PENDAHULUAN
Peradaban manusia tidak dapat dipisahkan dari
energi. Tidak dapat dipungkiri bahwa energi dalam bentuk apapun, merupakan
motor penggerak roda pembangunan dan kegiatan ekonomi masyarakat. Sampai saat ini, kebutuhan energi global
masih didominasi oleh peran minyak bumi. International
Energy Agency (IEA) mencatat bahwa konsumsi minyak bumi pada tahun 2002
mencapai 79,6% dari total kebutuhan energi global.[1] Dalam tingkat tertentu, kondisi yang sama juga dialami oleh Indonesia. Ironisnya,
sebagai sebagai negara anggota OPEC, Indonesia harus melakukan impor minyak
yang mencapai angka 22.157 ribu kilo liter dan impor batubara yang mencapai
68.804,45 ribu ton demi mencukupi kebutuhan energi nasional.[2]
Sebenarnya untuk mengantisipasi hal
tersebut, Pemerintah telah menerapkan kebijakan energi nasional melalui
Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 yang pada intinya berusaha mewujudkan
kemandirian energi nasional melalui pengembangan energi baru dan terbarukan di
dalam negeri. Namun kenyataannya, sampai saat ini belum ada perubahan yang
signifikan, hingga kembali disinggung oleh Presiden SBY dalam pidatonya tanggal
29 Mei lalu.
Apa yang sebenarnya menjadi akar masalah
kondisi energi nasional dan apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah untuk mewujudkan
kemandirian energi nasional? Dalam menjawab pertanyaan tersebut ulisan ini akan
memaparkan beberapa masalah terkait kondisi energi nasional saat ini, serta
langkah-langkah apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah dalam kaitannya untuk
mewujudkan kemandirian energi nasional.
PEMBAHASAN
Beberapa Permasalahan Energi Nasional
Secara umum, saat ini kondisi energi
nasional memiliki beberapa permasalahan multi-sektoral yang berujung pada
terhambatnya kebijakan energi nasional. Pertama,
kebijakan subsidi BBM malah semakin menambah ketergantungan terhadap minyak
bumi. Kebijakan subisidi BBM memang populer, namun tidak tepat sasaran serta membebani
keuangan negara. Subsidi BBM juga menyebabkan adanya disparitas harga energi
yang justru mengurangi pangsa pasar energi baru dan terbarukan, sehingga pelaku
usaha dan masyarakat seolah menjadi ”malas” untuk melakukan konversi energi. Kedua, mahalnya biaya produksi energi baru
dan terbarukan, serta iklim usaha yang tidak kompetitif yang semakin
memperlambat investasi. Sebagai contoh, pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga
Panas Bumi (PLTP) untuk memproduksi 1 MW memerlukan investasi sekitar US$ 2
juta.[3]
Begitu pun untuk pengembangan biofuel dari tanaman jarak. Untuk memproduksi per
1 liter biofuel diperlukan sekitar 3-4 kg jarak, sehingga biaya produksinya
bisa mencapai harga Rp 5.500 per liternya.[4]
Lebih mahal dari BBM bersubsidi yang Rp 4.500 per liternya.
Ketiga, minimnya riset
dan infrastruktur untuk mendukung kebijakan diversifikasi energi. Perhatian
Pemerintah lebih tertuju pada subsidi BBM, sehingga riset untuk pengembangan energi
baru dan terbarukan masih dipandang sebelah mata. Selain itu, minimnya
infrastruktur menyebabkan kesenjangan konsumsi energi. Akibatnya, konsumsi
energi Indonesia masih lebih rendah dari negara lain. Konsumsi energi per
kapita Indonesia tahun 2005 hanya sekitar 3 BOE; sedangkan konsumsi energi
listrik hanya 463 KWh/cap, masih jauh dibawah Malaysia (3.234 KWh/cap) atau
Singapura (7.961 KWh/cap).[5]
Keempat, inefisiensi pemakaian
energi nasional. Dengan tingkat intensitas penggunaan energi yang tinggi,
ternyata Indonesia memerlukan energi sekitar 4,1 KOE (Kilogram Oil Equivalent) untuk menghasilkan per $ 1 GDP.[6]
Sedangkan negara lain memerlukan jumlah energi yang lebih sedikit.
Paradigma Technology-Based Energy:
Belajar dari Keberhasilan Negara Lain
Premis awal menyatakan bahwa kebutuhan
energi akan meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, laju
industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi, dan standar hidup suatu negara. Dengan
keterbatasan sumber energi minyak bumi, maka pengelolaan energi harus lebih
mengarah kepada energi berbasis teknologi (technology-base
energy), dibandingkan dengan energi berbasis sumber daya (resource-based energy) yang bersifat
tidak terbarukan.[7] Melalui paradigma technology-based energy, strategi
kebijakan dan regulasi pengelolaan energi nasional tidak hanya terfokus pada
peningkatan eksploitasi sumber energi, namun lebih diarahkan kepada riset dan
invensi teknologi nasional yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi serta
kapasitas produksi energi baru dan terbarukan. Selain itu, pengembangan riset dan
teknologi juga diarahkan untuk menghasilkan energi yang ramah lingkungan dengan
tingkat emisi yang rendah
Paradigma technology-based energy sebenarnya telah diterapkan di beberapa
negara. Brasil mampu mengembangkan biofuel
secara massal melalui regulasi yang tepat, dukungan finansial, serta
pengembangan riset dan teknologi agrobisnis. Brasil berhasil mengembangkan bioethanol sebagai bahan bakar dengan
efisiensi biaya produksi, sekitar US$ 17,5 per barrel atau Rp 1.080 per liter
dengan total produksi 16 miliar liter per tahun.[8]
Perancis dengan sumber daya alam yang terbatas, berhasil menciptakan
kemandirian energi nasional dengan 80% kebutuhan energinya dipenuhi oleh energi
nuklir. Keberhasilan Prancis tersebut ditunjang dengan kebijakan energi yang
memiliki empat prinsip utama:[9]
(1) menjaga pasokan energi dan membatasi tertekannya ekonomi pada fluktuasi
harga energi; (2) menjamin harga energi yang kompetitif; (3) menekan emisi dan
menjaga kelestarian lingkungan; dan (4) menjamin akses masyarakat ke semua
energi.
Melalui paradigma technology-based energy, kedua negara tersebut berhasil mengembangkan
riset dan teknologi yang mutakhir, sehingga mampu menciptakan energi alternatif
yang dapat mengurangi ketergantungan pada minyak bumi. Indonesia harus belajar
dari keberhasilan kedua negara tersebut. Pengembangan energi baru dan
terbarukan sangat mendesak untuk dilakukan. Beberapa jenis energi baru dan
terbarukan, seperti panas bumi, biofuel, liquified coal, shale gas,
CBM (Coal Bed Methane), UBC (Upgraded Brown Coal), CNG (Compressed Natural Gas) dan nuklir
masih memerlukan riset yang mendalam agar dapat dikembangkan secara massal di
Indonesia.
Saatnya Membangun Industri Energi Nasional
Inti dari keberhasilan kemandirian energi
nasional sebenarnya terletak pada beberapa faktor, yaitu adanya keseimbangan
antara pasokan energi (supply) dalam
negeri dengan kebutuhan energi nasional (demand),
efisiensi pemanfaatan energi, serta akses terhadap energi yang merata dengan
harga yang terjangkau oleh masyarakat. Untuk mewujudkan ketiga hal tersebut,
diperlukan industri energi nasional yang kokoh untuk dapat mencukupi kebutuhan
energi yang semakin meningkat. Dengan adanya industri energi dalam negeri yang
kuat, khususnya energi baru dan terbarukan, kebutuhan energi di masa mendatang
tidak lagi bergantung pada impor energi terutama minyak bumi yang harganya sangat
fluktuatif.
Membangun industri energi nasional
bukanlah perkara yang mudah. Diperlukan perumusan kebijakan yang strategis,
tepat sasaran dan tentunya biaya yang tidak sedikit. Secara jangka panjang, perumusan
kebijakan juga harus memperhatikan perkembangan kondisi sosial-ekonomi
masyarakat, pertumbuhan ekonomi, serta fluktuasi harga energi dunia. Dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional
2006-2025, pengembangan industri dan jasa energi nasional merupakan salah satu
program utama Pemerintah. Pengembangan industri energi terfokus kepada
peningkatan pabrikasi dan rekayasa energi, serta peningkatan infrastruktur
energi.[10]
Selama ini, selama ini, industri energi nasional kurang berkembang karena
kurang kondusifnya iklim investasi sektor energi.
Untuk memberikan kepastian iklim usaha
yang kondusif bagi pelaku usaha, Pemerintah harus segera melakukan
restrukturisasi regulasi di bidang penanaman modal, teknologi, energi dan
ketenagalistrikan. Restrukturisasi regulasi menekankan kepada beberapa faktor:
(1) optimalisasi pasar dalam negeri dengan pengetatan kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) untuk batu
bara dan gas; (2) rasionalisasi harga energi dan mekanisme insentif ekonomi dan
pajak energi bagi pengembangan energi alternatif; (3) penerapan carbon tax untuk menstimulasi
pengembangan energi yang ramah lingkungan;[11]
dan (4) penyusunan kebijakan percepatan diversifikasi energi di tiap sektor,
serta penghematan energi.
Di bidang riset dan teknologi, Pemerintah
juga harus berperan aktif dalam menumbuhkan paradigma technology-based energy. Pengembangan riset dan teknologi sangat
berperan dalam percepatan diversifikasi energi, serta menciptakan kondisi pasar
energi yang kompetitif melalui peningkatan efisiensi serta kapasitas produksi. Pemerintah
dapat mendorong pengembangan riset dan teknologi melalui subsidi dan bantuan penelitian, optimalisasi instrumen HKI, pembinaan kualitas sumber daya manusia dan pemberdayaan
organisasi profesi ilmiah.[12]
Dalam mendorong pengembangan riset dan teknologi, Pemerintah dapat bekerjasama
dengan universitas maupun pelaku usaha untuk mengembangkan kemampuan inovasi
pelaku usaha, serta mendorong pembangunan kelembagaan iptek di daerah.[13]
Untuk mendorong pembangunan industri energi dalam negeri, Pemerintah juga harus
melakukan percepatan pembangunan infrastruktur pendukung untuk meningkatkan
pasokan energi dalam negeri dan akses energi masyarakat, khususnya untuk
masyarakat pedesaan dan wilayah terpencil. Dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional, infrastruktur energi yang
akan difokuskan untuk dibangun diantaranya, infrastruktur gas, infrastruktur
batubara, infrastruktur listrik, infrastruktur BBM, infrasturktur energi
alternatif BBM lainnya, termasuk BBG untuk sektor transportasi.[14]
PENUTUP
Sebagai penutup, industri energi dalam negeri
merupakan suatu langkah awal untuk mewujudkan kemandirian energi nasional. Dengan
cadangan sumber energi yang berlimpah, Indonesia sebenarnya memiliki potensi
yang sangat besar untuk mengembangkan industri energi dalam negeri. melalui
pembagunan paradigma technology-based
energy, diharapkan kedepannya akan tercipta industri energi nasional yang
kokoh, sehingga tidak lagi bergantung pada impor energi. namun, semua itu tidak
dapat terwujud tanpa adanya komitmen dan visi yang kuat dari seluruh stakeholders demi mewujudkan kemandirian
energi nasional.
Catatan:
[1]
Stephen F Lincoln, “Fossil Fuels in the
21st Century”, http://www.jstor.org/stable/4315666,
diakses pada 14 Februari 2012.
[2] Pusat
Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Alam, Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia ,
7th edition (Jakarta :
Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam, 2010), hal 53.
[3] Rosihan Indrawanto, ”Konversi Energi
versus Konversi Kawasan,” Majalah Kehutanan Indonesia, edisi IV Tahun 2009, hal
32.
[4] Effendi Siradjuddin, Memerangi Sindrom Negara Gagal: Transformasi
Indonesia 2020 Mencapai Negara Entrepeneur Maju (Jakarta: Kata Hasta
Pustaka, 2009), hal 379.
[5] Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Buku Putih Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Bidang Sumber Energi Baru dan Terbarukan untuk Mendukung Keamanan Ketersediaan
Energi Tahun 2005 (Jakarta: Kementerian Negara Riset dan Teknologi, 2006),
hal 2.
[6] Ibid
[7] Ibid, hal 14.
[8] Effendi
Siradjuddin, op,cit, hal 94-95.
[9] Ibid, hal 79.
[10] Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, Blueprint Pengelolaan Energi Nasional
2006-2025, http://psdg.bgl.esdm.go.id/kepmen_pp_uu/blueprint_PEN.pdf, Diakses pada 23 Agustus 2012, hal 20.
[11]
Effendi Siradjuddin, op.cit,.
[12] Kementerian Negara Riset dan
Teknologi, op.cit, hal 20
[13] Ibid.
[14] Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, op.cit, hal 23.