Senin, 16 Mei 2011

MEKANISME CARBON TRADING DALAM PROTOKOL KYOTO DAN MANFAATNYA BAGI INDONESIA

Pendahuluan
       Perubahan iklim kini bukan lagi sebuah wacana. Ketika dampaknya kini semakin dirasakan oleh masyarakat dunia, munculah komitmen negara-negara di dunia untuk mencegah kerusakan yang lebih parah terhadap atmosfer. Beberapa solusinya adalah mereduksi pelepasan gas rumah kaca sebagai limbah industri ke atmosfer dan penurunan laju degradasi sumber daya hutan di kawasan tropis. Berbagai kesepakatan internasional dilakukan terkait dengan pelaksanaan solusi tersebut.
      Mekanisme carbon trading atau perdagangan karbon lahir sebagai solusi alternatif penaatan komitmen negara-negara di dunia dalam mereduksi emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas secara singkat bagaimana sebenarnya mekanisme carbon trading yang terdapat dalam Protokol Kyoto, serta bagai mana potensi Indonesia sebagai negara hutan tropis dalam mekanisme carbon trading.

Protokol Kyoto Sebagai Latar Belakang Lahirnya Carbon Trading
     Untuk mencegah dampak perubahan iklim yang lebih parah, beberapa negara sepakat melakukan penurunan jumlah emisi gas rumah kaca di masing-masing negara. Kesepakatan ini kemudian diwujudkan dalam UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) Tahun 1992. Tujuan utama dari konvensi ini adalah untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitroksida (N2O), sulfur heksafluorida (SF6), hidroflouorokarbon (HFC), dan perfluorokarbon (PFC) pada tingkat yang aman, sehingga tidak membahayakan iklim global.[i] Konvensi ini kemudian membagi negara-negara peserta kedalam kelompok negara Annex I dan kelompok negara non-Annex I. Kelompok Annex I adalah negara-negara yang telah lebih dulu melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer sejak revolusi industri tahun 1850an. 
     Beberapa tahun setelah UNFCCC ditandatangani dan diratifikasi, negara-negara peserta konvensi melakukan kesepakatan untuk memperkuat komitmen pelaksanaan UNFCCC. Oleh karena itu pada Third Session of the Conference of Parties (COP-3) tahun 1997 di Kyoto dicetuskanlah Protokol Kyoto. Protokol ini mewajibkan seluruh negara Annex I untuk menurunkan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5,2% dari tingkat emisi rumah tahun 1990 pada perode tahun 2008-2012. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia.[ii]

Mekanisme Carbon Trading dalam Protokol Kyoto
        Selain untuk menegaskan komitmen negara-negara peserta UNFCCC untuk menurunkan jumlah emisi, Protokol Kyoto juga menawarkan mekanisme baru yang dinamakan Flexibility Mechanisms. Mekanisme ini memungkinkan negara-negara peserta, khususnya negara Annex I memenuhi kewajiban target penurunan emisi gas rumah kaca melalui penurunan emisi di negara lain. Mekanisme tersebut antara lain sebagai berikut:
1.      Joint Implementation (JI)
         JI merupakan salah satu dari tiga flexibility mechanisms yang ada dalam Pasal 6 Protokol Kyoto yang bertujuan untuk membantu negara Annex I untuk memenuhi komitmennya dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. JI dapat dilakukan sebagai salah satu alternatif penurunan emisi secara domestik. Mekanisme ini biasa disebut mekanisme perdagangan kredit berbasis proyek. JI  biasanya terjadi antara negara industri dengan transisi menuju ekonomi pasar dengan negara maju yang terdaftar pada Annex II di Lampiran UNFCCC.[iii]
     Melalui mekanisme ini, negara maju dapat meminimalkan biaya yang dikeluarkan bila dibandingkan melakukan proyek penurunan emisi di negaranya sendiri, sedangkan negara pelaksana proyek mendapatkan keuntungan berupa tersedianya investasi melalui bantuan pendanaan ataupun transfer teknologi. Pasar dan aturan pelaksanaan JI diatur oleh sebuah lembaga yang mirip dengan Executive Board CDM, yang disebut dengan JI Supervisory Board.
     Ada dua tingkatan JI, yaitu JI Tier 1 dan JI Tier 2.  JI Tier 1 adalah untuk negara-negara yang pencatatan emisi domestik serta perubahannya tidak terlalu rapi (mirip dengan situasi negara-negara berkembang), sehingga pencatatan dan monitoring di tingkat proyek menjadi sangat teliti dan hati-hati.  Sementara itu, JI Tier 2 adalah untuk negara-negara yang pencatatan emisi domestik serta perubahannya sudah rapi (sama dengan situasi negara-negara maju lainnya), sehingga monitoring di tingkat proyek tidak harus terlalu menuntut.[iv]

2.      International Emission Trading (IET)
IET merupakan salah satu flexibility mechanisms dalam Pasal 17 Protokol Kyoto yang memungkinkan sebuah negara Annex I untuk menjual kredit penurunan emisi gas rumah kaca kepada negara Annex I lainnya. Semua kredit penurunan emisi yang ditetapkan Protokol Kyoto, seperti Assigned Ammount Unit (AAU), Removal Unit (RMU), Certified Emission Reduction (CER) maupun Emission Reduction Unit (ERU) dapat diperjualbelikan melalui mekanisme ini.
Berbeda dengan JI yang kredit penurunan emisinya berbasis proyek, IET tidak memerlukan suatu proyek yang spesifik. IET dapat dilaksanakan apabila suatu negara Annex I memiliki kredit penurunan emisi gas rumah kaca melebihi target negaranya. Kredit tersebut dapat dijual ke negara Annex I lainnya.

3.      Clean Development Mechanism (CDM)
CDM merupakan satu-satunya flexibility mechanisms dalam Protokol Kyoto yang memberikan peran bagi negara berkembang (non-Annex I) untuk membantu target penurunan emisi gas rumah kaca negara Annex I. Dalam CDM, negara-negara Annex I dapat memenuhi target kewajiban penurunan emisinya melalui investasi proyek penurunan emisi (emission reduction project) maupun perdagangan karbon dengan negara-negara non-Annex I. Dapat dikatakan bahwa CDM merupakan gabungan antara JI dan IET.
Adapun tujuan CDM sebagaimana terdapat dalam Pasal 12 Protokol Kyoto adalah:
a.   Membantu negara berkembang yang tidak termasuk dalam negara Annex I untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan serta menyumbang pencapaian tujuan utama UNFCCC, yakni menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca dunia pada tingkat yang tidak akanmengganggu system iklim global; dan
b.      Membantu negara-negara Annex  I dalam memenuhi target penurunan emisi di negaranya.
CDM diharapkan dapat menjadi faktor pendukung munculnya proyek-proyek berbasis lingkungan di negara non-Annex I. Proyek berbasis lingkungan tersebut akan dinilai, dievaluasi dan divalidasi apakah telah berhasil menurunkan tingkat emisi. Kemudian akan diterbitkan Certified Emission Reduction (CER), yakni sertifikasi reduksi emisi yang setara dengan 1 ton CO2 oleh CDM Executive Board. Dengan CER, negara-negara Annex I dapat mengkonversi nilai tersebut untuk memenuhi target penurunan emisi negaranya.

Potensi Indonesia dalam Mekanisme Carbon Trading
Sebagaimana yang telah kita ketahui, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki areal hutan hujan tropis terluas di dunia. Luas areal hutan Indonesia adalah sekitar 120,35 juta Ha atau sekitar 68% dari total luas daratan Indonesia. Dari total luas tersebut, 33,52 juta ha merupakan areal hutan lindung, 66,33 juta ha merupakan hutan produksi, dan 20,50 juta ha adalah hutan konservasi.[v] Hutan hujan tropis sebagai paru-paru dunia menjadi komoditas yang vital dalam menyerap emisi gas rumah kaca untuk meminimalisir kerusakan atmosfer.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah memiliki komitmen dalam menanggulangi dampak perubahan iklim, sebagai salah satu peserta dalam Protokol Kyoto, Indonesia meratifikasi protokol tersebut pada 28 Juni 2004 dengan disahkannya UU Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations Framework of Climate Change.[vi] Dengan potensi hutan yang sedemikian besar, Indonesia memiliki potensi yang vital dalam perdagangan karbon. Dalam konteks mekanisme CDM khususnya, Indonesia sebagai negara non-Annex I memiliki keuntungan masuknya investasi asing, terutama dari negara Annex I dalam mendukung proyek berbasis lingkungan domestik. Beberapa keuntungan tersebut antara lain:
a.       Sumber dana
Dalam konteks CDM, Indonesia sebagai negara non-Annex I memiliki potensi menjadi negara tujuan utama investasi proyek berbasis penurunan emisi dari negara Annex I. Dengan demikian, dana investasi asing mengalir untuk mendukung proyek berbasis lingkungan di dalam negeri.
b.      Fasilitas alih teknologi
Dalam Protokol Kyoto tercantum adanya klausul kewajiban bagi negara-negara Annex I untuk menyediakan dana alih teknologi kepada negara-negara non-Annex I.
c.       Fasilitas peningkatan kemampuan
Seperti halnya fasilitas alih teknologi, negara-negara Annex I memiliki kewajiban menyediakan dana untuk mendukung pengembangan kemampuan di negara-negara non-Annex I dalam kaitannya dengan perubahan iklim, termasuk kemampuan penelitian, pemantauan serta adaptasi.
d.      Fasilitas adaptasi terhadap perubahan iklim
Protokol Kyoto memberikan klausul fasilitas adaptasi bagi negara-negara berkembang yang rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti Indonesia.
e.       Rehabilitasi kawasan hutan
Di bidang kehutanan, dana investasi CDM dapat diarahkan untuk mendukung program penghijauan kawasan hutan, seperti rehabilitasi hutan mangrove dan hutan gambut, Agroforestry, penerapan Reduced Impact Logging (RIL), peningkatan permudaan alam.[vii]
f.        Kompensasi carbon sequestration
Dalam Protokol Kyoto juga disebutkan adanya klausul bahwa negara-negara Annex I memberikan kompensasi kepada negara pemilik hutan tropis untuk mencadangkan wilayah hutannya untuk penyimpanan karbon (carbon sequestration).[viii]

Penutup
Berdasarkan pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa carbon trading merupakan bentuk flexibility mechanims yang ditawarkan oleh Protokol Kyoto kepada negara-negara Annex I untuk menurunkan target emisi gas rumah kacanya. Carbon trading dapat berbentuk mekanisme berbasis proyek (JI), perdagangan kredit emisi (IET), maupun gabungan keduanya (CDM). Ketiga mekanisme perdagangan karbon tersebut diharapkan dapat memenuhi target penurunan emisi rata-rata sebesar 5,2% hingga tahun 2012.
Indonesia sebagai negara hutan tropis memiliki potensi yang vital dalam carbon trading, terutama dalam konteks CDM. Wilayah hutan Indonesia yang luas dapat menjadi sasaran utama investasi CDM oleh negara Annex I untuk mendukung proyek berbasis lingkungan di dalam negeri. Namun, dalam implementasinya, CDM timbul beberapa permasalahan. Pertama, bagaimana penentuan proyek yang diprediksi dapat menurunkan emisi. Kedua, bagaimana mekanisme evaluasi pelaksanaan proyek apakah berhasil menurunkan emsi atau tidak. Dan yang terakhir, bagaimana peran serta masyarakat dalam proyek CDM terutama di bidang kehutanan.
       Terlepas dari beberapa permasalahan tersebut, mekanisme carbon trading, khususnya CDM menawarkan solusi alternatif menurunkan emisi gas rumah kaca secara tidak langsung. Menarik untuk melihat seberapa besar peran ketiga mekanisme tersebut dalam menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca di dunia, mengingat jangka waktu akan berakhir pada tahun 2012.

Catatan:
[i] Heri Murdianto, Carbon Trading dalam Konteks Kepentingan Indonesia,
[ii] ibid
[iv] ibid
[v] Danang Kuncara Sakti, Dampak Protokol Kyoto Melalui Clean Development Mechanism Pada Sektor Kehutanan Terhadap Perekonomian Indonesia: Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Tesis dalam Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2005, hal 11
[vi] ibid, hal 20
[viii] Heri Murdianto, op.cit 

1 komentar:

  1. Kearifan lokal tidak pernah diberdayakan dlm mengantisipasi warning global.SDM sejak dini

    BalasHapus