Rabu, 29 Agustus 2012

PROSPEK PENGEMBANGAN ENERGI PANAS BUMI DI INDONESIA DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN LISTRIK NASIONAL

 PENDAHULUAN

Peradaban manusia tidak dapat dipisahkan dari energi. Tidak dapat dipungkiri bahwa energi, baik dalam bentuk apapun, merupakan pendorong utama roda pembangunan dan kegiatan ekonomi masyarakat. Sampai saat ini, kebutuhan energi dunia masih didominasi oleh minyak bumi. International Energy Agency (IEA) mencatat bahwa 79,6% dari total kebutuhan energi global didominasi oleh peran energi fosil, seperti minyak bumi dan batubara.[1] Dalam tingkat tertentu, situasi yang sama juga dialami di Indonesia. Ironisnya, Indonesia sebagai negara anggota OPEC, terkena dampak negatif akibat fluktuasi harga minyak. Meskipun kebijakan konversi energi nasional telah diterapkan sejak tahun 2006, sampai saat ini Pemerintah belum mampu mengatasi ketergantungan masyarakat pada minyak bumi. Impor BBM Indonesia tahun 2009 bahkan mencapai angka 22.157 ribu kilo liter.[2]
Untuk mengurangi ketergantungan pada minyak bumi, Pertamina bekerjasama dengan Balitbang Kementerian ESDM pada tahun 2010, berencana melakukan riset dan pengembangan lima energi baru dan terbarukan diantaranya adalah unconventional hydrocarbon, yakni CBM (Coal Bed Methane) dan  shale gas; serta  renewable energy, seperti  panas bumi, alga, dan angin.[3] Diantara beberapa sumber energi tersebut, panas bumi merupakan energi yang paling potensial dikembangkan secara massal untuk mencukupi kebutuhan listrik nasional. tulisan ini akan membahas bagaimana prospek pengembangan energi panas bumi dalam mendukung ketahanan energi listrik di Indonesia.

PEMBAHASAN

Potensi Energi Panas Bumi Indonesia
Al Gore, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat dalam kunjungannya ke Indonesia tahun 2011, menyatakan bahwa Indonesia berpotensi menjadi negara pengguna energi panas bumi terbesar di dunia. Energi panas adalah energi yang diekstraksi dari uap panas (hot steam) atau air panas (hot spring) yang tersimpan di dalam bumi berasal dari aktivitas teknonik di dalam bumi, serta tersimpan dalam batuan di bawah permukaan bumi dan fluida yang terkandung di dalamnya.[4] Energi listrik dihasilkan dengan menyalurkan semburan uap atau air panas dengan tekanan tertentu untuk menggerakkan turbin dan generator listrik. Uap dan air panas tersebut kemudian mengalami proses kondensasi dan dialirkan ke menara pendingin; sisanya kemudian dialirkan menuju sungai atau disuntikkan kembali ke kedalaman yang jauh dari lapisan tanah melalui sumur injeksi.
Dengan 6000 km rangkaian gunung berapi, serta aktifitas 3 lempeng tektonik benua, Indonesia diperkirakan menyimpan potensi energi panas bumi yang mencapai angka 27 GW (giga watt) atau setara dengan 40% dari total potensi dunia. Di Provinsi Jawa Barat saja potensi energi panas bumi diperkirakan mencapai angka 4.257 MW (mega watt).[5] Lokasi sumber energi panas bumi pada umumnya memiliki karakteristik sebagai berikut:[6]
a.       adanya batuan panas bumi berupa magma;
b.      adanya persediaan air tanah secukupnya yang sirkulasinya sekat dengan sumber magma, agar dapat berbentuk uap air panas;
c.       adanya batuan berpori (poreous) yang menyimpan sumber uap dan air panas (reservoir rock);
d.      adanya batuan keras yang menahan hilangnya uap dan air panas (cap-rock);
e.       adanya gejala-gejala tektonik, dimana dapat terbentuk rekahan-rekahan dikulit bumi, yang memberikan jalan kepada uap dan air panas bergerak ke permukaan bumi; dan
f.        panasnya harus mencapai suhu tertentu minimum sekitar 180º-250º C.
Pemanfaatan panas bumi memiliki beberapa keuntungan dari segi ekologis. Pertama, emisi gas CO2 yang dihasilkannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan  sumber energi fosil. Kedua, pengembangan panas bumi dapat menjaga kelestarian hutan, karena pemanfaatan panas bumi memerlukan kawasan hutan sebagai daerah resapan air. Selain itu, keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) tidak akan mempengaruhi persediaan air tanah, karena sisa air disuntikkan kembali ke kedalaman yang jauh dari lapisan air tanah.[7] Ketiga, limbah yang dihasilkan juga hanya berupa air, sehingga tidak mengotori udara dan merusak atmosfer. Keempat, energi panas bumi dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan cenderung tidak akan habis. Kehandalan pasokan (security of supply) PLTP terbukti dapat dipertahankan dalam jangka panjang (lebih dari 30 tahun).[8]

Kondisi Ketenagalistrikan Nasional dan Hambatan Pengembangan Industri
Panas Bumi
Premis awal menyatakan bahwa kebutuhan akan energi semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan ekonomi, dan laju industrialisasi di suatu negara. Namun pada kenyataannya, konsumsi energi Indonesia masih jauh lebih rendah dari negara lain. Konsumsi energi per kapita Indonesia tahun 2005 hanya sekitar 3 BOE (Barrel of Oil Equivalent); sedangkan konsumsi energi listrik hanya 463 KWh/cap, masih jauh dibawah Malaysia (3.234 KWh/cap) atau Singapura (7.961 KWh/cap).[9] kecilnya tingkat konsumsi energi perkapita nasional lebih banyak disebabkan oleh minimnya infratstruktur energi, sehingga terjadi kesenjangan dalam pemanfaatan energi. Rasio elektrifikasi nasional juga masih kecil, sekitar 66%.[10]
Secara nasional, Indonesia memiliki pembangkit listrik dengan kapasitas terpasang sebesar 31.453 MW, yang mampu menghasilkan listrik hingga 120.628 GWh.[11] dari jumlah tersebut, batubara masih menjadi sumber listrik utama dengan produksi 43.138 GWh. Pembangkit listrik batubara meskipun biaya produksinya lebih murah, namun membutuhkan pasokan yang besar serta menghasilkan jumlah emisi yang besar pula. Untuk memproduksi 500 MW membutuhkan pasokan sekitar 4,3 juta ton batubara yang menghasilkan emisi hampir 10.200 ton SO2, 3,7 juta ton NO, dan 3,7 juta ton CO2.[12]
Pengembangan PLTP sebenarnya bukanlah hal baru bagi Indonesia. Pemanfaatan panas bumi untuk pembangkit lisrik telah dilakukan sejak tahun 1983, dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1981. Sampai saat ini, pemanfaatan panas bumi baru dilakukan di 7 wilayah kerja dengan kapasitas sekitar 1.189 MW yang mampu menghasilkan listrik sampai 3.504 GWh.[13] Semangat pengembangan industri panas bumi kembali didorong oleh Pemerintah dengan diundangkannya UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Sayangnya sampai saat ini, belum ada lagi investasi baru yang menghasilkan listrik.
Setidaknya, terdapat beberapa permasalahan kompleks yang menyebabkan terhambatnya pengembangan energi panas bumi di Indonesia. Pertama, di hulu, terjadi ketidaksingkronan regulasi dan kebijakan di bidang kehutanan dan pemanfaatan energi panas bumi yang menghambat dalam proses pengadaan lahan. UU No.27 Tahun 2003 yang menjadi payung hukum mengkategorikan pemanfaatan energi panas bumi ke dalam rezim pertambangan. Sedangkan di sisi lain, kebijakan kehutanan dalam UU No.41 Tahun 1999 dan UU No.5 Tahun 1990, berusaha membatasi dan mengawasi secara ketat kegiatan pertambangan di kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan diluar kegiatan kehutanan, termasuk pertambangan hanya dapat dilakukan dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung.[14] Oleh karena sifat dan kerentanannya, kawasan hutan konservasi hanya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan jasa lingkungan dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar, dengan tetap mempertahankan kelangsungan potensi, daya dukung, serta keanekaragaman hayati.
Kedua, industri panas bumi memerlukan investasi yang tidak sedikit. Untuk memproduksi 1 MW saja diperlukan investasi sekitar US$ 2 juta.[15] Sedangkan persyaratan administratif untuk memperoleh izin usaha memerlukan dana US$ 10 juta sebagai dana jaminan pelaksanaan eksplorasi atau eksploitasi.[16] Belum lagi biaya investasi untuk eksplorasi dan eksploitasi yang memerlukan teknologi tinggi, serta resiko eksplorasi, seperti tidak ditemukannya cadangan maupun kecilnya jumlah cadangan energi/tidak komersial (resource risk). Ketiga, Harga tarif jual energi listrik yang relatif mahal. Harga yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri ESDM No.32 Tahun 2009 adalah 9,70 sen US$/KWh, sehingga PLN sebagai konsumen tunggal (monopsoni) cenderung membeli listrik dari PTLA atau PLTU yang relatif lebih murah.

Strategi Kebijakan Kedepan
Secara jangka panjang, Pemerintah telah menargetkan pembangunan PLTP pada tahun  2025 dengan kapasitas terpasang sebesar 9.500 MW. penambahan kapasitas tersebut berlangsung secara bertahap mulai dari tahun 2004 sebesar 822 MW, tahun 2008 sebesar 1.193 MW; dan tahun 2012 sebesar 1.442 MW.[17] Komitmen Pemerintah juga semakin terlihat dengan amanat Menteri ESDM melalui Peraturan Menteri ESDM No.15 Tahun 2010 yang memuat program percepatan pembangunan beberapa proyek PLTP maupun transmisi listrik dari PLTP.
Agar pembangunan PLTP dapat berjalan sesuai dengan target yang diharapkan, diperlukan suatu kerangka kebijakan yang sistematis dan tepat sasaran. Perumusan kebijakan harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: (1) energi panas bumi adalah energi yang ramah lingkungan, sehingga pengembangannya justru dapat mendukung komitmen Pemerintah dalam kelestarian ekosistem dan penurunan emisi gas rumah kaca; (2) energi panas bumi tidak dapat diekspor, sehingga potensi yang sedemikian besar tersebut dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri; (3) perumusan kebijakan ditujukan untuk membangun iklim usaha yang kompetitif dan efisien; dan (4) diperlukan komitmen lintas sektoral agar pemanfaatan energi panas bumi dapat berjalan secara optimal.
Beberapa langkah-langkah yang harus diambil oleh Pemerintah adalah sebagai berikut. Pertama, optimalisasi koordinasi antara Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan terkait penggunaan kawasan hutan untuk pengembangan industri panas bumi. Energi panas bumi adalah energi yang ramah lingkungan dan pemanfaatannya juga cenderung tidak mengganggu kelestarian ekosistem. Sinergisasi kebijakan tersebut difokuskan pada 3 hal, yakni: (1) pemanfaatan energi panas bumi yang berbasis ekosistem; (2) program penurunan emisi gas rumah kaca melalui pembangunan PLTP;[18] dan (3) kolaborasi pengelolaan kawasan hutan yang akan digunakan, antara Pemerintah, masyarakat lokal dan investor energi panas bumi. Kedua, kepastian penetapan harga jual yang dapat menarik minat investor. Walaupun Pemerintah telah menetapkan harga yang tinggi untuk energi panas bumi (9,70 sen US$/KWh), namun biaya produksi usaha panas bumi bersifat site spesific, dalam arti sangat dipengaruhi oleh ukuran proyek, ruang lingkup proyek, penjadwalan kegiatan proyek, nilai investasi, pendanaan proyek dan tingkat risiko proyeknya.[19] Sehingga, harga yang tetap belum tentu dapat menutupi biaya produksi. Apalagi, biasanya investor luar negeri mensyaratkan IRR (Internal Rate of Return) atau tingkat pengembalian modal yang tinggi, sebesar 15%. Belum lagi masalah kepastian penandatanganan PPA (Power Purchase Agreement) dari PLN. Segera setelah dinyatakan sebagai pemenang lelang wilayah kerja atau saat selesainya kewajiban Studi Kelayakan, investor harus mendapat kepastian penandatanganan PPA oleh PLN dengan jangka waktu yang sesuai dengan besarnya potensi dan kebutuhan listrik.
Ketiga, diperlukan insentif dari Pemerintah, baik fiskal maupun moneter untuk menumbuhkan iklim usaha yang kompetitif. Dengan resiko eksplorasi yang tinggi, teknologi yang tinggi, serta modal yang besar, investor perlu diberikan kemudahan dalam menjalankan usahanya. Insentif yang diberikan dapat berupa percepatan perizinan, subsidi untuk riset dan pengembangan teknologi dan sumber daya manusia, pengurangan tarif PPN energi listrik. Sedangkan untuk jaminan resiko eksplorasi, Pemerintah dan investor dapat bekerjasama dengan sektor perbankan dengan pembuatan skema manajemen resiko.

PENUTUP

Dengan potensi energi yang sangat besar, Indonesia diharapkan mampu menjadi trendsetter pemanfaatan energi panas bumi yang lebih ramah lingkungan. Lebih jauh lagi, pengembangan industri panas bumi juga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat akan minyak bumi, khususnya di sektor ketenagalistrikan. Diperlukan suatu sinergisasi kebijakan yang dituangkan dalam bentuk regulasi yang dapat mengakomodir pengembangan industri panas bumi kedepannya. Namun, lebih dari itu, pengembangan industri panas bumi tidak dapat berjalan tanpa adanya komitmen dan kerja sama lintas sektoral baik di bidang industri panas bumi, ketenagalistrikan, kehutanan, maupun perbankan.


Catatan:
[1] Stephen F Lincoln, “Fossil Fuels in the 21st Century”, http://www.jstor.org/stable/4315666, diakses pada 14 Februari 2012. 
[2] Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Alam, Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia, 7th edition (Jakarta: Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam, 2010), hal 53. 
[3] ”Pertamina Kembangkan 5 Energi Terbarukan,” dimuat dalam  Media Informasi dan Komunikasi DEN (Edisi Ke-IV, 2010), hal 27 
[4] Warta Pertamina, Geothermal: Energi Masa Depan, Edisi No. 01, Januari 2010, hal 11. 
[5] ”Potensi Prioritas Panas Bumi Jawa Barat,” http://www.ebtke.esdm.go.id/energi/energi-terbarukan/panas-bumi/417-potensi-prioritas-panas-bumi-jawa-barat.html, diakses pada 10 Juni 2012. 
[6] Chris Timotius KK, ”Potensi energi Panas Bumi di Indonesia”
[7] Rosihan Indrawanto, ”Konversi Energi versus Konversi Kawasan,”  Majalah Kehutanan Indonesia, edisi IV Tahun 2009, hal 31. 
[8] Agus Danar, ”Saatnya Beralih ke Energi Panas Bumi,” dimuat dalam Geomagz (vol.1 Nomor 1 Maret 2011), hal 48. 
[9] Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Buku Putih Penelitian, Pengembangan  dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Sumber Energi Baru dan Terbarukan untuk Mendukung Keamanan Ketersediaan Energi Tahun 2005 (Jakarta: Kementerian Negara Riset dan Teknologi, 2006), hal 2. 
[10] Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Alam, op.cit, hal vii. 
[11] Ibid, hal 59-60. 
[12] Effendi Siradjuddin, Memerangi Sindrom Negara Gagal: Transformasi Indonesia 2020 Mencapai Negara Entrepeneur Maju (Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2009), hal 391. 
[13] Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Alam, op.cit, hal 65. 
[14] Khusus di kawasan hutan lindung, dilarang melakukan kegiatan pertambangan dengan pola pertambangan terbuka (open pit mining), Indonesia, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, L.N. RI Tahun 1999 Nomor 167. T.L.N. RI Nomor Nomor 3888, Pasal 28 ayat (4). 
[15] Rosihan Indrawanto, op.cit, hal 32. 
[16] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Panas Bumi, Pasal 5 ayat 6 huruf d. 
[17] Direktorat Energi, Telekomunikasi dan Informatika Bappenas,  Laporan Akhir Kajian (Swakelola) Pengembangan Panas Bumi Untuk Menambah Pasokan Listrik dan Menyehatkan Konsumsi Energi Nasional (Jakarta: Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, 2008), hal 20. 
[18] International Geothermal Association (IGA) pada tahun 2001 melakukan analisa terhadap emisi CO2 pada PLTP dengan total kapasitas sekitar 4.325 MW, rata-rata emisi CO2 adalah 110 gram/KWh. Jauh lebih kecil dibanding PLTU batu bara (964 gram KWh) atau PLTU minyak bumi (668 gram/KWh). Baca: Direktorat Energi, Telekomunikasi dan Informatika Bappenas,  op.cit,, hal 46. 
[19] Agus Danar, op.cit, hal 53.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar