula. Untuk memproduksi 500 MW membutuhkan
pasokan sekitar 4,3 juta ton batubara yang menghasilkan emisi hampir 10.200 ton
SO2, 3,7 juta ton NO, dan 3,7 juta ton CO2.[12]
Pengembangan PLTP sebenarnya bukanlah hal
baru bagi Indonesia. Pemanfaatan panas bumi untuk pembangkit lisrik telah
dilakukan sejak tahun 1983, dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 22
Tahun 1981. Sampai saat ini, pemanfaatan panas bumi baru dilakukan di 7 wilayah
kerja dengan kapasitas sekitar 1.189 MW yang mampu menghasilkan listrik sampai
3.504 GWh.[13] Semangat pengembangan industri panas bumi kembali didorong oleh Pemerintah
dengan diundangkannya UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Sayangnya sampai saat ini, belum ada lagi
investasi baru yang menghasilkan listrik.
Setidaknya, terdapat beberapa permasalahan
kompleks yang menyebabkan terhambatnya pengembangan energi panas bumi di
Indonesia. Pertama, di hulu, terjadi
ketidaksingkronan regulasi dan kebijakan di bidang kehutanan dan pemanfaatan
energi panas bumi yang menghambat dalam proses pengadaan lahan. UU No.27 Tahun
2003 yang menjadi payung hukum mengkategorikan pemanfaatan energi panas bumi ke
dalam rezim pertambangan. Sedangkan di sisi lain, kebijakan kehutanan dalam UU
No.41 Tahun 1999 dan UU No.5 Tahun 1990, berusaha membatasi dan mengawasi
secara ketat kegiatan pertambangan di kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan diluar
kegiatan kehutanan, termasuk pertambangan hanya dapat dilakukan dalam kawasan
hutan produksi dan hutan lindung.[14]
Oleh karena sifat dan kerentanannya, kawasan hutan konservasi hanya dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan jasa lingkungan dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan
satwa liar, dengan tetap mempertahankan kelangsungan potensi, daya dukung,
serta keanekaragaman hayati.
Kedua, industri panas
bumi memerlukan investasi yang tidak sedikit. Untuk memproduksi 1 MW saja
diperlukan investasi sekitar US$ 2 juta.[15] Sedangkan persyaratan administratif untuk
memperoleh izin usaha memerlukan dana US$ 10 juta sebagai dana jaminan
pelaksanaan eksplorasi atau eksploitasi.[16] Belum lagi biaya investasi untuk
eksplorasi dan eksploitasi yang memerlukan teknologi tinggi, serta resiko eksplorasi,
seperti tidak ditemukannya cadangan maupun kecilnya jumlah cadangan
energi/tidak komersial (resource risk).
Ketiga, Harga tarif jual energi
listrik yang relatif mahal. Harga yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri ESDM
No.32 Tahun 2009 adalah 9,70 sen US$/KWh, sehingga PLN sebagai konsumen tunggal
(monopsoni) cenderung membeli listrik dari PTLA atau PLTU yang relatif lebih
murah.
Strategi Kebijakan Kedepan
Secara jangka panjang, Pemerintah telah
menargetkan pembangunan PLTP pada tahun 2025 dengan kapasitas terpasang sebesar 9.500
MW. penambahan kapasitas tersebut berlangsung secara bertahap mulai dari tahun
2004 sebesar 822 MW, tahun 2008 sebesar 1.193 MW; dan tahun 2012 sebesar 1.442
MW.[17]
Komitmen Pemerintah juga semakin terlihat dengan amanat Menteri ESDM melalui Peraturan
Menteri ESDM No.15 Tahun 2010 yang memuat program percepatan pembangunan
beberapa proyek PLTP maupun transmisi listrik dari PLTP.
Agar pembangunan PLTP dapat berjalan
sesuai dengan target yang diharapkan, diperlukan suatu kerangka kebijakan yang
sistematis dan tepat sasaran. Perumusan kebijakan harus mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut: (1) energi panas bumi adalah energi yang ramah
lingkungan, sehingga pengembangannya justru dapat mendukung komitmen Pemerintah
dalam kelestarian ekosistem dan penurunan emisi gas rumah kaca; (2) energi
panas bumi tidak dapat diekspor, sehingga potensi yang sedemikian besar
tersebut dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri;
(3) perumusan kebijakan ditujukan untuk membangun iklim usaha yang kompetitif
dan efisien; dan (4) diperlukan komitmen lintas sektoral agar pemanfaatan
energi panas bumi dapat berjalan secara optimal.
Beberapa langkah-langkah yang harus
diambil oleh Pemerintah adalah sebagai berikut. Pertama, optimalisasi koordinasi antara
Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan terkait penggunaan kawasan hutan
untuk pengembangan industri panas bumi. Energi panas bumi adalah energi yang ramah lingkungan dan pemanfaatannya
juga cenderung tidak mengganggu kelestarian ekosistem. Sinergisasi kebijakan
tersebut difokuskan pada 3 hal, yakni: (1) pemanfaatan energi panas bumi yang
berbasis ekosistem; (2) program penurunan emisi gas rumah kaca melalui
pembangunan PLTP;[18]
dan (3) kolaborasi pengelolaan kawasan hutan yang akan digunakan, antara Pemerintah,
masyarakat lokal dan investor energi panas bumi. Kedua, kepastian penetapan harga jual yang dapat menarik minat
investor. Walaupun Pemerintah
telah menetapkan harga yang tinggi untuk energi panas bumi (9,70 sen US$/KWh),
namun biaya produksi usaha panas bumi bersifat site spesific, dalam arti sangat dipengaruhi oleh ukuran proyek,
ruang lingkup proyek, penjadwalan kegiatan proyek, nilai investasi, pendanaan
proyek dan tingkat risiko proyeknya.[19]
Sehingga, harga yang tetap belum tentu dapat menutupi biaya produksi. Apalagi,
biasanya investor luar negeri mensyaratkan IRR (Internal Rate of Return) atau tingkat pengembalian modal yang
tinggi, sebesar 15%. Belum lagi masalah kepastian penandatanganan PPA (Power Purchase Agreement) dari PLN. Segera
setelah dinyatakan sebagai pemenang lelang wilayah kerja atau saat selesainya
kewajiban Studi Kelayakan, investor harus mendapat kepastian penandatanganan
PPA oleh PLN dengan jangka waktu yang sesuai dengan besarnya potensi dan
kebutuhan listrik.
Ketiga, diperlukan insentif dari
Pemerintah, baik fiskal maupun moneter untuk menumbuhkan iklim usaha yang
kompetitif. Dengan resiko eksplorasi
yang tinggi, teknologi yang tinggi, serta modal yang besar, investor perlu
diberikan kemudahan dalam menjalankan usahanya. Insentif yang diberikan dapat
berupa percepatan perizinan, subsidi untuk riset dan pengembangan teknologi dan
sumber daya manusia, pengurangan tarif PPN energi listrik. Sedangkan untuk
jaminan resiko eksplorasi, Pemerintah dan investor dapat bekerjasama dengan sektor
perbankan dengan pembuatan skema manajemen resiko.
PENUTUP
Dengan potensi energi yang sangat besar,
Indonesia diharapkan mampu menjadi trendsetter
pemanfaatan energi panas bumi yang lebih ramah lingkungan. Lebih jauh lagi,
pengembangan industri panas bumi juga diharapkan dapat mengurangi
ketergantungan masyarakat akan minyak bumi, khususnya di sektor
ketenagalistrikan. Diperlukan suatu sinergisasi kebijakan yang dituangkan dalam
bentuk regulasi yang dapat mengakomodir pengembangan industri panas bumi
kedepannya. Namun, lebih dari itu, pengembangan industri panas bumi tidak dapat
berjalan tanpa adanya komitmen dan kerja sama lintas sektoral baik di bidang
industri panas bumi, ketenagalistrikan, kehutanan, maupun perbankan.
Catatan:
[1]
Stephen F Lincoln, “Fossil Fuels in the
21st Century”, http://www.jstor.org/stable/4315666,
diakses pada 14 Februari 2012.
[2] Pusat
Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Alam, Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia ,
7th edition (Jakarta :
Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam, 2010), hal 53.
[3] ”Pertamina Kembangkan 5 Energi
Terbarukan,” dimuat dalam Media Informasi dan Komunikasi DEN
(Edisi Ke-IV, 2010), hal 27
[4] Warta
Pertamina, Geothermal: Energi Masa Depan, Edisi No. 01, Januari 2010, hal 11.
[5] ”Potensi Prioritas Panas Bumi Jawa
Barat,” http://www.ebtke.esdm.go.id/energi/energi-terbarukan/panas-bumi/417-potensi-prioritas-panas-bumi-jawa-barat.html,
diakses pada 10 Juni 2012.
[6] Chris Timotius KK, ”Potensi energi Panas
Bumi di Indonesia”
http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._TEKNIK_ELEKTRO/195106301982031-CHRIS_TIMOTIUS_KURNIA_K/POTENSI_ENDRGI_PANS_BUMI_DI_INDONESIA.pdf, diakses pada 21 September 2011, hal 1.
[7] Rosihan Indrawanto, ”Konversi
Energi versus Konversi Kawasan,” Majalah
Kehutanan Indonesia, edisi IV Tahun 2009, hal 31.
[8] Agus Danar, ”Saatnya Beralih ke Energi
Panas Bumi,” dimuat dalam Geomagz (vol.1
Nomor 1 Maret 2011), hal 48.
[9] Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Buku Putih Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Bidang Sumber Energi Baru dan Terbarukan untuk Mendukung Keamanan Ketersediaan
Energi Tahun 2005 (Jakarta: Kementerian Negara Riset dan Teknologi, 2006),
hal 2.
[10] Pusat Data dan Informasi Energi dan
Sumber Daya Alam, op.cit, hal vii.
[11] Ibid, hal 59-60.
[12] Effendi
Siradjuddin, Memerangi Sindrom Negara
Gagal: Transformasi Indonesia 2020 Mencapai Negara Entrepeneur Maju (Jakarta : Kata Hasta
Pustaka, 2009), hal 391.
[13] Pusat Data dan Informasi Energi dan
Sumber Daya Alam, op.cit, hal 65.
[14] Khusus di kawasan hutan lindung, dilarang
melakukan kegiatan pertambangan dengan pola pertambangan terbuka (open pit mining), Indonesia, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, L.N. RI Tahun 1999 Nomor 167. T.L.N. RI Nomor Nomor 3888, Pasal
28 ayat (4).
[15] Rosihan Indrawanto, op.cit, hal 32.
[16] Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Kegiatan Usaha Panas Bumi, Pasal 5 ayat 6 huruf d.
[17] Direktorat Energi, Telekomunikasi
dan Informatika Bappenas, Laporan Akhir Kajian (Swakelola)
Pengembangan Panas Bumi Untuk Menambah Pasokan Listrik dan Menyehatkan Konsumsi
Energi Nasional (Jakarta: Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, 2008),
hal 20.
[18] International Geothermal Association (IGA)
pada tahun 2001 melakukan analisa terhadap emisi CO2 pada PLTP dengan total
kapasitas sekitar 4.325 MW, rata-rata emisi CO2 adalah 110 gram/KWh. Jauh lebih
kecil dibanding PLTU batu bara (964 gram KWh) atau PLTU minyak bumi (668
gram/KWh). Baca: Direktorat Energi, Telekomunikasi dan Informatika
Bappenas, op.cit,, hal 46.
[19] Agus Danar, op.cit, hal 53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar