Minggu, 23 September 2012

PEMBANGUNAN INDUSTRI ENERGI DALAM NEGERI DALAM MENYONGSONG KEMANDIRIAN ENERGI NASIONAL


PENDAHULUAN

Peradaban manusia tidak dapat dipisahkan dari energi. Tidak dapat dipungkiri bahwa energi dalam bentuk apapun, merupakan motor penggerak roda pembangunan dan kegiatan ekonomi masyarakat. Sampai saat ini, kebutuhan energi global masih didominasi oleh peran minyak bumi. International Energy Agency (IEA) mencatat bahwa konsumsi minyak bumi pada tahun 2002 mencapai 79,6% dari total kebutuhan energi global.[1] Dalam tingkat tertentu, kondisi yang sama juga dialami oleh Indonesia. Ironisnya, sebagai sebagai negara anggota OPEC, Indonesia harus melakukan impor minyak yang mencapai angka 22.157 ribu kilo liter dan impor batubara yang mencapai 68.804,45 ribu ton demi mencukupi kebutuhan energi nasional.[2]
Sebenarnya untuk mengantisipasi hal tersebut, Pemerintah telah menerapkan kebijakan energi nasional melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 yang pada intinya berusaha mewujudkan kemandirian energi nasional melalui pengembangan energi baru dan terbarukan di dalam negeri. Namun kenyataannya, sampai saat ini belum ada perubahan yang signifikan, hingga kembali disinggung oleh Presiden SBY dalam pidatonya tanggal 29 Mei lalu.
Apa yang sebenarnya menjadi akar masalah kondisi energi nasional dan apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah untuk mewujudkan kemandirian energi nasional? Dalam menjawab pertanyaan tersebut ulisan ini akan memaparkan beberapa masalah terkait kondisi energi nasional saat ini, serta langkah-langkah apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah dalam kaitannya untuk mewujudkan kemandirian energi nasional.

PEMBAHASAN

Beberapa Permasalahan Energi Nasional
Secara umum, saat ini kondisi energi nasional memiliki beberapa permasalahan multi-sektoral yang berujung pada terhambatnya kebijakan energi nasional. Pertama, kebijakan subsidi BBM malah semakin menambah ketergantungan terhadap minyak bumi. Kebijakan subisidi BBM memang populer, namun tidak tepat sasaran serta membebani keuangan negara. Subsidi BBM juga menyebabkan adanya disparitas harga energi yang justru mengurangi pangsa pasar energi baru dan terbarukan, sehingga pelaku usaha dan masyarakat seolah menjadi ”malas” untuk melakukan konversi energi. Kedua, mahalnya biaya produksi energi baru dan terbarukan, serta iklim usaha yang tidak kompetitif yang semakin memperlambat investasi. Sebagai contoh, pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) untuk memproduksi 1 MW memerlukan investasi sekitar US$ 2 juta.[3] Begitu pun untuk pengembangan biofuel dari tanaman jarak. Untuk memproduksi per 1 liter biofuel diperlukan sekitar 3-4 kg jarak, sehingga biaya produksinya bisa mencapai harga Rp 5.500 per liternya.[4] Lebih mahal dari BBM bersubsidi yang Rp 4.500 per liternya.
Ketiga, minimnya riset dan infrastruktur untuk mendukung kebijakan diversifikasi energi. Perhatian Pemerintah lebih tertuju pada subsidi BBM, sehingga riset untuk pengembangan energi baru dan terbarukan masih dipandang sebelah mata. Selain itu, minimnya infrastruktur menyebabkan kesenjangan konsumsi energi. Akibatnya, konsumsi energi Indonesia masih lebih rendah dari negara lain. Konsumsi energi per kapita Indonesia tahun 2005 hanya sekitar 3 BOE; sedangkan konsumsi energi listrik hanya 463 KWh/cap, masih jauh dibawah Malaysia (3.234 KWh/cap) atau Singapura (7.961 KWh/cap).[5] Keempat, inefisiensi pemakaian energi nasional. Dengan tingkat intensitas penggunaan energi yang tinggi, ternyata Indonesia memerlukan energi sekitar 4,1 KOE (Kilogram Oil Equivalent) untuk menghasilkan per $ 1 GDP.[6] Sedangkan negara lain memerlukan jumlah energi yang lebih sedikit.

Paradigma Technology-Based Energy: Belajar dari Keberhasilan Negara Lain
Premis awal menyatakan bahwa kebutuhan energi akan meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, laju industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi, dan standar hidup suatu negara. Dengan keterbatasan sumber energi minyak bumi, maka pengelolaan energi harus lebih mengarah kepada energi berbasis teknologi (technology-base energy), dibandingkan dengan energi berbasis sumber daya (resource-based energy) yang bersifat tidak terbarukan.[7] Melalui paradigma technology-based energy, strategi kebijakan dan regulasi pengelolaan energi nasional tidak hanya terfokus pada peningkatan eksploitasi sumber energi, namun lebih diarahkan kepada riset dan invensi teknologi nasional yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi serta kapasitas produksi energi baru dan terbarukan. Selain itu, pengembangan riset dan teknologi juga diarahkan untuk menghasilkan energi yang ramah lingkungan dengan tingkat emisi yang rendah
Paradigma technology-based energy sebenarnya telah diterapkan di beberapa negara. Brasil mampu mengembangkan biofuel secara massal melalui regulasi yang tepat, dukungan finansial, serta pengembangan riset dan teknologi agrobisnis. Brasil berhasil mengembangkan bioethanol sebagai bahan bakar dengan efisiensi biaya produksi, sekitar US$ 17,5 per barrel atau Rp 1.080 per liter dengan total produksi 16 miliar liter per tahun.[8] Perancis dengan sumber daya alam yang terbatas, berhasil menciptakan kemandirian energi nasional dengan 80% kebutuhan energinya dipenuhi oleh energi nuklir. Keberhasilan Prancis tersebut ditunjang dengan kebijakan energi yang memiliki empat prinsip utama:[9] (1) menjaga pasokan energi dan membatasi tertekannya ekonomi pada fluktuasi harga energi; (2) menjamin harga energi yang kompetitif; (3) menekan emisi dan menjaga kelestarian lingkungan; dan (4) menjamin akses masyarakat ke semua energi.
Melalui paradigma technology-based energy, kedua negara tersebut berhasil mengembangkan riset dan teknologi yang mutakhir, sehingga mampu menciptakan energi alternatif yang dapat mengurangi ketergantungan pada minyak bumi. Indonesia harus belajar dari keberhasilan kedua negara tersebut. Pengembangan energi baru dan terbarukan sangat mendesak untuk dilakukan. Beberapa jenis energi baru dan terbarukan, seperti  panas bumi, biofuel, liquified coal, shale gas, CBM (Coal Bed Methane), UBC (Upgraded Brown Coal), CNG (Compressed Natural Gas) dan nuklir masih memerlukan riset yang mendalam agar dapat dikembangkan secara massal di Indonesia.

Saatnya Membangun Industri Energi Nasional
Inti dari keberhasilan kemandirian energi nasional sebenarnya terletak pada beberapa faktor, yaitu adanya keseimbangan antara pasokan energi (supply) dalam negeri dengan kebutuhan energi nasional (demand), efisiensi pemanfaatan energi, serta akses terhadap energi yang merata dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Untuk mewujudkan ketiga hal tersebut, diperlukan industri energi nasional yang kokoh untuk dapat mencukupi kebutuhan energi yang semakin meningkat. Dengan adanya industri energi dalam negeri yang kuat, khususnya energi baru dan terbarukan, kebutuhan energi di masa mendatang tidak lagi bergantung pada impor energi terutama minyak bumi yang harganya sangat fluktuatif.
Membangun industri energi nasional bukanlah perkara yang mudah. Diperlukan perumusan kebijakan yang strategis, tepat sasaran dan tentunya biaya yang tidak sedikit. Secara jangka panjang, perumusan kebijakan juga harus memperhatikan perkembangan kondisi sosial-ekonomi masyarakat, pertumbuhan ekonomi, serta fluktuasi harga energi dunia. Dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025, pengembangan industri dan jasa energi nasional merupakan salah satu program utama Pemerintah. Pengembangan industri energi terfokus kepada peningkatan pabrikasi dan rekayasa energi, serta peningkatan infrastruktur energi.[10] Selama ini, selama ini, industri energi nasional kurang berkembang karena kurang kondusifnya iklim investasi sektor energi.
Untuk memberikan kepastian iklim usaha yang kondusif bagi pelaku usaha, Pemerintah harus segera melakukan restrukturisasi regulasi di bidang penanaman modal, teknologi, energi dan ketenagalistrikan. Restrukturisasi regulasi menekankan kepada beberapa faktor: (1) optimalisasi pasar dalam negeri dengan pengetatan kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) untuk batu bara dan gas; (2) rasionalisasi harga energi dan mekanisme insentif ekonomi dan pajak energi bagi pengembangan energi alternatif; (3) penerapan carbon tax untuk menstimulasi pengembangan energi yang ramah lingkungan;[11] dan (4) penyusunan kebijakan percepatan diversifikasi energi di tiap sektor, serta penghematan energi.
Di bidang riset dan teknologi, Pemerintah juga harus berperan aktif dalam menumbuhkan paradigma technology-based energy. Pengembangan riset dan teknologi sangat berperan dalam percepatan diversifikasi energi, serta menciptakan kondisi pasar energi yang kompetitif melalui peningkatan efisiensi serta kapasitas produksi. Pemerintah dapat mendorong pengembangan riset dan teknologi melalui subsidi dan bantuan  penelitian, optimalisasi instrumen HKI,  pembinaan kualitas sumber daya manusia dan pemberdayaan organisasi profesi ilmiah.[12] Dalam mendorong pengembangan riset dan teknologi, Pemerintah dapat bekerjasama dengan universitas maupun pelaku usaha untuk mengembangkan kemampuan inovasi pelaku usaha, serta mendorong pembangunan kelembagaan iptek di daerah.[13] Untuk mendorong pembangunan industri energi dalam negeri, Pemerintah juga harus melakukan percepatan pembangunan infrastruktur pendukung untuk meningkatkan pasokan energi dalam negeri dan akses energi masyarakat, khususnya untuk masyarakat pedesaan dan wilayah terpencil. Dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional, infrastruktur energi yang akan difokuskan untuk dibangun diantaranya, infrastruktur gas, infrastruktur batubara, infrastruktur listrik, infrastruktur BBM, infrasturktur energi alternatif BBM lainnya, termasuk BBG untuk sektor transportasi.[14]

PENUTUP

Sebagai penutup, industri energi dalam negeri merupakan suatu langkah awal untuk mewujudkan kemandirian energi nasional. Dengan cadangan sumber energi yang berlimpah, Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan industri energi dalam negeri. melalui pembagunan paradigma technology-based energy, diharapkan kedepannya akan tercipta industri energi nasional yang kokoh, sehingga tidak lagi bergantung pada impor energi. namun, semua itu tidak dapat terwujud tanpa adanya komitmen dan visi yang kuat dari seluruh stakeholders demi mewujudkan kemandirian energi nasional.


Catatan:
[1] Stephen F Lincoln, “Fossil Fuels in the 21st Century”, http://www.jstor.org/stable/4315666, diakses pada 14 Februari 2012.
[2] Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Alam, Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia, 7th edition (Jakarta: Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam, 2010), hal 53.
[3] Rosihan Indrawanto, ”Konversi Energi versus Konversi Kawasan,” Majalah Kehutanan Indonesia, edisi IV Tahun 2009, hal 32.
[4] Effendi Siradjuddin, Memerangi Sindrom Negara Gagal: Transformasi Indonesia 2020 Mencapai Negara Entrepeneur Maju (Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2009), hal 379.
[5] Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Buku Putih Penelitian, Pengembangan  dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Sumber Energi Baru dan Terbarukan untuk Mendukung Keamanan Ketersediaan Energi Tahun 2005 (Jakarta: Kementerian Negara Riset dan Teknologi, 2006), hal 2.
[6] Ibid
[7] Ibid, hal 14.
[8] Effendi Siradjuddin, op,cit, hal 94-95.
[9] Ibid, hal 79.
[10] Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025, http://psdg.bgl.esdm.go.id/kepmen_pp_uu/blueprint_PEN.pdf, Diakses pada 23 Agustus 2012, hal 20.
[11] Effendi Siradjuddin,  op.cit,.
[12] Kementerian Negara Riset dan Teknologi, op.cit, hal 20
[13] Ibid.
[14] Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, op.cit, hal 23.