Jumat, 30 Desember 2011

PERBANDINGAN GAYA PERUNDANG-UNDANGAN (STYLE OF LEGISLATION) PADA SISTEM HUKUM CIVIL LAW DAN COMMON LAW

PENDAHULUAN
Konstitusi di tiap negara memberikan pengaturan mengenai peraturan perundang-undangannya tersendiri. Pengaturan tersebut menciptakan gaya peraturan perundang-undangan (style of legislation) yang menjadi karakteristik sistem hukum negara masing-masing. Perbedaan style of legislation tiap negara dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang paling utama adalah sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara. Terdapat dua sistem hukum besar yang dianut secara masif oleh negara-negara di dunia, yakni Sistem Hukum Civil law dan Sistem Hukum Common law. Kedua sistem hukum tersebut memiliki karakteristik yang sangat berpengaruh dalam pembentukan hukum suatu negara.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka tulisan ini akan membahas mengenai konsepsi style of legislation dalam tataran ilmu perundang-undangan, terutama dalam hubungannya dengan sistem hukum yang dianut, baik common law maupun civil law. Selain itu, akan dibahas pula mengenai perkembangan style of legislation di Indonesia, sebagai salah satu negara yang menganut sistem hukum civil law.

PEMBAHASAN
Pengertian Style of legislation
Kajian mengenai gaya peraturan perundang-undangan (style of legislation) secara umum sejauh ini belum mendapatkan perhatian yang serius, tidak terkecuali di Indonesia. Pertama, paradigma yang ada menjadikan style of legislation bukan menjadi unsur yang utama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan suatu negara. Kedua, kajian mengenai style of legislation bersifat subyektif, karena berkaitan erat dengan karakteristik perundang-undangan masing-masing negara, sehingga sulit untuk membahasnya secara obyektif dalam tataran akademis. Ketiga, kajian mengenai perundang-undangan sendiri dalam konsep ilmu hukum belum mendapatkan perhatian yang serius.[i] Ketiga hal tersebut menjadi penyebab utama kurangnya pemahaman ahli hukum, terutama para pembentuk undang-undang tentang style of legislation. Padahal, perkembangan kajian mengenai perundang-undangan sangat penting bagi negara yang menganut sistem hukum civil law, dimana prinsip ”statutory law” sangat berperan.
Apa yang sebenarnya dimaksud dengan style of legislation? Kata ”style” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diartikan sebagai corak; gaya; gaya bahasa.[ii] Dengan demikian, style of legislation dapat diartikan sebagai gaya peraturan perundang-undangan yang memiliki karakteristik tersendiri. Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi style of legislation suatu negara, diantaranya adalah bahasa yang digunakan, budaya masyarakat, kondisi hukum dan politik suatu negara, serta sistem hukum yang digunakan. Jika dilihat dalam perspektif pembentukan peraturan perundang-undangan, style of legislation memiliki beberapa unsur utama, yakni: (1) susunan kata (penggunaan bahasa, definisi, terminologi, dll); (2) struktur peraturan perundang-undangan (bagian-bagian dalam peraturan perundang-undangan),  suprastruktur (hubungannya dengan peraturan perundang-undangan yang lain); dan (3) identitas legal-kultur (sistem hukum yang dipakai dan pengaruhnya dalam negara tersebut).[iii]
1.      Faktor Bahasa
            Faktor bahasa segi memiliki peran yang sangat vital dalam pembentukan style of legislation suatu negara. Bahasa hukum bukan bahasa yang dipakai pada umumnya. Bahasa hukum mengkonversikan suatu norma kedalam ketentuan tertulis yang mencerminkan kejernihan pengertian, kelugasan, kebakuan, dan keserasian. Ketika merancang suatu peraturan, fokus utama terletak pada ketelitian pemakaian kosakata dan gramatikal bahasa yang memungkinkan terciptanya komunikasi secara tertulis untuk mencegah ambiguitas penafsiran suatu norma hukum. Bates menyatakan bahwa kosakata pada hakekatnya memiliki keterbatasan dalam menyampaikan suatu norma hukum. Oleh karena itu, untuk mencegah ketentuan yang bersifat kabur dan penafsiran yang ambigu, maka perlu memasukkan tabel dan grafik untuk menyampaikan maksud dari ketentuan perundang-undangan secara lebih terperinci.[iv]
            Perumusan susunan kata dalam peraturan perundang-undangan akan menjadi semakin rumit, apabila disusun dalam lebih dari satu bahasa. European Community (EU) menjadi salah satu contoh nyata, meskipun EU telah membuat EU Joint Practical Guide yang menawarkan panduan spesifik mengenai masalah susunan kata. Masalah bukan hanya pada penerjemahan susunan kata ke bahasa yang lain, namun lebih kepada perbedaan dan karakteristik konsepsi hukum yang dipakai.[v] Sebagai contoh, konsep ”faute” dalam hukum Perancis tidak memiliki padanan yang serupa dalam hukum negara yang lainnya.

2.      Struktur dan Akses terhadap Perundang-undangan
            Struktur menjadi hal yang sangat penting dalam perancangan suatu peraturan perundang-undangan. Seuatu peraturan perundang-undangan yang baik harus memuat struktur yang jelas, mulai dari judul hingga bagian penutup. Strukturakan menjadi pedoman bagi masyarakat umum dalam melihat ketentuan dalam bagian tertentu dalam suatu peraturan. Selain itu, dalam kaitannya dengan peraturan yang lain, struktur dapat mencegah adanya pengaturan yang berulang. Dalam mengidentifikasi suatu hal, biasanya dipakai singkatan dari namanya, misalnya Dewan Perwakilan Rakyat, disingkat menjadi DPR. Bates, mengemukakan bahwa struktur perundang-undangan dapat lebih efektif apabila dalam menunjuk suatu hal tertentu dipakai kode alfabetik atau angka.[vi]
          Akses kepada suatu peraturan perundang-undangan tidak hanya merujuk kepada ketersediaan dan banyaknya suatu teks peraturan perundang-undangan yang dapat diakses. Masalah pemberitahunan suatu teks peraturan perundang-undangan, baik secara formal maupun informal (pengundangan, pengumuman, hubungan masyarakat, pemberitaan media, dll).[vii] Hal ini menjadi sangat penting dalam mengukur tingkat kepercayaan suatu sistem hukum dan politik suatu negara bekerja, dimana masyarakat dianggap tahu hukum. Dalam sistem hukum civil law dikenal adagium ”ignorantia iuris neminem excusat” (ketidaktahuan seseorang terhadap undang-undang tidak dapat dijadikan alasan pemaaf).
           Kata pengundangan dalam bahasa Inggris disebut juga sebagai ”promulgation”, yang berarti:[viii] “the order given to cause a law to be executed, and to make it public; it differs from publication” (perintah yang diberikan agar suatu undang-undang diberlakukan dan diumumkan). Sedangkan dalam bahasa Belanda disebut sebagai “afkondiging”, yang berarti:[ix] “ter openbare bekendmaking, voor onderscheidene overheidschandelingen voorgeschreven en wel veeal op straffe van nietigheid” (pemberitahuan kepada umum, ditetapkan terhadap tindakan-tindakan pemerintah tertentu, sebagian dengan sanksi pidana). Pengundangan berbeda dengan pengumuman. Dalam bahasa Inggris, pengumuman disebut sebagai “publication”, yang berarti:[x] “to make public; to make know to people in general; to bring before public” (mengumumkan kepada khalayak ramai; membawa kepada masyarakat). sementara dalam bahasa Belanda disebut “publicatie” yang berarti:[xi] “bekendmaking, openbaarmaking” (pengumuman membuat sesuatu terbuka untuk umum atau diketahui oleh umum).

3.      Identitas Legal-Kultur
            Faktor lain yang mempengaruhi karakteristik style of legislation adalah perbedaan identitas legal-kultur suatu negara. Identitas legal-kultur suatu negara dipengaruhi oleh pola ketentuan dalam konstitusi, sifat sistem hukum, serta sistem hukum yang dianut.[xii] Konstitusi yang mengatur ketentuan-ketentuan prinsipil dalam penyelenggaraan negara juga mengatur tentang kebijakan perundang-undangan. Hal inilah yang menyebabkan tiap negara memiliki karakteristiknya tersendiri. Dalam hal perancangan suatu peraturan perundang-undangan, van Poelje menyatakan bahwa pemisahan perancangan teks peraturan dalam suatu departemen khusus, menyebabkan peraturan tidak saling berkaitan satu dengan yang lain.[xiii]

Style of legislation dalam Kaitannya dengan Sistem Hukum yang Dianut
            Perbedaan sistem hukum yang dianut juga menjadi faktor yang signifikan dalam karakteristik style of legislation suatu negara. Terdapat dua sistem hukum besar yang dianut secara masif yang mempengaruhi sistem hukum negara-negara di dunia, yakni Sistem Hukum Civil law dan Sistem Hukum Common law. Bagian ini akan memberikan perbandingan antara kedua sistem hukum tersebut dengan mengaitkan pengaruhnya pada style of legislation suatu negara.
                Konsepsi Civil law berangkat pada kodifikasi Hukum Romawi yang dikenal sebagai Corpus Juris Civilis, yang kemudian berkembang di negara-negara Eropa Kontinental. Hukum Romawi menyatukan hukum perdata dan hukum dagang. Unifikasi hukum tersebut merupakan salah satu ciri Sistem Hukum Romawi, sehingga semua hukum nasional yang termasuk dalam sistem keluarga hukum tersebut selalu mempunyai unifikasi yang sama.[xiv]
  Sistem Hukum Civil law menekankan pada positivisme hukum. Titik tolak pembentukan norma hukum adalah dengan pembuatannya secara secara tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini disebut juga sebagai ”statutory law”. Konsepsi ini menjamin asas kepastian hukum dalam penyelenggaraannya Norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dibuat dalam bentuk abstraksi yang kemudian diaplikasikan secara deduktif utnuk menyelesaikan berbagai permasalahan di masyarakat.[xv]. Selain itu, hukum berlaku secara sah apabila dibuat oleh penguasa yang berwenang. Jika dikaitkan dengan teori ”separation of powers” dari Montesquieu, kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan secara rigid berada ditangan badan legislatif, sementara badan yudikatif berwenang dalam mengaplikasikan peraturan perundang-undangan dalam lingkup peradilan.
             Dalam sistem civil law juga dikenal adanya pertingkatan peraturan perundang-undangan. Konsepsi ini dikemukakan oleh Hans Nawiasky yang mengaplikasikan lebih lanjut teori Hans Kelsen tentang pertingkatan norma hukum. Nawiasky berpendapat bahwa suatu peraturan hanya dapat berlaku apabila bersumber dari peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya, sampai pada suatu norma hukum yang tertinggi yang dinamakan sebagai staatsfundamentalnorm.[xvi]
          Konsepsi yang berbeda dianut oleh Sistem Hukum Common law. Secara historis, sistem common law berkembang di Inggris pada abad ke-11 dan meluas hingga seluruh negara-negara persemakmuran Inggris, termasuk Amerika Serikat. Sistem common law menekankan pada hukum tidak tertulis berupa yurisprudensi hakim guna mencapai rasa keadilan di masyarakat, meskipun sistem common law juga mempunyai peraturan perundang-undangan dalam bentuk tertulis. Dalam bidang yudisial, hakim tidak hanya sebagai penafsir peraturan dalam bentuk tertulis semata, namun juga berwenang dalam menemukan preseden-preseden hukum yang baru. Dengan demikian, titik tolak pembentukan hukum bukan mengambil dari abstraksi norma hukum dalam peraturan perundang-undangan, namun pada prakteknya di masyarakat, yang disebut juga sebagai “case law” atau “judge-made law”. Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa preseden merupakan sejumlah besar jus non scriptum yang terdiri dari hasil-hasil keputusan pengadilan. Hasil-hasil ini dihimpun ke dalam sejumlah sangat besar law reports yang sudah dimulai sejak akhir abad ketigabelas.[xvii]
          Dalam menerapkan hukum, hakim dalam sistem common law menganalisis putusan hakim sebelumnya, mencari prinsip-prinsip dasar dan kemudian menerapkannya pada kasus tertentu, sehingga tidak terpaku pada peraturan perundang-undangan semata. Terkait dengan hal ini, terdapat doktrin ”stare of decisis”. doktrin ini mempunyai dua komponen utama, yakni:[xviii] (1) komponen vertikal, dalam arti bahwa hakim dalam peradilan lebih rendah terikat pada kewajiban untuk mendasarkan putusannya pada putusan-putusan hakim di tingkat yang lebih tinggi, meskipun yurisprudensi tersebut belum teruji kebenarannya; dan (2) komponen horizontal, dalam arti bahwa hakim tidak dapat mengenyampingkan pada putusan-putusan sebelumnya pada tingkat yang sama dalam kasus serupa, meskipun hakim juga memiliki kewenangan dalam membuat preseden hukum baru. Preseden hukum pada putusan sebelumnya tetap berlaku sampai diputus ulang oleh peradilan pada tingkat yang lebih tinggi..
            Pada saat ini, kedua sistem hukum tersebut diatas tidak selalu diaplikasikan secara rigid dalam sistem hukum suatu negara. Negara yang menganut sistem hukum civil law, dalam prakteknya juga menganut beberapa konsep sistem hukum common law, begitu pun sebaliknya. Meskipun sistem common law menganut ”judge-made law”, namun pada kenyatannya peraturan perundang-undangan juga memiliki peran yang signifikan. Bahkan dikatakan bahwa:[xix]
”legislation or law-making by the formal declaration in statutory form of rules by a competent authority is the most powerful and yet the latest of the law-making instruments. Statute law is today the principle source of law and is a very convenient method of making law.”
Selain itu, peraturan perundang-undangan dalam sistem civil law juga tidak lagi menekankan pada aspek kodifikasi yang mengkristalisasi norma-norma hukum yang hidup di masyarakat, namun lebih mengarah kepada modifikasi dengan mengedepankan perubahan gejala-gejala sosial dalam masyarakat. Walaupun demikian, perbedaan karakteristik antara kedua sistem hukum tersebut jelas tidak dapat dikesampingkan dalam mempengaruhi identitas legal-kultur suatu negara. Inggris, sebagai contoh negara yang menganut sistem common law, norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dibuat untuk mencegah kekacauan yang terjadi dalam penerapan ”case law”.[xx] Hakim dapat menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai pedoman untuk menyelesaikan kasus yang secara kontekstual diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan Jerman, yang menganut sistem civil law, ketelitian pembentukan peraturan perundang-undangan digerakkan oleh keinginan untuk membuat suatu tata perundang-undangan yang bertalian satu sama lain.[xxi] Dengan demikian peraturan perundang-undangan dapat diaplikasikan secara universal dalam perkara yang sama dan mencegah pengulangan pengaturan.

Perkembangan Style of legislation di Indonesia
Di Indonesia sendiri, kajian mengenai style of legislation, terutama dalam perancangan suatu peraturan perundang-undangan belum mendapatkan perhatian serius. Sistem hukum Indonesia saat ini masih tidak dapat dilepaskan dari pengaruh sistem hukum Belanda yang menganut sistem civil law. Hal ini dibuktikan dengan adanya masih terdapat kodifikasi peraturan. Sebagai contoh adalah peraturan-peraturan mengenai Hukum Pidana yang merupakan bidang hukum publik dikodifikasi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, peraturan-peraturan mengenai hubungan perorangan yang merupakan hukum privat dikodifikasi dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan masih banyak lagi peraturan yang dikodifikasi dalam kitab undang-undang kodifikasi. Padahal pembentukan sistem hukum nasional yang sesuai dengan Cita Hukum Nasional (rechtsidee) yang selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara merupakan hal yang sangat mendesak.
           Style of legislation di Indonesia masih sangar dipengaruhi oleh sistem Civil law. Pembentukan hukum ditekankan pada aspek positivisme hukum. Norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dibuat dalam bentuk abstraksi yang kemudian diaplikasikan secara deduktif utnuk menyelesaikan berbagai permasalahan di masyarakat. Dengan demikian, hakim hanya berperan dalam menjalankan dan menafsirkan undang-undang. Hakim di pengadilan Indonesia harus berpegangan kepada undang-undang dalam memutus suatu perkara selama masalah tersebut diatur di dalam undang-undang. Hakim baru bisa menemukan hukum sendiri apabila permasalahan yang ia tangani tidak diatur di dalam undang-undang. Hal ini berbeda dengan hakim di negara yang  menganut sistem Common law, dimana pembentukan hukum terletak pada preseden hakim. Oleh karena itu, hakim memiliki peran yang sangat vital dalam pembentukan norma hukum, yang mana hakim tersebut diberi kebebasan untuk menciptakan hukum sendiri, dan undang-undang hanya digunakan sebagai pelengkap saja.
            Teori pertingkatan norma (stuffentheorie) dari Hans Kelsen dan teori pertingkatan norma hukum (die theorie vom stufenordnung der rechtsnormen) dari Hans Nawiasky memberikan pengaruh yang signifikan dalam pembentukan tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.[xxii] Dalam sistem hukum nasional, Pancasila merupakan ”staatsfundamentalnorm” yang menjadi dasar dari segala hukum yang berlaku di Indonesia. Dibawahnya terdapat Ketetapan MPR serta hukum tidak tertulis yang disebut sebagai Konvensi Ketatanegaraan sebagai ”staatsgrundgesetz”; Undang-Undang (formell gesetz); serta secara berturut-turut mulai dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, serta peraturan otonom lainnya sebagai ”verordnung” dan ”autonome satzung”
        Karakteristik style of legislation di Indonesia juga dapat dilihat dari perspektif fungsi peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Penjelasan Umum UUD 1945 alinea ke IV, disebutkan bahwa:
”maka telah cukup jikalau Undang-Undang Dasar hanya emmuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara negara untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial. Terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada Undang-Undang yang lebih mudah caranya membuat, mengubah, dan mencabut.”
Ketentuan tersebut memberikan pemahaman bahwa pengaturan lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam konstitusi, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat ditetapkan lewat undang-undang, karena lebih fleksibel sifatnya. Pengaturan tersebut dapat berupa pengaturan organisasi, tugas dan susunan lembaga negara yang disebutkan dalam UUD Tahun 1945; atau tata hubungan antara negara dan warga negara dan antara warga negara timbal balik.[xxiii] Selain itu, sistem hukum di Indonesia juga menganut asas ”law as a tool of social enggineering”. Dalam sistem common law, asas tersebut memberikan pemahaman bahwa yurisprudensi hakim bertujuan sebagai alat rekayasa sosial dimana dapat diterapkan dalam mengatur perubahan-perubahan social yang terjadi dalam masyarakat. asas tersebut kemudian diaplikasikan dalam konteks undang-undang.
            Dari perspektif materi muatan, para ahli berpendapat bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan dalam arti ”formell gezets”, tidak dapat ditentukan lingkup materinya, mengingat undang-undang merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat, sedangkan kedaulatan itu sendiri bersifat mutlak tidak tergantung pada siapapun.[xxiv] Pendapat berbeda dianut oleh Prof. Hamid Attamimi. Menurut Prof. Hamid, peraturan perundang-undangan di Indonesia memiliki karakteristik tersendiri. Hal ini karena, selain dibentuk oleh lembaga yang berbeda, masing-masing peraturan perundang-undangan juga memiliki fungsi sekaligus materi muatan yang berbeda sesuai dengan tingkatannya. Sehingga dalam hierarki perundang-undangan memiliki hubungan yang fungsional satu dengan yang lainnya. Dalam menemukan materi muatan undang-undang, terdapat tiga pedoman yang dipakai, yakni: (1) ketentuan dalam Batang Tubuh UUD Tahun 1945; (2) berdasarkan wawasan negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat); dan (berdasarkan wawasan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi).[xxv]

PENUTUP
            Kajian mengenai style of legislation secara umum memang belum mendapat perhatian yang serius dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Style of legislation memiliki beberapa unsur utama, yakni: (1) susunan kata (penggunaan bahasa, definisi, terminologi, dll); (2) struktur peraturan perundang-undangan (bagian-bagian dalam peraturan perundang-undangan),  suprastruktur (hubungannya dengan peraturan perundang-undangan yang lain); dan (3) identitas legal-kultur (sistem hukum yang dipakai dan pengaruhnya dalam negara tersebut. Dalam kaitannya dengan sistem hukum yang dianut, meskipun kebanyakan negara tidak menganut secara rigid satu sistem hukum semata, namun karakteristik yang lahir dari originalitas sistem hukum, naik civil law maupun common law memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam pemberian karakteristik style of legislation suatu negara. Secara umum dapat digeneralisir bahwa negara yang menganut sistem hukum civil law memiliki karakteristik positivisme hukum dengan pembentukan tata urutan peraturan perundang-undangan. Sementara negara yang menganut sistem common law memiliki karakteristik ”case law” atau ”judge-made law” dengan menekankan pada aspek preseden hakim.
            Style of legislation di Indonesia secara garis besar masih dipengaruhi oleh sistem hukum Belanda yang notabene menganut sistem civil law. Hal ini terlihat dengan adanya berbagai peraturan kodifikasi, meskipun masih warisan kolonial. Pengaruh civil law juga dapat dilihat dalam tata urutan perundang-undangan yang menganut teori pertingaktan norma hukum Hans Kelsen dan Hans Nawiasky.

Catatan:
[i] Wim Voermans, Styles of Legislation and Their Effect, makalah yang dipresentasikan pada Konferensi ‘Styles of Legislation’ yang diseenggarakan pada pembukaan European Academy for Law and Legislation, Peace Palace, Hague, 17–18 Desember 2009, hal 1.
[ii] http://kamusindonesiainggris.org/, diakses pada 29 Desember 2011, pukul 11.00 WIB.
[iii] Wim Voermans, op.cit, hal 3.
[iv] Ibid, hal 4.
[v] Ibid.
[vi] Ibid. hal 7.
[vii] Ibid, hal 8.
[viii] Maria  Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hal 152.
[ix] Ibid, hal 151.
[x] Ibid, hal 152.
[xi] Ibid.
[xii] Wim Voermans, op.cit, hal 9.
[xiii] Ibid, hal 10.
[xiv] R.Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal 100
[xv] Dominik Lengeling, Common law and Civil law: Differenses, Reciprocal Influences and Points of Intersections (Toronto/Siegen: Law Firm Patrick Schindler/Schleifenbaum & Adler, 2008), hal 10.
[xvi] Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hal 45.
[xvii] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal 113.
[xviii] Dominik Lengeling, op.cit, hal 9.
[xix] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hal 13.
[xx] Wim Voermans, op.cit, hal 10.
[xxi] Ibid.
[xxii] Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, op.cit, hal 57.
[xxiii] Ibid, hal 21.
[xxiv] Ibid, hal 235.
[xxv] Ibid, hal 237.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar