Kamis, 03 Februari 2011

TAN MALAKA: BAPAK REVOLUSI INDONESIA

Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas kisah perjuangan dari salah satu founding father Indonesia, yaitu Tan Malaka. Mungkin banyak diantara kita yang tidak mengenal tokoh yang dijuluki Bapak Revolusi Indonesia ini. Hal ini mungkin karena latar belakangnya yang dibilang komunis, serta sepak terjangnya yang termasuk revolusioner, sehingga keberadaannya seolah “dihapus” dalam sejarah Bangsa Indonesia. Padahal, jika mempelajari sejarah bangsa ini secara seksama, sebenarnya Tan Malaka memiliki banyak sekali pengaruh dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Tingkat popularitas Tan Malaka sangat kecil bila dibandingkan dengan bapak pendiri negara lainnya, seperi Sukarno, Hatta, atau Sjahrir. Namun, tokoh yang lebih banyak bekerja dibalik bayang-bayang ini, disadari atau tidak, memiliki pengaruh yang signifikan. Peristiwa Rengasdengklok yang menjadi titik balik perjuangan kemerdekaan Indonesia, diyakini beberapa kalangan, tidak lepas dari pengaruh oleh tokoh fenomenal yang satu ini.

Profil Tan Malaka
Tan Malaka lahir pada tanggal 2 Juni 1887 di Nagari Pandan Gadang, Kabupaten Suliki, Sumatera Barat. Nama kecilnya adalah Ibrahim. Seperti layaknya orang Padang pada umumnya, Ibrahim kecil dibesarkan dalam keluarga Islam yang taat. Ia merupakan seorang santri yang mengenyam pendidikan di sekolah Islam di daerah Bukittinggi. Pada tahun 1912, Ibrahim kemudian melanjutkan sekolahnya di Harleem, Belanda. Di masa mendatang, pemahamannya tentang Islam memberi pengaruh yang signifikan terhadap pemikirannya. Setelah dewasa, ia kemudian dianugerahi gelar Datuk Tan Malaka.
Tan Malaka dikenal sebagai seorang tokoh dengan semangat radikal dan anti-kolonialisme. Ia menentang segala bentuk penindasan yang dilakukan oleh bangsa barat terhadap bangsa lain, khususnya di Asia Tenggara. Sehingga ia menolak aksi kompromi terhadap pemerintah kolonial. Tan Malaka beranggapan bahwa Indonesia dapat merdeka apabila melalui suatu tindakan revolusioner. Mungkin akibat semangat radikalnya, ia kurang dekat Hatta dan Syahrir, tokoh pergerakan nasional lain yang juga dari Sumatera Barat.
Pergerakan Tan Malaka dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagian besar dilakukannya dalam pelarian. Sejak diusir dari Indonesia tahun 1922, Tan Malaka berkelana ke Eropa, China, Singapura, dan Filipina selama hampir 20 tahun. Selama dalam pelarian, Tan Malaka banyak melahirkan tulisan yang mempengaruhi pemikiran tokoh pergerakan di Indonesia. Konon katanya, W.R. Soepratman terinspirasi oleh buku Naar de Republik Indonesia (1925) saat menulis lagu ‘Indonesia Raya’.

Tan Malaka dan Komunisme
Pemikiran radikal Tan Malaka muncul ketika ia menjadi seorang guru pada tahun 1919 di sebuah perkebunan di Deli, Sumatera Utara. Ketimpangan nasib buruh perkebunan dengan majikannya yang warga asing membuatnya gerah dengan kolonialisme dan imperialisme Barat. Pemikirannya ini semakin kental ketika belajar di Eropa dan berkenalan dengan paham marxisme, yang saat itu sedang berkembang di Eropa. Paham marxisme yang memperjuangkan hak kaum buruh melawan penindasan pemilik modal sangat cocok dengan pemikiran Tan Malaka.
Prestasi Tan Malaka di dunia internasional termasuk fenomenal. Ia masuk kedalam organisasi Komunis Internasional (Commintern). Sebuah organisasi yang bertujuan mengintegrasikan perjuangan kaum komunis di seluruh dunia. Oleh organisasi ini, antara tahun 1922 hingga tahun 1927, ia ditunjuk menjadi wakil khusus Pemerintah Sovyet yang bertugas menjelaskan strategi Komintern ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Sebuah posisi yang bahkan tokoh revolusi China, Mao Tse Dong, tak pernah mendapatkannya. Selain itu, Tan Malaka juga dikirim oleh Central Comitte Uni Sovyet ke daerahnya yang beragama Islam. Dengan pengetahuannya yang mendalam tentang Islam, Tan Malaka dianggap dapat menjadi jembatan penghubung antara komunisme dan Islam.
Sebenarnya, Tan Malaka bukanlah seorang politikus. Ia adalah seorang guru. Bekerjasama dengan Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka berniat menyelenggarakan pendidikan yang layak bagi rakyat pribumi. Baginya, perbaikan nasib rakyat dapat dilakukan dengan mencerdaskan kehidupan rakyat melalui pendidikan. Oleh karena itu, ia lalu mendirikan sekolah-sekolah rakyat bagi pribumi yang tidak mampu.
Tan Malaka kemudian terjun dunia politik dengan bergabung bersama Sarekat Islam (SI) dibawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. SI sendiri merupakan partai bernafaskan Islam yang semula dibentuk untuk menaungi pedagang-pedagang Islam dalam bersaing dengan pedagang asing. Meskipun pada akhirnya SI sendiri pecah menjadi SI Merah dan SI Putih.
SI Merah yang dipimpin oleh Tan Malaka dan Semaun bergabung bersama Indische Social Demokratische Vereeniging (ISDV) yang dipimpin Sneevliet dan membentuk partai baru bernama Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada Kongres PKI pertama 24-25 Desember 1921, Tan Malaka terpilih menjadi pimpinan partai.
Bersama PKI, Tan Malaka melakukan gerakan yang revolusioner. Ia memprovokasi para buruh untuk melakukan aksi mogok, serta aksi propaganda lainnya melalui selebaran untuk menyadarkan rakyat tentang adanya ketidakadilan yang dilakukan Pemerintah Hindia-Belanda. Seperti yang dikatakannya dalam pidato di depan para buruh “semua gerakan buruh untuk mengeluarkan seuatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti mengalami kegagalan, maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”. Keberadaannya dianggap mengancam, sehingga ia ditangkap pada Januari 1922 dan diusir dari Indonesia dua bulan kemudian.

Tan Malaka: Antara Islam dan Komunisme
Melalui berbagai propaganda dan aksi provokasi, PKI berhasil mengorganisir para buruh untuk melakukan aksi yang radikal. Klimaksnya terjadi pada tahun 1926 dimana PKI melakukan pemberontakan di wilayah Jawa Barat dan di Sumatera Barat pada tahun 1927. Pemberontakan tersebut menyebabkan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang oleh Pemerintah Hindia-Belanda.
Sebagai salah satu pimpinan PKI, sebenarnya Tan Malaka keberatan dengan rencana pemberontakan ini. Menurutnya, hal itu merupakan tindakan gegabah karena Indonesia belum siap melakukan aksi revolusioner seperti itu. Dalam pelarian di Bangkok, Tan Malaka bersama Soebakat, dan Djamaluddin Tamin memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI) pada Juni 1927.
Peristiwa ini menjadi titik balik hubungan mesra Tan Malaka dengan komunisme. Di Komintern sendiri, Tan Malaka berkonflik dengan beberapa petinggi komintern, terkait konflik antara pan-Islamisme dengan komunisme. Petinggi Komintern berpendapat bahwa pan-Islamisme membahayakan penyebaran paham komunis di dunia, sehingga harus dibasmi. Tan Malaka menolak anggapan tersebut, dalam Kongres Komintern ke-4 tanggal 12 November 1922, ia berpidato bahwa pan-Islamisme dan komunisme memiliki tujuan yang sama, yakni perjuangan membebaskan diri dari penindasan kolonialisme dan kapitalisme. “ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia!”. Kata-kata inilah yang melambangkan pemikiran Tan Malaka bahwa Islam dan komunisme memiliki sebuah benang merah.
Dengan latar belakangnya, Tan Malaka memiliki pengetahuan tentang yang mendalam tentang Islam. Hal ini didukung dengan pemikiran rekan-rekannya dari golongan nasionalis religius, yakni Buya Hamka dan H.O.S. Tjokroaminoto. Selain itu, di era orde lama dikemudian hari, Tan Malaka juga menjadi pendiri Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), sebuah partai Islam yang berjiwa sosialis.

Akhir yang Tragis
Seperti nasib kebanyakan pejuang revolusioner lainnya, petualangan Tan Malaka juga berakhir dengan tragis. Hampir sama dengan nasib pejuang revolusioner Amerika Selatan, Ernesto Guevarra, Tan Mala menjadi buruan nomor satu tentara. Ia diburu oleh tentara Belanda, Uni Sovyet, dan lebih ironis lagi, tentara Indonesia, bangsa yang seumur hidup ia habiskan untuk memperjuangkan kemerdekaannya.
Pendapatnya tentang Pan-Islamisme dalam Kongres Komintern menyebabkan dirinya dipecat oleh Komintern, sehingga ia diburu oleh anggota komunis internasional, termasuk sekutunya di PKI. Oleh karena itu, Tan Malaka kembali ke Indonesia tahun 1942 dengan menyamar. Dalam penyamarannya itulah, ia menulis bukunya yang fenomenal: "Matter, Dialektika dan Logika" (Madilog) Tahun 1942. 
Tan Malaka juga terlibat konflik dengan Sutan Sjahrir. Ketika Kabinet Sjahrir memutuskan untuk berkompromi dengan Pemerintah Belanda melalui Perjanjian Linggarjati 15 November 1946, Tan Malaka menolak untuk berdamai dan meneruskan untuk bergerilya menuntut kemerdekaan penuh. Akhirnya ia dipenjara akibat perbuatannya. Keluar dari penjara ia pun kembali melanjutkan aksi gerilyanya. Perjuangannya berakhir ketika ia tewas di kaki Gunung Wilis, Kediri, 21 Februari 1949. Ia tewas ketika diburu oleh tentara Indonesia yang pro Sjahrir. Sampai sekarang pun tidak ada yang tahu pasti dimana letak makamnya.
Inilah akhir yang tragis dari seorang pejuang revolusioner yang selama hidupnya mengabdikan diri demi kemerdekaan bangsa dan tanah airnya.

1 komentar: