PENDAHULUAN
Penyediaan tenaga listrik yang
handal dan merata merupakan salah satu kewajiban negara dalam rangka mencapai
tujuan ekonomi dan sosial demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, disadari
bahwa penyediaan tenaga listrik bukanlah perkara yang mudah. Diperlukan
investasi dan teknologi yang sangat besar untuk mengantisipasi kebutuhan
listrik nasional yang semakin meningkat. Untuk itu, dalam rangka memaksimalkan
kemampuan negara dalam usaha penyediaan tenaga listrik, Pemerintah melalui UU
No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan memberikan keterbukaan kepada pihak
swasta untuk berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik.
Sebenarnya, privatisasi dalam sektor
ketenagalistrikan telah menjadi wacana Pemerintah sejak diberlakukannya Keppres
No. 37 Tahun 1992. Namun geliat usaha penyediaan tenaga listrik oleh swasta
masih belum optimal, dikarenakan secara alamiah, usaha penyediaan tenaga
listrik memerlukan investasi modal berupa infrastruktur dan teknologi yang
tidak sedikit. Isu privatisasi usaha penyediaan tenaga listrik memang
memunculkan berbagai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Namun, terlepas
dari hal tersebut, tulisan ini berusaha untuk menganalisis secara konstruktif
efektifitas privatisasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik sebagai solusi
permasalahan ketenagalistrikan nasional. Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
analisa akan tertuju kepada permasalahan ketenagalistrikan nasional, pengaturan
privatisasi usaha penyediaan tenaga listrik, serta bagaimana perkembangannya
selama ini
PEMBAHASAN
Permasalahan Kondisi
Ketenagalistrikan Nasional Saat Ini
Pembahasan dalam tulisan ini dimulai
dengan melihat gambaran kondisi ketenagalistrikan nasional saat ini. Secara
garis besar, kondisi ketenagalistrikan nasional saat ini masih menyisakan
beberapa permasalahan. Pertama, pasokan
tenaga listrik nasional belum dapat mencukupi permintaan tenaga listrik yang
semakin meningkat. Dilihat dari data statistik, kapasitas terpasang pembangkit
listrik nasional pada tahun 2010 adalah sekitar 30.908 MW yang terdiri dari
23.206 MW di sistem ketenagalistrikan Wilayah Operasi Jawa-Bali dan 7.702 MW di
Wilayah Operasi Indonesia Barat dan Indonesia Timur.[i] Kapasitas
tersebut mampu menghasilkan listrik hingga 169.786 GWh.[ii] Sedangkan angka penjualan tenaga listrik
nasional yang mencapai angka 147.297 GWh pada tahun 2010.[iii] Dengan demikian, reserve margin pasokan listrik nasional
hanya sekitar 22.489 GWh. Angka ini tentunya tidak akan bertahan
lama mengingat kondisi beban puncak yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Kondisi diatas menyebabkan PLN
sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) hanya dapat menerapkan
strategi distribusi terbatas dengan mempertahankan pelayanan kepada konsumen
yang telah ada, melayani pertumbuhan secara terbatas sesuai kapasitas daya. Apalagi,
PLN telah beberapa kali terkendala krisis pasokan listrik di beberapa wilayah yang
mengakibatkan defisit pasokan yang berujung kepada pemadaman listrik secara
berkala.
Kedua,
biaya produksi pembangkit listrik yang tidak efisien. Sebagian besar pembangkit
listrik nasional, baik milik PLN maupun IPP (Independent
Power Plan) masih didominasi oleh pembangkit listrik batu bara (46.685
GWh), minyak bumi dan diesel (18.098 GWh).[iv] Biaya produksi pembangkit listrik minyak
bumi cenderung mahal, sekitar 26 sen dollar/KWh. Hal ini diperparah
dengan kondisi harga minyak bumi yang semakin tidak menentu di pasar dunia. Kondisi
pembangkit listrik batubara pun setali tiga uang. Meskipun produksi batubara
nasional mencapai angka 275 juta ton, namun pembangkit listrik batu bara masih
mengalami masalah security of supply
karena keamanan pasokan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah mengenai Domestic Market Obligation (DMO), batasan
harga dalam negeri, serta kesiapan infrastruktur. Pelaku batubara dalam negeri
pun juga cenderung mengekspor batu bara ke luar negeri, seperti India dan China . Salain itu, meskipun biaya
produksinya lebih murah, namun pembangkit listrik batubara membutuhkan pasokan
yang besar serta menghasilkan jumlah emisi yang besar pula. Untuk memproduksi
500 MW membutuhkan pasokan sekitar 4,3 juta ton batubara yang menghasilkan
emisi hampir 10.200 ton SO2; 3,7 juta ton NO; dan 3,7 juta ton CO2.[v]
Ketiga
keterbatasan infrastruktur jaringan transmisi dan distribusi menyebabkan
ketidakmerataan konsumsi tenaga listrik di sejumlah daerah. Rasio elektrifikasi[vi]
nasional tahun 2010 diperkirakan masih di angka 66,51%.[vii]
Berarti hanya sekitar 66,51% rumah tangga Indonesia yang menikmati tenaga
listrik. Konsumsi tenaga listrik perkapita Indonesia
juga rendah, hanya mencapai angka 463 KWh/cap, masih jauh dibawah Malaysia
(3.234 KWh/cap) atau Singapura (7.961 KWh/cap).[viii]
Keterbatasan infrastruktur jaringan transmisi dan distribusi tenaga listrik
mengakibatkan tingginya biaya produksi, khususnya di Wilayah Operasi Indonesia
Timur. Bahkan, ada anekdot yang menyatakan bahwa untuk melayani 1 (satu) konsumen di luar Jawa-Bali diperlukan 10
tiang listrik, sedangkan untuk di Jawa-Bali 10 (sepuluh) konsumen dilayani hanya
oleh satu tiang listrik.
Pengaturan Privatisasi Dalam Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik
Kehandalan pasokan, efisiensi
produksi, serta infrastruktur jaringan transmisi dan distribusi yang baik
merupakan prasyarat utama agar penyediaan tenaga listrik dapat memenuhi
kebutuhan nasional. Namun dilihat dari kondisi diatas, kemampuan PLN saat ini
belum dapat mencukupi kebutuhan listrik nasional. Padahal, UU No. 30 Tahun 2009
mewajibkan PLN menyediakan tenaga listrik secara terus-menerus, dalam jumlah
yang cukup dan dengan mutu dan keandalan pasokan yang baik, termasuk pemerataan
pasokan listrik di seluruh wilayah. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan
Pemerintah mulai memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk ikut serta
dalam usaha penyediaan tenaga listrik.
Sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, keterlibatan sektor swasta telah menjadi wacana Pemerintah sejak
diberlakukannya Keppres No. 37 Tahun 1992. Dapat dikatakan bahwa Keppres ini
memberikan tonggak iklim usaha yang kompetitif dalam sektor ketenagalistrikan. Melalui
UU No. 20 Tahun 2002, Pemerintah kemudian meletakkan dasar-dasar
restrukturisasi sektor ketenagalistrikan. Setidaknya, terdapat beberapa poin
penting dalam UU No. 20 Tahun 2002, yakni: (1) mempertegas fungsi-fungsi
Pemerintah dalam hal pengaturan dan pengusahaan sektor ketenagalistrikan dengan
memangkas monopoli usaha PLN sebagai PKUK; (2) pemisahan usaha (unbundling system) penyediaan tenaga
listrik yang meliputi pembangkitan, transmisi, distribusi, penjualan, agen
Penjualan, pengelola pasar, dan pengelola sistem yang dilaksanakan secara
terpisah oleh pelaku usaha yang berbeda; (3) restrukturisasi penyediaan tenaga
listrik yang efisien dan transparan melalui kompetisi dalam iklim usaha yang
sehat dengan memberikan perlakuan yang sama kepada semua pelaku usaha; dan (4) pembentukan
Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (Bapetal) yang bertugas dalam mengatur dan
mengawasi usaha penyediaan tenaga listrik dalam wilayah usaha yang menerapkan
skema persaingan yang sehat dan wajar.
UU No. 20 Tahun 2002 pada akhirnya
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dalam Perkara No. 001-021-022/PUU-I/2003.
Putusan ini merupakan land mark decision,
karena pada pertama kalinya Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian
undang-undang terhadap Pasal 33 UUD 1945. Terdapat beberapa hal menarik dari
pertimbangan Mahkamah Konstitusi mengenai konstitusionalitas privatisasi sektor
ketenagalistrikan. Pertama,
paradigma penguasaan negara atas cabang produksi yang penting dan menguasai
hajat hidup orang banyak memberikan kewajiban kepada negara untuk memenuhi 3
(tiga) hal yang menjadi kepentingan masyarakat, yaitu: ketersediaan yang cukup,
distribusi yang merata, dan terjangkaunya harga bagi orang banyak. Kedua, ketentuan Pasal
33 UUD 1945 tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, sepanjang
kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan
untuk mengatur (regelendaad),
mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan/atau yang mengusai hajat hidup orang
banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketiga, sektor ketenagalistrikan harus tetap dikelola oleh negara
melalui perusahaan negara yang didanai oleh pemerintah (negara), sedangkan
perusahaan swasta nasional atau asing hanya ikut serta apabila diajak kerjasama
oleh BUMN, baik dengan kemitraan, penyertaan saham, pinjaman modal dan
lain-lain. Keempat, ketentuan
Pasal 16 UU No. 20 Tahun 2002 yang
memerintahkan sistem pemisahan usaha (unbundling
system) dengan pelaku usaha yang berbeda akan semakin membuat terpuruk PLN
yang telah memiliki izin usaha secara terintegrasi, serta akan bermuara kepada
tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang
bersifat komersial maupun non-komersial.
Demi melaksanakan restrukturisasi
sektor ketenagalistrikan yang terhambat, Pemerintah kembali mengundangkan
undang-undang ketenagalistrikan yang baru lewat UU No. 30 Tahun 2009. Melalui
undang-undang ini, Pemerintah berusaha untuk melakukan desentralisasi
kewenangan dalam menetapkan kebijakan dan
perencanaan di sektor ketenagalistrikan, penetapan perizinan usaha
ketenagalistrikan, serta tarif dan harga jual tenaga listrik. Berbeda dengan
konsep unbundling system dalam UU No.
20 Tahun 2002, PLN diberikan prioritas utama (first right use) dalam melakukan usaha penyediaan tenaga listrik
yang telah terintegrasi, baik vertikal maupun horizontal. Sedangkan pada
wilayah tertentu, dimana PLN tidak mampu melaksanakan sendiri, dapat diberikan
kesempatan kepada BUMD, badan usaha, koperasi, atau swadaya masyarakat
dalam jenis usaha pembangkitan, transmisi,
distribusi, atau penjualan tenaga listrik. UU No. 30 Tahun 2009 pun mendapat
tentangan dari beberapa kalangan. Namun pada akhirnya, melalui putusan Mahkamah
Konstitusi dalam Perkara No. 149/PUU-VII/2009 menolak permohonan pembatalan UU
No.30 Tahun 2009.
Peluang Besar Investasi Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik
Privatisasi usaha penyediaan tenaga
listrik tidak lepas dari hakikat listrik sebagai komoditas. Menurut Prof.
Bambang Brodjonegoro, listrik sebagai komoditas memberikan 3 (tiga) perspektif
tentang tenaga listrik, yakni:[ix]
(1) listrik sebagai pelayanan publik; (2) listrik sebagai infrastruktur; dan
(3) listrik sebagai penerimaan negara. Sebagai pelayanan publik, listrik
merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat, sehingga memberikan tanggung jawab
kepada negara untuk memenuhi dan memberikan akses masyarakat terhadap listrik.
Listrik sebagai infrastruktur memberikan pengertian bahwa permintaan terhadap
listrik akan terus bertumbuh sejalan dengan pertumbuhan perekonomian negara.
Sedangkan listrik sebagai penerimaan negara, berarti bahwa sektor
ketenagalistrikan dapat menjadi sumber pendapatan negara, baik berupa pajak,
PNBP, maupun laba BUMN/BUMD.
Terlepas dari putusan Mahkamah
Konsitusi yang menolak permohonan pembatalan UU No. 30 Tahun 2009, undang-undang
ini jelas membuka peluang yang sangat besar bagi pengusaha untuk ikut serta
dalam usaha penyediaan tenaga listrik. Apalagi jika dilihat dari potensi
pertumbuhan permintaan tenaga listrik nasional. Dalam Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI), proyeksi kebutuhan listrik di
Indonesia tahun 2025 adalah sebesar 90.000 MW dalam kondisi beban puncak (peak time).[x] Dalam
Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2011-2020 yang telah
disahkan oleh Menteri ESDM pada tanggal 30 Desember 2011, Pemerintah
memproyeksikan pertumbuhan pemerataan pasokan tenaga listrik dengan menaikkan
rasio elektrifikasi nasional menjadi sebesar 94,4% pada tahun 2020.[xi] Target
tersebut tentunya memerlukan investasi yang besar dalam membangun pembangkit
tenaga listrik yang baru serta membangun jaringan transmisi, terutama di daerah
yang kekurangan pasokan listrik.
Pada prakteknya, keterlibatan pelaku
usaha dalam usaha penyediaan tenaga listrik berbentuk pola kemitraan yang
dituangkan skema perjanjian jual beli tenaga listrik (Power Purchase Agreement), perjanjian sewa jaringan transmisi, atau perjanjian sewa jaringan
distribusi. Pada era 1990-1997, terdapat 25 (dua puluh lima) proyek usaha
penyediaan tenaga listrik dengan pola single
buyer antara swasta dan PLN. Sementara, usaha penyediaan tenaga listrik
yang terintegrasi secara vertikal diluar grid
PLN telah ada di beberapa lokasi, misalnya PT Cikarang Listrisindo yang
mengelola kebutuhan listrik di kawasan industri Jababeka.
Meskipun peluang usaha terdapat di
setiap bidang, baik usaha pembangkit, transmisi ataupun distribusi, namun pada
kenyataannya, pelaku usaha lebih tertarik untuk berinvestasi di usaha
pembangkit tenaga listrik. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, total penjualan tenaga listrik PLN dari IPP dan captive power[xii]
adalah sekitar 169.786 GWh.[xiii]
Dari sisi finansial, usaha pembangkit listrik dapat dikatakan lebih
menguntungkan dibanding usaha transmisi dan distribusi. Internal rate of return atau tingkat pengembalian modal usaha
pembangkit listrik adalah sekitar 15-22%, lebih menjanjikan dibanding usaha
transmisi dan distribusi yang berkisar antara 5-6%.[xiv]
Selain itu, Pemerintah juga tengah
mengejar target program diversifikasi energi nasional, khususnya di bidang
pembangkit listrik. Sehingga pengembangan pembangkit energi baru dan terbarukan
diberikan insentif yang lebih tinggi. Harga jual beli tenaga listrik dari
pembangkit listrik tenaga energi baru dan terbarukan juga lebih menjanjikan
karena bersifat fixed rate, serta
terbilang tinggi. Harga penjualan tenaga listrik dari pembangkit listrik
minihidro dan mikrohidro berkisar antara 656-1.004 Rp/Kwh[xv], biomassa
dan biogas 975-1.398 Rp/KWh[xvi],
sedangkan untuk pembangkit panas bumi berkisar antara 10-18,5 sen/KWh[xvii].
Privatisasi Usaha Penyediaan
Tenaga Listrik: Benarkah Solusi yang Efektif?
Pertanyaan besar yang muncul adalah
apakah privatisasi usaha penyediaan tenaga listrik merupakan solusi yang dapat menjawab
permasalahan ketenagalistrikan nasional. Kalau dilihat dari perspektif
investasi, sebenarnya peluang pasar usaha penyediaan tenaga listrik yang besar
tersebut tidak serta merta dapat diserap oleh pelaku usaha. Setidaknya terdapat
beberapa kendala yang membuat pelaku usaha berpikir dua kali untuk berkecimpung
di usaha penyediaan tenaga listrik. Usaha penyediaan tenaga listrik bisa dikatakan
sebagai sektor usaha baru bagi pelaku usaha dalam negeri, sehingga kebanyakan
pelaku usaha belum memiliki pengalaman yang cukup, khususnya dalam hal mitigasi
resiko. Hanya beberapa pelaku usaha, khususnya di bidang pembangkit listrik
yang telah berpengalaman selama lebih dari sepuluh tahun. Sehingga, masih patut
untuk dipertanyakan realisasi proyek kedepannya.
Alasan lain yang paling mendasar
adalah usaha penyediaan tenaga listrik membutuhkan kemampuan finansial dan
teknologi yang tinggi. Untuk pengembangan usaha pembangkit listrik, biaya yang
harus dikeluarkan biasanya terdiri dari biaya konstruksi, biaya produksi, biaya
pemeliharaan (maintenance), serta
biaya lainnya, seperti pengurusan izin, pajak, PNBP, dan lain-lain. Investasi
pembangkit listrik gasifikasi batubara[xviii]
memerlukan biaya setidaknya 2.132
USD/KWh, sementara untuk pembangkit listrik batubara konvensional membutuhkan
sekitar 1.250-1.520 USD/KWh.[xix]
Pembangkit listrik panas bumi pun setali tiga uang. Untuk memproduksi 1 MW saja
diperlukan investasi sekitar US$ 2 juta.[xx]
Sedangkan persyaratan administratif untuk memperoleh izin usaha memerlukan dana
US$ 10 juta sebagai dana jaminan pelaksanaan eksplorasi atau eksploitasi.[xxi]
Belum lagi, biaya produksi pembangkit listrik panas bumi bersifat site spesific, dalam arti sangat
dipengaruhi oleh ukuran proyek, ruang lingkup proyek, penjadwalan kegiatan
proyek, nilai investasi, pendanaan proyek dan tingkat risiko proyeknya.
Sedangkan untuk usaha jaringan
transmisi dan distribusi, realisasinya belum belum terlihat. Usaha jaringan
transmisi dan distribusi memerlukan biaya yang relatif lebih besar, karena
memerlukan pembangunan infrastruktur yang lebih banyak, belum lagi masalah
kompensasi lahan. Apalagi pada wilayah usaha yang terpencil, pelaku usaha akan
berhadapan dengan resiko sewa transmisi yang tidak ekonomis. Hal inilah yang
menyebabkan usaha penyediaan tenaga listrik
Dari perspektif Pemerintah, dapat
dikatakan bahwa privatisasi usaha penyediaan tenaga listrik merupakan pisau
bermata dua. Privatisasi usaha penyediaan tenaga listrik tidak jarang berdampak
negatif bagi Pemerintah. Pemerintah harus bercermin dari kasus sengketa kontrak
jual beli tenaga listrik antara PLN dengan Joint
Operating Body (JOB) Pertamina dan Karaha Bodas Corporation tahun 1997 yang
berujung pada putusan Arbitrase Jenewa yang memutuskan Pertamina dan PLN
membayar ganti rugi sebesar 261 juta USD.[xxii]
Meskipun pada akhirnya kasus ini diselesaikan melalui renegosiasi kontrak,
namun seharusnya kasus ini patut menjadi contoh bagi Pemerintah untuk lebih
berhati-hati dalam melakukan kerjasama usaha penyediaan tenaga listrik dengan
pihak swasta.
Dalam beberapa program pembangunan
pembangkit listrik yang diwacanakan, kerjasama dengan pihak swasta pun
menimbulkan beberapa masalah. Dalam program Perpres No. 71 Tahun 2006 atau yang
dikenal dengan proyek percepatan pembangkit listrik batubara 10.000 MW (FTP-I),
PLN harus melakukan renegosiasi 32 (tiga puluh dua) proyek pembangunan
pembangkit listrik yang terkendala pembangunannya. Target penyelesaian
pembangunan pembangkit listrik yang semula ditetapkan tanggal 31 Desember 2009
menjadi mundur menjadi tanggal 31 Desember 2014 melalui Perpres No. 59 Tahun
2009. Realisasi proyek pembangunan pembangkit listrik ini terhambat diakibatkan
lemahnya kemampuan finansial dari para kontraktor, serta kemampuan mitigasi
resiko yang minim. Sebagai konsekuensinya, Pemerintah melakukan renegosiasi
dengan menaikkan harga pembelian tenaga listrik, sehingga beban tersebut
akhirnya mesti ditanggung oleh konsumen.
Program percepatan pembangkit
listrik kembali diusung oleh Pemerintah dalam Perpres No. 4 Tahun 2010.
Proyek-proyek yang diikutsertakan dalam proyek percepatan pembangkit listrik
tahap II (FTP-II) ini terangkum dalam Permen ESDM No. 2 Tahun 2010 dengan total
kapasitas pembangkit 9.522 MW. Dalam perjalanannya proyek-proyek tersebut
akhirnya juga menemui beberapa permasalahan seperti kekurangan pasokan gas dan
ketidaksiapan pengembangan panas bumi. Sehingga akhirnya Pemerintah melakukan
penataan kembali proyek-proyek FTP-II dalam Permen No. 15 Tahun 2010 yang
meliputi pembangkit listrik batubara 3.025 MW, panas bumi 4.870 MW, gas bumi
280 MW, gasifikasi batubara 64 MW, air 1.753 MW, dengan total kapasitas
pembangkit 9.992 MW.
Selain kedua proyek percepatan pembangkit
diatas, Pemerintah dalam juga akan merealisasikan pembangunan pembangkit
listrik batubara dengan total kapasitas 7.310 MW di mulut tambang daerah
Sumatera sampai dengan tahun 2020, yang terdiri dari 6.510 MW akan dikembangkan
oleh IPP dan 800 MW oleh PLN.[xxiii]
Patut untuk dilihat kembali, apakah realisasi proyek tersebut berjalan sesuai
dengan target, atau akan kembali terhambat seperti proyek-proyek sebelumnya.
PENUTUP
Ditengah keterbatasan kemampuan PLN
sekarang ini, secara teoritis, privatisasi usaha penyediaan tenaga listrik
memang menjadi solusi agar usaha penyediaan tenaga listrik dapat memenuhi
kebutuhan nasional. Namun, sejalan dengan amanat Mahkamah Konstitusi,
privatisasi harus dimaknai bahwa usaha penyediaan tenaga listrik masih
merupakan tanggung jawab negara, sehingga keterlibatan pihak swasta hanya
sebagai mitra Pemerintah dalam menyediakan pasokan tenaga listrik yang handal
dan secara merata. Jika dilihat dari pembahasan diatas, kesempatan privatisasi
usaha penyediaan tenaga listrik ternyata belum secara efektif diserap oleh
pelaku usaha. Keterbatasan kemampuan finansial dan teknologi, serta minimnya
pengalaman menjadi faktor utama.
Perlu disadari bahwa privatisasi
usaha penyediaan tenaga listrik memang masih baru, sehingga realisasinya mungkin
belum terlihat secara signifikan. Namun, bercermin dari kasus Karaha Bodas
serta keterlambatan penyelesaian beberapa proyek percepatan pembangkit listrik,
Pemerintah harus lebih berhati-hati agar jangan sampai privatisasi justru malah
membebani keuangan negara. Proyek-proyek pengembangan swasta harus dikaji
kembali sesuai tingkat resiko dan kemampuan finansial para kontraktor agar
jangan sampai terjadi keterlambatan penyelesaian proyek yang justru menghambat
rencana penyediaan listrik kedepannya. Selain itu, skema insentif harga jual
beli tenaga listrik memang tetao diperlukan untuk meningkatkan partisipasi
pelaku usaha, namun harus dilihat dengan tingkat keekonomian yang efisien agar
tarif dasar listrik tetap dapat terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.
[i] PT PLN (Persero), Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2011-2020, sebagaimana disahkan dalam Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 3314 K/21/MEM/2011 tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2011-2020, hal 25.
[ii] Pusat
Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral, Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia 2011 (Jakarta : Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral, 2011), hal 89.
[iii] Ibid, hal 90.
[iv] Pusat
Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral, op.cit, hal 86-87.
[v] Effendi
Siradjuddin, Memerangi Sindrom Negara
Gagal: Transformasi Indonesia 2020 Mencapai Negara Entrepeneur Maju (Jakarta : Kata Hasta
Pustaka, 2009), hal 391.
[vi] Rasio elektrifikasi adalah perbandingan
jumlah rumah tangga yang mengkonsumsi listrik dengan total jumlah rumah tangga
di seluruh Indonesia.
[vii] PT
PLN (Persero), op.cit, hal 23.
[viii] Kementerian Negara Riset dan Teknologi
Republik Indonesia, Buku Putih
Penelitian, Pengembangan dan Penerapan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Sumber Energi Baru dan Terbarukan untuk
Mendukung Keamanan Ketersediaan Energi Tahun 2005 (Jakarta: Kementerian
Negara Riset dan Teknologi, 2006), hal 2.
[ix] Prof.
Bambang Brodjonegoro dalam keterangannya sebagai Ahli dari Pemerintah dalam
sidang perkara judicial review UU
Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, dapat dilihat dalam: Mahkamah
Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, dibacakan tanggal 15 Desember 2004, B.N. RI
Nomor 102 Tahun 2004, hal 71-75.
[x] Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian Republik Indonesia, Masterplan
Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (Jakarta:
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011), hal 49.
[xi] Ibid, hal 58.
[xii] Captive power adalah kelebihan tenaga
listrik yang dibeli oleh PLN melalui kontrak penjualan tenaga listrik dari
pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.
[xiii] Pusat Data dan Informasi Energi dan
Sumber Daya Mineral, op.cit, hal
88-89.
[xiv] Fabby Tumiwa, ”Listrik Swasta” dimuat
dalam Mingguan Bisnis dan Investasi
KONTAN No. 21HXVI, Edisi 20-26 Februari 2012, rubrik Analisis Ekonomi, hal 27.
[xv] Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 4 Tahun 2012 tentang Harga
Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero) dari Pembangkit Tenaga Listrik
yang Menggunakan Energi Terbarukan Skala Kecil dan Menengah Atau Kelebihan
Tenaga Listrik, B.N. RI Tahun 2012 Nomor 128.
[xvi] Ibid.
[xvii] Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 22 Tahun 2012 tentang Penugasan
kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk Melakukan Pembelian Tenaga
Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi dan Harga Patokan Pembelian
Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dari Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi, B.N. RI Tahun 2012 Nomor 850.
[xviii] Gasifikasi
batubara (Integrated Gasification Combined Cycle/IGCC) merupakan
salah satu teknologi pengembangan pembangkit listrik batubara yang ramah
lingkungan dengan mengubah batubara menjadi gas yang mudah terbakar.
[xix] Teknologi Gasifikasi Batubara: Tingginya Biaya Investasi Hambat
Pengembangan Teknologi Gasifikasi Batubara, dimuat
dalam http://industri.kontan.co.id/news/tingginya-biaya-investasi-hambat-pengembangan-teknologi-gasifikasi-batubara--1,
diakses pada 6 Januari 2013.
[xx] Rosihan Indrawanto, ”Konversi Energi
versus Konversi Kawasan”. Dimuat dalam Majalah Kehutanan Indonesia (edisi IV
Tahun 2009), hal 32.
[xxi]
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2009 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Panas Bumi, Pasal 5 ayat 6 huruf d.
[xxii]
Keppres Nomor 39 Tahun 1997 Dicabut, Listrik Swasta Dilanjutkan, http://www.bumn.go.id/22906/publikasi/berita/keppres-nomor-39-tahun1997-dicabut-listrik-swasta-dilanjutk/,
diakses pada 6 Januari 2013.
[xxiii] PT
PLN (Persero), op.cit, hal 64.