Sabtu, 12 Januari 2013

EFEKTIFITAS PRIVATISASI USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK


PENDAHULUAN
            Penyediaan tenaga listrik yang handal dan merata merupakan salah satu kewajiban negara dalam rangka mencapai tujuan ekonomi dan sosial demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, disadari bahwa penyediaan tenaga listrik bukanlah perkara yang mudah. Diperlukan investasi dan teknologi yang sangat besar untuk mengantisipasi kebutuhan listrik nasional yang semakin meningkat. Untuk itu, dalam rangka memaksimalkan kemampuan negara dalam usaha penyediaan tenaga listrik, Pemerintah melalui UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan memberikan keterbukaan kepada pihak swasta untuk berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik.
         Sebenarnya, privatisasi dalam sektor ketenagalistrikan telah menjadi wacana Pemerintah sejak diberlakukannya Keppres No. 37 Tahun 1992. Namun geliat usaha penyediaan tenaga listrik oleh swasta masih belum optimal, dikarenakan secara alamiah, usaha penyediaan tenaga listrik memerlukan investasi modal berupa infrastruktur dan teknologi yang tidak sedikit. Isu privatisasi usaha penyediaan tenaga listrik memang memunculkan berbagai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Namun, terlepas dari hal tersebut, tulisan ini berusaha untuk menganalisis secara konstruktif efektifitas privatisasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik sebagai solusi permasalahan ketenagalistrikan nasional. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, analisa akan tertuju kepada permasalahan ketenagalistrikan nasional, pengaturan privatisasi usaha penyediaan tenaga listrik, serta bagaimana perkembangannya selama ini

PEMBAHASAN
Permasalahan Kondisi Ketenagalistrikan Nasional Saat Ini
       Pembahasan dalam tulisan ini dimulai dengan melihat gambaran kondisi ketenagalistrikan nasional saat ini. Secara garis besar, kondisi ketenagalistrikan nasional saat ini masih menyisakan beberapa permasalahan. Pertama, pasokan tenaga listrik nasional belum dapat mencukupi permintaan tenaga listrik yang semakin meningkat. Dilihat dari data statistik, kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional pada tahun 2010 adalah sekitar 30.908 MW yang terdiri dari 23.206 MW di sistem ketenagalistrikan Wilayah Operasi Jawa-Bali dan 7.702 MW di Wilayah Operasi Indonesia Barat dan Indonesia Timur.[i] Kapasitas tersebut mampu menghasilkan listrik hingga 169.786 GWh.[ii] Sedangkan angka penjualan tenaga listrik nasional yang mencapai angka 147.297 GWh pada tahun 2010.[iii] Dengan demikian, reserve margin pasokan listrik nasional hanya sekitar 22.489 GWh. Angka ini tentunya tidak akan bertahan lama mengingat kondisi beban puncak yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
          Kondisi diatas menyebabkan PLN sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) hanya dapat menerapkan strategi distribusi terbatas dengan mempertahankan pelayanan kepada konsumen yang telah ada, melayani pertumbuhan secara terbatas sesuai kapasitas daya. Apalagi, PLN telah beberapa kali terkendala krisis pasokan listrik di beberapa wilayah yang mengakibatkan defisit pasokan yang berujung kepada pemadaman listrik secara berkala.
          Kedua, biaya produksi pembangkit listrik yang tidak efisien. Sebagian besar pembangkit listrik nasional, baik milik PLN maupun IPP (Independent Power Plan) masih didominasi oleh pembangkit listrik batu bara (46.685 GWh), minyak bumi dan diesel (18.098 GWh).[iv] Biaya produksi pembangkit listrik minyak bumi cenderung mahal, sekitar 26 sen dollar/KWh. Hal ini diperparah dengan kondisi harga minyak bumi yang semakin tidak menentu di pasar dunia. Kondisi pembangkit listrik batubara pun setali tiga uang. Meskipun produksi batubara nasional mencapai angka 275 juta ton, namun pembangkit listrik batu bara masih mengalami masalah security of supply karena keamanan pasokan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah mengenai Domestic Market Obligation (DMO), batasan harga dalam negeri, serta kesiapan infrastruktur. Pelaku batubara dalam negeri pun juga cenderung mengekspor batu bara ke luar negeri, seperti India dan China. Salain itu, meskipun biaya produksinya lebih murah, namun pembangkit listrik batubara membutuhkan pasokan yang besar serta menghasilkan jumlah emisi yang besar pula. Untuk memproduksi 500 MW membutuhkan pasokan sekitar 4,3 juta ton batubara yang menghasilkan emisi hampir 10.200 ton SO2; 3,7 juta ton NO; dan 3,7 juta ton CO2.[v]
          Ketiga keterbatasan infrastruktur jaringan transmisi dan distribusi menyebabkan ketidakmerataan konsumsi tenaga listrik di sejumlah daerah. Rasio elektrifikasi[vi] nasional tahun 2010 diperkirakan masih di angka 66,51%.[vii] Berarti hanya sekitar 66,51% rumah tangga Indonesia yang menikmati tenaga listrik. Konsumsi tenaga listrik perkapita Indonesia juga rendah, hanya mencapai angka 463 KWh/cap, masih jauh dibawah Malaysia (3.234 KWh/cap) atau Singapura (7.961 KWh/cap).[viii] Keterbatasan infrastruktur jaringan transmisi dan distribusi tenaga listrik mengakibatkan tingginya biaya produksi, khususnya di Wilayah Operasi Indonesia Timur. Bahkan, ada anekdot yang menyatakan bahwa untuk melayani 1 (satu)  konsumen di luar Jawa-Bali diperlukan 10 tiang listrik, sedangkan untuk di Jawa-Bali 10 (sepuluh) konsumen dilayani hanya oleh satu tiang listrik.

Pengaturan Privatisasi Dalam Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
            Kehandalan pasokan, efisiensi produksi, serta infrastruktur jaringan transmisi dan distribusi yang baik merupakan prasyarat utama agar penyediaan tenaga listrik dapat memenuhi kebutuhan nasional. Namun dilihat dari kondisi diatas, kemampuan PLN saat ini belum dapat mencukupi kebutuhan listrik nasional. Padahal, UU No. 30 Tahun 2009 mewajibkan PLN menyediakan tenaga listrik secara terus-menerus, dalam jumlah yang cukup dan dengan mutu dan keandalan pasokan yang baik, termasuk pemerataan pasokan listrik di seluruh wilayah. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan Pemerintah mulai memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk ikut serta dalam usaha penyediaan tenaga listrik.
       Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, keterlibatan sektor swasta telah menjadi wacana Pemerintah sejak diberlakukannya Keppres No. 37 Tahun 1992. Dapat dikatakan bahwa Keppres ini memberikan tonggak iklim usaha yang kompetitif dalam sektor ketenagalistrikan. Melalui UU No. 20 Tahun 2002, Pemerintah kemudian meletakkan dasar-dasar restrukturisasi sektor ketenagalistrikan. Setidaknya, terdapat beberapa poin penting dalam UU No. 20 Tahun 2002, yakni: (1) mempertegas fungsi-fungsi Pemerintah dalam hal pengaturan dan pengusahaan sektor ketenagalistrikan dengan memangkas monopoli usaha PLN sebagai PKUK; (2) pemisahan usaha (unbundling system) penyediaan tenaga listrik yang meliputi pembangkitan, transmisi, distribusi, penjualan, agen Penjualan, pengelola pasar, dan pengelola sistem yang dilaksanakan secara terpisah oleh pelaku usaha yang berbeda; (3) restrukturisasi penyediaan tenaga listrik yang efisien dan transparan melalui kompetisi dalam iklim usaha yang sehat dengan memberikan perlakuan yang sama kepada semua pelaku usaha; dan (4) pembentukan Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (Bapetal) yang bertugas dalam mengatur dan mengawasi usaha penyediaan tenaga listrik dalam wilayah usaha yang menerapkan skema persaingan yang sehat dan wajar.
        UU No. 20 Tahun 2002 pada akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dalam Perkara No. 001-021-022/PUU-I/2003. Putusan ini merupakan land mark decision, karena pada pertama kalinya Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian undang-undang terhadap Pasal 33 UUD 1945. Terdapat beberapa hal menarik dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi mengenai konstitusionalitas privatisasi sektor ketenagalistrikan. Pertama, paradigma penguasaan negara atas cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak memberikan kewajiban kepada negara untuk memenuhi 3 (tiga) hal yang menjadi kepentingan masyarakat, yaitu: ketersediaan yang cukup, distribusi yang merata, dan terjangkaunya harga bagi orang banyak. Keduaketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, sepanjang kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang mengusai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketiga, sektor ketenagalistrikan harus tetap dikelola oleh negara melalui perusahaan negara yang didanai oleh pemerintah (negara), sedangkan perusahaan swasta nasional atau asing hanya ikut serta apabila diajak kerjasama oleh BUMN, baik dengan kemitraan, penyertaan saham, pinjaman modal dan lain-lain. Keempat, ketentuan Pasal  16 UU No. 20 Tahun 2002 yang memerintahkan sistem pemisahan usaha (unbundling system) dengan pelaku usaha yang berbeda akan semakin membuat terpuruk PLN yang telah memiliki izin usaha secara terintegrasi, serta akan bermuara kepada tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat komersial maupun non-komersial.
      Demi melaksanakan restrukturisasi sektor ketenagalistrikan yang terhambat, Pemerintah kembali mengundangkan undang-undang ketenagalistrikan yang baru lewat UU No. 30 Tahun 2009. Melalui undang-undang ini, Pemerintah berusaha untuk melakukan desentralisasi kewenangan dalam menetapkan kebijakan dan perencanaan di sektor ketenagalistrikan, penetapan perizinan usaha ketenagalistrikan, serta tarif dan harga jual tenaga listrik. Berbeda dengan konsep unbundling system dalam UU No. 20 Tahun 2002, PLN diberikan prioritas utama (first right use) dalam melakukan usaha penyediaan tenaga listrik yang telah terintegrasi, baik vertikal maupun horizontal. Sedangkan pada wilayah tertentu, dimana PLN tidak mampu melaksanakan sendiri, dapat diberikan kesempatan kepada BUMD, badan usaha, koperasi, atau swadaya masyarakat dalam jenis usaha pembangkitan, transmisi, distribusi, atau penjualan tenaga listrik. UU No. 30 Tahun 2009 pun mendapat tentangan dari beberapa kalangan. Namun pada akhirnya, melalui putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No. 149/PUU-VII/2009 menolak permohonan pembatalan UU No.30 Tahun 2009.
           
Peluang Besar Investasi Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
           Privatisasi usaha penyediaan tenaga listrik tidak lepas dari hakikat listrik sebagai komoditas. Menurut Prof. Bambang Brodjonegoro, listrik sebagai komoditas memberikan 3 (tiga) perspektif tentang tenaga listrik, yakni:[ix] (1) listrik sebagai pelayanan publik; (2) listrik sebagai infrastruktur; dan (3) listrik sebagai penerimaan negara. Sebagai pelayanan publik, listrik merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat, sehingga memberikan tanggung jawab kepada negara untuk memenuhi dan memberikan akses masyarakat terhadap listrik. Listrik sebagai infrastruktur memberikan pengertian bahwa permintaan terhadap listrik akan terus bertumbuh sejalan dengan pertumbuhan perekonomian negara. Sedangkan listrik sebagai penerimaan negara, berarti bahwa sektor ketenagalistrikan dapat menjadi sumber pendapatan negara, baik berupa pajak, PNBP, maupun laba BUMN/BUMD.
          Terlepas dari putusan Mahkamah Konsitusi yang menolak permohonan pembatalan UU No. 30 Tahun 2009, undang-undang ini jelas membuka peluang yang sangat besar bagi pengusaha untuk ikut serta dalam usaha penyediaan tenaga listrik. Apalagi jika dilihat dari potensi pertumbuhan permintaan tenaga listrik nasional. Dalam Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI),  proyeksi kebutuhan listrik di Indonesia tahun 2025 adalah sebesar 90.000 MW dalam kondisi beban puncak (peak time).[x] Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2011-2020 yang telah disahkan oleh Menteri ESDM pada tanggal 30 Desember 2011, Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan pemerataan pasokan tenaga listrik dengan menaikkan rasio elektrifikasi nasional menjadi sebesar 94,4% pada tahun 2020.[xi] Target tersebut tentunya memerlukan investasi yang besar dalam membangun pembangkit tenaga listrik yang baru serta membangun jaringan transmisi, terutama di daerah yang kekurangan pasokan listrik.
            Pada prakteknya, keterlibatan pelaku usaha dalam usaha penyediaan tenaga listrik berbentuk pola kemitraan yang dituangkan skema perjanjian jual beli tenaga listrik (Power Purchase Agreement), perjanjian sewa jaringan  transmisi, atau perjanjian sewa jaringan distribusi. Pada era 1990-1997, terdapat 25 (dua puluh lima) proyek usaha penyediaan tenaga listrik dengan pola single buyer antara swasta dan PLN. Sementara, usaha penyediaan tenaga listrik yang terintegrasi secara vertikal diluar grid PLN telah ada di beberapa lokasi, misalnya PT Cikarang Listrisindo yang mengelola kebutuhan listrik di kawasan industri Jababeka.
         Meskipun peluang usaha terdapat di setiap bidang, baik usaha pembangkit, transmisi ataupun distribusi, namun pada kenyataannya, pelaku usaha lebih tertarik untuk berinvestasi di usaha pembangkit tenaga listrik. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, total penjualan tenaga listrik PLN dari IPP dan captive power[xii] adalah sekitar 169.786 GWh.[xiii] Dari sisi finansial, usaha pembangkit listrik dapat dikatakan lebih menguntungkan dibanding usaha transmisi dan distribusi. Internal rate of return atau tingkat pengembalian modal usaha pembangkit listrik adalah sekitar 15-22%, lebih menjanjikan dibanding usaha transmisi dan distribusi yang berkisar antara 5-6%.[xiv]
           Selain itu, Pemerintah juga tengah mengejar target program diversifikasi energi nasional, khususnya di bidang pembangkit listrik. Sehingga pengembangan pembangkit energi baru dan terbarukan diberikan insentif yang lebih tinggi. Harga jual beli tenaga listrik dari pembangkit listrik tenaga energi baru dan terbarukan juga lebih menjanjikan karena bersifat fixed rate, serta terbilang tinggi. Harga penjualan tenaga listrik dari pembangkit listrik minihidro dan mikrohidro berkisar antara 656-1.004 Rp/Kwh[xv], biomassa dan biogas 975-1.398 Rp/KWh[xvi], sedangkan untuk pembangkit panas bumi berkisar antara 10-18,5 sen/KWh[xvii].

Privatisasi Usaha Penyediaan Tenaga Listrik: Benarkah Solusi yang Efektif?
           Pertanyaan besar yang muncul adalah apakah privatisasi usaha penyediaan tenaga listrik merupakan solusi yang dapat menjawab permasalahan ketenagalistrikan nasional. Kalau dilihat dari perspektif investasi, sebenarnya peluang pasar usaha penyediaan tenaga listrik yang besar tersebut tidak serta merta dapat diserap oleh pelaku usaha. Setidaknya terdapat beberapa kendala yang membuat pelaku usaha berpikir dua kali untuk berkecimpung di usaha penyediaan tenaga listrik. Usaha penyediaan tenaga listrik bisa dikatakan sebagai sektor usaha baru bagi pelaku usaha dalam negeri, sehingga kebanyakan pelaku usaha belum memiliki pengalaman yang cukup, khususnya dalam hal mitigasi resiko. Hanya beberapa pelaku usaha, khususnya di bidang pembangkit listrik yang telah berpengalaman selama lebih dari sepuluh tahun. Sehingga, masih patut untuk dipertanyakan realisasi proyek kedepannya.
          Alasan lain yang paling mendasar adalah usaha penyediaan tenaga listrik membutuhkan kemampuan finansial dan teknologi yang tinggi. Untuk pengembangan usaha pembangkit listrik, biaya yang harus dikeluarkan biasanya terdiri dari biaya konstruksi, biaya produksi, biaya pemeliharaan (maintenance), serta biaya lainnya, seperti pengurusan izin, pajak, PNBP, dan lain-lain. Investasi pembangkit listrik gasifikasi batubara[xviii] memerlukan biaya setidaknya 2.132 USD/KWh, sementara untuk pembangkit listrik batubara konvensional membutuhkan sekitar 1.250-1.520 USD/KWh.[xix] Pembangkit listrik panas bumi pun setali tiga uang. Untuk memproduksi 1 MW saja diperlukan investasi sekitar US$ 2 juta.[xx] Sedangkan persyaratan administratif untuk memperoleh izin usaha memerlukan dana US$ 10 juta sebagai dana jaminan pelaksanaan eksplorasi atau eksploitasi.[xxi] Belum lagi, biaya produksi pembangkit listrik panas bumi bersifat site spesific, dalam arti sangat dipengaruhi oleh ukuran proyek, ruang lingkup proyek, penjadwalan kegiatan proyek, nilai investasi, pendanaan proyek dan tingkat risiko proyeknya.
         Sedangkan untuk usaha jaringan transmisi dan distribusi, realisasinya belum belum terlihat. Usaha jaringan transmisi dan distribusi memerlukan biaya yang relatif lebih besar, karena memerlukan pembangunan infrastruktur yang lebih banyak, belum lagi masalah kompensasi lahan. Apalagi pada wilayah usaha yang terpencil, pelaku usaha akan berhadapan dengan resiko sewa transmisi yang tidak ekonomis. Hal inilah yang menyebabkan usaha penyediaan tenaga listrik
        Dari perspektif Pemerintah, dapat dikatakan bahwa privatisasi usaha penyediaan tenaga listrik merupakan pisau bermata dua. Privatisasi usaha penyediaan tenaga listrik tidak jarang berdampak negatif bagi Pemerintah. Pemerintah harus bercermin dari kasus sengketa kontrak jual beli tenaga listrik antara PLN dengan Joint Operating Body (JOB) Pertamina dan Karaha Bodas Corporation tahun 1997 yang berujung pada putusan Arbitrase Jenewa yang memutuskan Pertamina dan PLN membayar ganti rugi sebesar 261 juta USD.[xxii] Meskipun pada akhirnya kasus ini diselesaikan melalui renegosiasi kontrak, namun seharusnya kasus ini patut menjadi contoh bagi Pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam melakukan kerjasama usaha penyediaan tenaga listrik dengan pihak swasta.
         Dalam beberapa program pembangunan pembangkit listrik yang diwacanakan, kerjasama dengan pihak swasta pun menimbulkan beberapa masalah. Dalam program Perpres No. 71 Tahun 2006 atau yang dikenal dengan proyek percepatan pembangkit listrik batubara 10.000 MW (FTP-I), PLN harus melakukan renegosiasi 32 (tiga puluh dua) proyek pembangunan pembangkit listrik yang terkendala pembangunannya. Target penyelesaian pembangunan pembangkit listrik yang semula ditetapkan tanggal 31 Desember 2009 menjadi mundur menjadi tanggal 31 Desember 2014 melalui Perpres No. 59 Tahun 2009. Realisasi proyek pembangunan pembangkit listrik ini terhambat diakibatkan lemahnya kemampuan finansial dari para kontraktor, serta kemampuan mitigasi resiko yang minim. Sebagai konsekuensinya, Pemerintah melakukan renegosiasi dengan menaikkan harga pembelian tenaga listrik, sehingga beban tersebut akhirnya mesti ditanggung oleh konsumen.
            Program percepatan pembangkit listrik kembali diusung oleh Pemerintah dalam Perpres No. 4 Tahun 2010. Proyek-proyek yang diikutsertakan dalam proyek percepatan pembangkit listrik tahap II (FTP-II) ini terangkum dalam Permen ESDM No. 2 Tahun 2010 dengan total kapasitas pembangkit 9.522 MW. Dalam perjalanannya proyek-proyek tersebut akhirnya juga menemui beberapa permasalahan seperti kekurangan pasokan gas dan ketidaksiapan pengembangan panas bumi. Sehingga akhirnya Pemerintah melakukan penataan kembali proyek-proyek FTP-II dalam Permen No. 15 Tahun 2010 yang meliputi pembangkit listrik batubara 3.025 MW, panas bumi 4.870 MW, gas bumi 280 MW, gasifikasi batubara 64 MW, air 1.753 MW, dengan total kapasitas pembangkit 9.992 MW.
       Selain kedua proyek percepatan pembangkit diatas, Pemerintah dalam juga akan merealisasikan pembangunan pembangkit listrik batubara dengan total kapasitas 7.310 MW di mulut tambang daerah Sumatera sampai dengan tahun 2020, yang terdiri dari 6.510 MW akan dikembangkan oleh IPP dan 800 MW oleh PLN.[xxiii] Patut untuk dilihat kembali, apakah realisasi proyek tersebut berjalan sesuai dengan target, atau akan kembali terhambat seperti proyek-proyek sebelumnya.

PENUTUP
            Ditengah keterbatasan kemampuan PLN sekarang ini, secara teoritis, privatisasi usaha penyediaan tenaga listrik memang menjadi solusi agar usaha penyediaan tenaga listrik dapat memenuhi kebutuhan nasional. Namun, sejalan dengan amanat Mahkamah Konstitusi, privatisasi harus dimaknai bahwa usaha penyediaan tenaga listrik masih merupakan tanggung jawab negara, sehingga keterlibatan pihak swasta hanya sebagai mitra Pemerintah dalam menyediakan pasokan tenaga listrik yang handal dan secara merata. Jika dilihat dari pembahasan diatas, kesempatan privatisasi usaha penyediaan tenaga listrik ternyata belum secara efektif diserap oleh pelaku usaha. Keterbatasan kemampuan finansial dan teknologi, serta minimnya pengalaman menjadi faktor utama.
        Perlu disadari bahwa privatisasi usaha penyediaan tenaga listrik memang masih baru, sehingga realisasinya mungkin belum terlihat secara signifikan. Namun, bercermin dari kasus Karaha Bodas serta keterlambatan penyelesaian beberapa proyek percepatan pembangkit listrik, Pemerintah harus lebih berhati-hati agar jangan sampai privatisasi justru malah membebani keuangan negara. Proyek-proyek pengembangan swasta harus dikaji kembali sesuai tingkat resiko dan kemampuan finansial para kontraktor agar jangan sampai terjadi keterlambatan penyelesaian proyek yang justru menghambat rencana penyediaan listrik kedepannya. Selain itu, skema insentif harga jual beli tenaga listrik memang tetao diperlukan untuk meningkatkan partisipasi pelaku usaha, namun harus dilihat dengan tingkat keekonomian yang efisien agar tarif dasar listrik tetap dapat terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.



Catatan:    
         [i] PT PLN (Persero), Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2011-2020, sebagaimana disahkan dalam Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 3314 K/21/MEM/2011 tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2011-2020, hal 25.              
                [ii] Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral, Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia 2011 (Jakarta: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2011), hal 89.               
                [iii] Ibid, hal 90.               
                [iv] Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral, op.cit, hal 86-87. 
[v] Effendi Siradjuddin, Memerangi Sindrom Negara Gagal: Transformasi Indonesia 2020 Mencapai Negara Entrepeneur Maju (Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2009), hal 391.               
                [vi] Rasio elektrifikasi adalah perbandingan jumlah rumah tangga yang mengkonsumsi listrik dengan total jumlah rumah tangga di seluruh Indonesia. 
             [vii] PT PLN (Persero), op.cit, hal 23. 
[viii] Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, Buku Putih Penelitian, Pengembangan  dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Sumber Energi Baru dan Terbarukan untuk Mendukung Keamanan Ketersediaan Energi Tahun 2005 (Jakarta: Kementerian Negara Riset dan Teknologi, 2006), hal 2.                               
                [ix] Prof. Bambang Brodjonegoro dalam keterangannya sebagai Ahli dari Pemerintah dalam sidang perkara judicial review UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, dapat dilihat dalam: Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, dibacakan tanggal 15 Desember 2004, B.N. RI Nomor 102 Tahun 2004, hal 71-75.               
        [x] Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011), hal 49.               
                 [xi] Ibid, hal 58.               
                 [xii] Captive power adalah kelebihan tenaga listrik yang dibeli oleh PLN melalui kontrak penjualan tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.               
                 [xiii] Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral, op.cit, hal 88-89.               
               [xiv] Fabby Tumiwa, ”Listrik Swasta” dimuat dalam Mingguan Bisnis dan Investasi KONTAN No. 21HXVI, Edisi 20-26 Februari 2012, rubrik Analisis Ekonomi, hal 27.               
              [xv] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 4 Tahun 2012 tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero) dari Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan Skala Kecil dan Menengah Atau Kelebihan Tenaga Listrik, B.N. RI Tahun 2012 Nomor 128. 
                 [xvi] Ibid. 
               [xvii] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 22 Tahun 2012 tentang Penugasan kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk Melakukan Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi dan Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, B.N. RI Tahun 2012 Nomor 850.               
        [xviii] Gasifikasi batubara (Integrated Gasification Combined Cycle/IGCC) merupakan salah satu teknologi pengembangan pembangkit listrik batubara yang ramah lingkungan dengan mengubah batubara menjadi gas yang mudah terbakar. 
             [xix] Teknologi Gasifikasi Batubara: Tingginya Biaya Investasi Hambat Pengembangan Teknologi Gasifikasi Batubara, dimuat dalam http://industri.kontan.co.id/news/tingginya-biaya-investasi-hambat-pengembangan-teknologi-gasifikasi-batubara--1, diakses pada 6 Januari 2013. 
[xx] Rosihan Indrawanto, ”Konversi Energi versus Konversi Kawasan”.  Dimuat dalam Majalah Kehutanan Indonesia (edisi IV Tahun 2009), hal 32. 
[xxi] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Panas Bumi, Pasal 5 ayat 6 huruf d. 
                [xxii] Keppres Nomor 39 Tahun 1997 Dicabut, Listrik Swasta Dilanjutkan, http://www.bumn.go.id/22906/publikasi/berita/keppres-nomor-39-tahun1997-dicabut-listrik-swasta-dilanjutk/, diakses pada 6 Januari 2013.               
                [xxiii] PT PLN (Persero), op.cit, hal 64.

PDRI: PENGGALAN SEJARAH KEMERDEKAAN YANG TERLUPAKAN

"Sejarah merupakan representasi penguasa untuk menafsirkan masa lalu, menguasasi masa kini dan membentuk masa depan"
Pendahuluan
Pada tanggal 19 Desember lalu, masyarakat Indonesia memperingati Hari Bela Negara. Suatu hari yang bersejarah dimana pada periode 1948-1949, ditengah gempuran agresi militer Belanda yang kedua, para pahlawan bangsa mempertaruhkan jiwa raganya demi menjaga keutuhan Negara Republik Indonesia melalui pendeklarasian Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Sayangnya tidak banyak yang mengetahui sepak terjang kabinet PDRI yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara. Mata rantai sejarah perjuangan kemerdekaan ini seakan luntur dari ingatan masyarakat. Padahal, PDRI memainkan peran sentral dalam menjaga keutuhan kedaulatan Negara Republik Indonesia pada periode sejarah yang penting tersebut.
Tulisan ini berupaya menyegarkan kembali ingatan masyarakat, bahwa terdapat sekelompok pahlawan bangsa yang dengan inisiatif yang sangat tinggi, berjuang mati-matian tanpa mengenal pamrih. Diharapkan masyarakat dalam memaknai arti penting Hari Bela Negara sebagai wujud patriotisme, bahwa ditengah keterbatasan dan tekanan yang sangat besar, masih terdapat cahaya harapan yang mampu membawa bangsa ini keluar dari masa sulit, sehingga mampu tegak dan berdaulat sampai saat ini.

Sejarah Terbentuknya PDRI dan Perannya dalam Proses Kemerdekaan Indonesia
Periode tahun 1948-1949 merupakan periode vital dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Pada periode ini, terjadi serangkaian peristiwa penting yang menjadi tonggak pengakuan kedaulatan Republik Indonesia. Situasi nasional saat itu sedang mencekam akibat tindakan agresi militer Belanda pada 19 Desember 1948 dan disusul dengan ditawannya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta serta beberapa tokoh nasional lainnya. Demi mengisi kekosongan pemerintahan dan untuk melawan propaganda Pemerintah Belanda, Menteri Kemakmuran saat itu, Sjafruddin Prawiranegara, bersama Teuku Mohammad Hassan kemudian berinisiatif mendeklarasikan terbentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia tanggal 22 Desember 1948.
Beberapa sumber sejarah mengisahkan bahwa sebenarnya Moh. Hatta sudah jauh-jauh hari menyadari bahwa kemungkinan agresi militer Belanda kembali, sehingga menempatkan Sjafruddin untuk ”berjaga” di Bukittinggi. Sesaat sebelum ditawan, Presiden dan Wakil Presiden secara kilat kemudian memberikan mandat penuh kepada Sjafruddin untuk mengambil-alih kewenangan pemerintah pusat serta membentuk sebuah kabinet darurat, seandainya agresi militer Belanda berhasil menguasasi Yogyakarta, ibukota saat itu. Selain itu, mandat tersebut juga diberikan kepada LN Palar, Dr. Sudarsono dan AA Maramis yang sedang berada di India, seandainya Sjafruddin gagal dalam mendeklarasikan pemerintahan darurat.
PDRI merupakan proses panjang dalam mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Ketika Belanda berhasil menguasai Yogyakarta, Sjafruddin Prawiranegara bersama tokoh lainnya kemudian berunding untuk merencanakan pembentukan kabinet PDRI di Bukittinggi. Setelah mempertimbangkan kemungkinan agresi ke Bukittinggi, perundingan akhirnya berpindah ke Halaban. Beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa di daerah perkebunan teh Sumatera Barat inilah kabinet PDRI dibentuk.
Berbekal sarana dan prasarana yang sangat minim serta serangan yang gencar dari pihak Belanda, Sjarifuddin dan anggota kabinet PDRI lainnya berpindah tempat dari satu kota ke kota lain. Untuk menjaga hubungan luar negeri, kabinet PDRI melakukan konsolidasi dengan LN Palar, Dr. Sudarsono dan AA Maramis yang berada di India dalam rangka mencari dukungan dunia internasional. Setelah posisi Belanda semakin terjepit akibat tekanan internasional serta perlawanan sengit dari TNI, Belanda akhirnya dipaksa untuk mengadakan suatu perjanjian yang dikenal dengan nama Perjanjian Roem-Roijen. Perjuangan PDRI akhirnya usai ketika tanggal 14 Juli 1949, Sjafruddin dengan sukarela menyerahkan tampuk otoritas pemerintahan kembali kepada Soekarno-Hatta.

PDRI yang Mulai Dilupakan
Sebenarnya, sulit untuk dibayangkan bagaimana jadinya nasib bangsa ini apabila PDRI tidak terbentuk. Perjuangan kabinet PDRI selama 207 hari sepatutnya dicatat dengan tinta emas dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Dari perspektif ketatanegaraan, keadaan darurat negara atau staatsnoodrecht, memungkinkan penguasa untuk bertindak diluar konstitusi semata-mata untuk kepentingan negara. Dalam hal ini, pembentukan pemerintahan darurat sebagai wujud pengambilalihan otoritas pemerintahan merupakan hal yang sangat tepat ditengah kevakuman pemerintahan saat itu.

Rumah yang menjadi saksi perjuangan PDRI di Nagari Bidar Alam, Sumatera Barat

Dari perspektif diplomasi, pembentukan PDRI dapat digunakan sebagai ”bargaining position” dalam strategi diplomasi di dunia internasional. Dalam Konvensi Montevideo, salah satu syarat eksistensi sebuah negara adalah pemerintahan yang berdaulat. Dengan dibentuknya PDRI, Republik Indonesia memiliki pemerintahan sementara yang berdaulat, sehingga dapat menggalang dukungan internasional. Dari perspektif persatuan dan kesatuan bangsa, pembentukan PDRI juga merupakan sebuah upaya strategis untuk mencegah disintegrasi bangsa saat itu. Pemerintah Belanda saat itu sangat gencar melaksanakan aksi propaganda dengan memberian informasi palsu bahwa pemerintahan Republik Indonesia sudah tidak ada. Selain itu, pembentukan PDRI juga sebagai suntikan semangat masyarakat dan upaya menggalang kekuatan yang saat itu sedang terpecah-pecah dalam upaya mengusir Belanda. Apalagi dengan adanya dukungan dari Jenderal Sudirman, pimpinan TNI saat itu.
Sayangnya, peran PDRI dalam periode sejarah saat itu perlahan-lahan semakin dilupakan. Dalam perkembangannya, terasa ada upaya untuk mereduksi peran PDRI dalam sejarah kemerdekaan. Pada masa itu, sempat timbul ketegangan karena perundingan Roem-Roijen dilaksanakan tanpa koordinasi lebih dulu dengan PDRI yang memegang otoritas pemerintahan yang sah. Namun, demi menghindari konflik, akhirnya Sjafruddin menyetujui hasil perundingan tersebut dan menyerahkan kepemimpinan kembali kepada Soekarno-Hatta. Pidato Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1949 yang berkaitan dengan peristiwa 19 Desember 1948 ternyata juga tidak menyinggung satu kata pun tentang PDRI.
Sejarah merupakan representasi penguasa untuk menafsirkan masa lalu, menguasasi masa kini dan membentuk masa depan. Pereduksian peran PDRI pada masa Orde Lama dan Orde Baru dapat dikatakan sebagai sebuah upaya sistematis dalam mendiskreditkan peran Sjafruddin dalam proses kemerdekaan bangsa. Sebagian sejarawan bahkan berpendapat lebih progresif bahwa pereduksian peran PDRI bukan hanya sebagai upaya dalam mendisreditkan peran Sjafruddin, namun peran masyarakat Sumatera Barat secara keseluruhan. Hal ini berkaitan erat dengan timbulnya konflik Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada periode tahun 1950-an yang berpusat di Sumatera Barat. Sjafruddin dan beberapa tokoh PRRI lainnya seperti Kolonel Dahlan Djambek, Asaat dan Sumitro Djojohadikusumo dianggap sebagai pemberontak yang berupaya mengkudeta pemerintahan saat itu.
Terbitnya Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2006 yang menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara merupakan salah satu langkah visioner dalam memulihkan kembali peran PDRI dan Sjafruddin. Terlepas dari pro dan kontra penetapan tanggal tersebut, karena tanggal 19 Desember merupakan tanggal agresi militer Belanda bukan pembentukan PDRI yang pada 22 Desember, penetapan Hari Bela Negara diyakini merupakan wujud komitmen Pemerintah dalam mengakui, menghormati dan menempatkan secara proporsional eksistensi PDRI dan tokoh-tokohnya dalam tinta emas sejarah kemerdekaan Republik Indonesia.

Memaknai PDRI Sebagai Sebuah Proses Pembelajaran Sejarah
Tidak dapat disangkal bahwa PDRI memainkan peran sentral dalam upaya mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia yang pada saat itu dalam posisi diujung tanduk. Sejarawan Prof. Sartono Kartodirdjo berpendapat bahwa, eksistensi PDRI adalah soal ”to be or not to be Republic”. Tanpa eksistensi PDRI, Republik Indonesia yang telah diproklamirkan dengan susah payah beberapa tahun sebelumnya akan nyaris tenggelam untuk selama-lamanya. Namun sayangnya, saat ini masih banyak kalangan masyarakat yang belum mengetahui peran PDRI. Peringatan seremonial Hari Bela Negara pun juga kalah jauh dibanding dengan peringatan hari kepahlawanan nasional lainnya, seperti Hari Pahlawan tanggal 10 November dan Serangan Umum tanggal 1 Maret.
Sejarawan Yusri Ghani Abdullah, mengatakan bahwa ”sejarah ingin agar kita tidak mengulangi kesalahan pada masa silam dan mengambil pelajaran guna membangun masa kini”. Bagi generasi saat ini, memaknai PDRI berarti memahami secara menyeluruh sejarah kemerdekaan Indonesia, serta mengambil pelajaran dari perjuangan PDRI dalam mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia ditengah ketidakberdayaan saat itu. Banyak pesan sejarah penting yang bisa diambil dari perjuangan 207 hari PDRI. Pertama, dari perspektif rasionalis-intelektual, penting untuk diingat bahwa ternyata persoalan bangsa yang sangat vital tersebut diputuskan dalam sebuah desa kecil bernama Halaban, daerah selatan Kota Payakumbuh. Dalam pertemuan tersebut, terjadi dialog antara Sjafruddin dan TM Hassan, dimana keduanya menolak untuk dijadikan ketua. Setelah dilakukan musyawarah, akhirnya Sjafruddin terpilih sebagai Ketua PDRI.
Kedua, dari perspektif patriotisme, ditengah minimnya sarana dan prasarana, serta ancaman serangan militer yang tidak henti dari Belanda, pimpinan PDRI bergerilya dari satu kota ke kota lain, kadang bersembunyi di hutan, demi mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk mendukung republik sambil melakukan konsolidasi untuk mencari dukungan dunia internasional. Sebuah tindakan heroik yang patut untuk disejajarkan dengan kisah kepahlawanan lainnya. Ketiga, dari perspektif moralitas kepemimpinan. Awalnya sempat timbul ketegangan antara pimpinan PDRI dan Soekarno-Hatta mengenai perjanjian Roem-Roijen. Pimpinan PDRI berpendapat bahwa PDRI sebagai pemerintahan yang sah harusnya dilibatkan dalam proses perundingan. Namun, demi meredam konflik yang berkepanjanga, akhirnya Sjafruddin menerima hasil perjanjian. Terlebih lagi pada episode akhir perjuangan PDRI, Sajruddin dengan sukarela menyerahkan otoritas pemerintahan kembali kepada Soekarno-Hatta. Suatu tindakan yang mungkin mustahil untuk kita lihat saat ini.