Jumat, 25 Maret 2011

MEKANISME PENGAJUAN USUL IMPEACHMENT OLEH DPR


Pendahuluan
Setelah tulisan sebelumnya membahas pranata impeachment secara general, pada tulisan ini akan dibahas mengenai mekanisme pengajuan usul impeachment oleh DPR. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, impeachment merupakan proses pendakwaan pejabat negara atas perbuatan menyimpang yang dilakukannya. Pranata impeachment dimulai dengan adanya “article of impeachment”. Berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen, proses impeachment melalui tiga tahapan dalam tiga lembaga yang berbeda. Pertama, tahapan pengajuan usul dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR. Kedua, tahap pengujian usul DPR di Mahkamah Konstitusi (MK). Dan yang terakhir, tahap penindaklanjutan putusan MK mengenai usul DPR tersebut. Tulisan ini mencoba mengkhususkan diri pada tahapan pertama, yakni adanya pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Proses Impeachment Sebelum Amandemen UUD 1945
Sebelum membahas pranata impeachment yang terdapat dalam UUD 1945 hasil amandemen, ada baiknya jika diawali dengan membahas terlebih dahulu pranata impeachment sebelum berlakunya amandemen UUD 1945. Bisa dikatakan bahwa Indonesia telah empat kali melakukan pemberhentian Presiden dari masa jabatannya, yakni pada kasus Presiden Sukarno, Soeharto, Habibie dan Abdurrahman Wahid. Yang menarik dari ketentuan impeachment sebelum amandemen UUD 1945 adalah UUD 1945 tidak mengatur secara eksplisit dan detail mengenai hal tersebut. UUD 1945 hanya mengatur mengenai penggantian kekuasaan.
Pasal 8 UUD 1945 sebelum amandemen mengatur bahwa “Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”. Sedangkan Penjelasan UUD 1945 angka VII Alinea ketiga disebutkan bahwa “Jika Dewan Menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa meminta pertanggungjawaban Presiden”. Tidak adanya pengaturan yang eksplisit dan detail mengenai alasan dan mekanisme impeachment tersebut menyebabkan terjadinya kekosongan konstitusi (constitutionale vacuum) mengenai hal tersebut dalam UUD 1945.[i]
Tidak adanya pengaturan yang jelas mengani prosedur impeachment menyebabkan pelaksanaan impeachment cenderung ditafsirkan secara subyektif. Konsepsi impeachment ditafsirkan bahwa Presiden memiliki pertanggungjawaban politis kepada MPR. Presiden memiliki kewenangan secara derivatif melalui mekanisme mandat (mandaatsverlening) dan melalui pelimpahan kekuasaan dan tanggung jawab (delegatie) kepada MPR selaku penyelenggara kedaulatan rakyat.[ii] Oleh karena itu, MPR dapat sewaktu-waktu menarik kembali mandatnya apabila Presiden dianggap melangar haluan negara (dulu bernama GBHN) atau tidak lagi memenuhi syarat. 

Alasan yang Mendasari Proses Impeachment
Setelah amandemen UUD 1945, pranata impeachment dimulai dengan diajukannya pendapat dari DPR tentang dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang disebut juga “article of impeachment”. Pendapat DPR tersebut harus berdasarkan alasan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dianggap telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.[iii] Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, alasan impeachment terdiri dari dua: alasan hukum dan alasan politis. Mengacu pada pasal tersebut, alasan hukum adalah pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat. Sedangkan alasan politis adalah perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat.

1. Pengkhianatan Terhadap Negara
Substansi Pasal 7A UUD 1945 memang tidak membahas lebih detail masing-masing alasan tersebut. Namun, penjabarannya dapat ditemukan dalam Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Alasan pertama, penghianatan terhadap negara. UU MK mendeskripsikan pengkhianatan terhadap negara sebagai tindakan yang membahayakan keamanan negara. R. Soesilo berpendapat bahwa pada hakekatnya kepentingan negara dan pemerintahannya adalah kepentingan seluruh rakyat Indonesia dan kejahatan terhadap negara dan pemerintahannya yang harus dipandang sebagai pengkhianatan terhadap kepentingan rakyat.[iv] 
Mengenai kejahatan terhadap keamanan negara, pengaturannya terdapat dalam KUHP buku II. Menurut Wirjono Prodjodikoro, ada dua macam pengkhianatan. Pertama, pengkhianatan intern (hoogveraad) yang ditujukan untuk mengubah struktur kenegaraan atau struktur pemerintahan yang ada, termasuk juga tindak pidana terhadap kepala negara. Jadi, mengenai keamanan intern (inwendige veiligheid) dari negara. Kedua, pengkhianatan ekstern (landverraad) yang ditujukan untuk membahayakan keamanan negara terhadap serangan dari luar negeri. Jadi, mengenai keamanan ekstra (uitwendige veiligheid) dari negara. Misalnya, memberikan pertolongan kepada negara asing yang bermusuhan dengan Indonesia.[v]

2. Korupsi dan Penyuapan
Alasan yang kedua adalah korupsi dan penyuapan. Menurut UU MK yang dimaksud korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi dan penyuapan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.[vi]  Dimasukkannya korupsi dan penyuapan sebagai alasan impeachment adalah menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi dan penyuapan merupakan suatu kejahatan yang membahayakan kepentingan negara dan masyarakat secara luas karena terkait dengan perekonomian negara. Lebih lanjut menurut Singgih, korupsi dan penyuapan menyebabkan berkurangnya investasi, bahkan dalam jangka panjang dapat menghapus investasi yang pengaruhnya lebih kompleks, termasuk didalamnya polarisasi sosial, tidak adanya penghargaan terhadap hak asasi manusia, praktek-praktek yang tidak demokratis, serta penyimpangan dana untuk pemberian pelayanan kepentingan umum.[vii]

3. Tindak Pidana Berat Lainnya
Alasan ketiga adalah tindak pidana berat lainnya. Menurut UU MK, yang dimaksud tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih. Definisi tindak pidana berat sebenarnya tidak jelas mengacu pada alasan atau landasan hukum tertentu, sebab istilah tindak pidana berat itu sendiri tidak dikenal dalam doktrin hukum pidana.[viii]  
Konsep ini diambil dari konsep “other high crimes” di Amerika Serikat, seperti yang diatur dalam Article II Section 4 United States of America Constitution. John Roland berpendapat bahwa konsep tersebut masih multi tafsir. Menurutnya, yang dimaksud unsur “berat” dalam tindak pidana berat tidak difokuskan pada tingkat keseriusan tindak pidananya, melainkan pada individunya, yang mana merupakan pejabat publik.[ix]  Namun demikian, definisi yang diberikan UU MK setidaknya memberikan parameter yang jelas atas konsep “Tindak Pidana Berat” yang berarti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.[x]

4. Perbuatan Tercela
Alasan keempat adalah perbuatan tercela. Perbuatan tercela menurut UU MK adalah perbuatan yang dapat merendahkan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Definisi ini sebenarnya masih multi tafsir, karena pada dasarnya seluruh perbuatan melanggar hukum, termasuk kejahatan terhadap keamanan negara, korupsi, penyuapan, maupun tindak pidana yang diancam hukuman lima tahun atau lebih merupakan perbuatan tercela.
Namun jika dihubungkan dengan salah satu syarat calon Presiden dan Wakil Presiden yaitu tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang ada dalam penjelasan Pasal 5 huruf i UU nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pasal ini menyatakan sebagai tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma adat antara lain seperti judi, mabuk, pecandu narkoba, dan zina. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terminologi perbuatan tercela menjadi lebih luas, yakni mencakup juga perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat.

5. Tidak Lagi Memenuhi Syarat
Alasan kelima adalah tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Menurut UU MK, syarat yang dimaksud adalah syarat sebagaimana yang ditentukan pada pasal 6 UUD 1945. Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan syarat-syarat Presiden dan Wakil Presiden adalah:
• seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri;
• tidak pernah mengkhianati negara; dan
• mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden

Mekanisme Pengajuan Pendapat DPR
Pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden pada hakekatnya merupakan implementasi fungsi pengawasan eksekutif oleh legislatif. Fungsi pengawasan eksekutif ini dilaksanakan melalui Hak Menyatakan Pendapat DPR.[xi]  Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR atas kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional; tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.[xii]
Mengenai mekanisme pelaksanaan Hak menyatakan pendapat, terdapat dalam Tata Tertib internal DPR. Dalam tulisan ini dipergunakan Peraturan Tata Tertib DPR RI tahun 2005. (1) Pengajuan usul menyatakan pendapat mengenai dugaan yang menjadi awal dakwaan impeachment diajukan oleh sekurang-kurangnya 13 orang Anggota DPR. Usul tersebut beserta penjelasannya disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR, yang disertai dengan daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama fraksinya.(2) Dalam Rapat Paripuma, setelah usul menyatakan pendapat diterima oleh Pimpinan DPR, Pimpinan DPR memberitahukan kepada Anggota DPR tentang masuknya usul menyatakan pendapat, kemudian usul tersebut dibagikan kepada seluruh Anggota DPR. Usulan tersebut kemudian dibahas dalam Rapat Badan Musyawarah untuk menentukan waktu dan agenda Rapat Paripurna berikutnya. Dalam Rapat Badan Musyawarah ini, Anggota DPR yang mengusulkan pendapat atas tuntutan impeachment (Pengusul) juga berhak untuk memberikan penjelasan. 
(3) Dalam Rapat Paripurna berikutnya, Fraksi-Fraksi diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya atas usulan tersebut. Kemudian, kepada pengusul diberikan hak untuk menjawab pandangan Fraksi itu. (4) Selanjutnya, Rapat Paripurna memutuskan apakah usulan hak menyatakan pendapat tersebut secara prinsip dapat diterima atau tidak. Jika Rapat Paripurna memutuskan untuk menolak usulan hak menyatakan pendapat maka usulan tersebut tidak dapat diajukan kembali pada masa sidang itu. Namun bila Rapat Paripurna menyetujui usulan hak menyatakan pendapat, DPR kemudian membentuk Panitia Khusus.
(5) Tugas Panitia Khusus adalah melakukan pembahasan mengenai alasan yang mendasari proses impeachment. (6) Setelah pembahasan dilanjutkan dengan pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna untuk menyetujui atau menolak pernyataan pendapat tersebut. (7) Pengambilan keputusan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah seluruh Anggota DPR. Sedangkan keputusan untuk menyetujui atau menolak pernyataan pendapat harus didukung sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah Anggota DPR yang hadir dalam rapat tersebut. (8) Terakhir, keputusan yang menyetujui usulan impeachment diajukan ke MK.

Penutup
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, dimasukkannya korupsi dan penyuapan sebagai alasan impeachment. Korupsi dan penyuapan dimaknai sebagai kejahatan yang dapat membahayakan kepentingan ekonomi negara. Apalagi jika dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini juga sesuai dengan tujuan negara pasca reformasi, yakni untuk memberantas korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, pemahaman mengenai alasan “tindak pidana berat lainnya”. Pada hakekatnya, unsur tindak pidana berat lebih menekankan pada tingkat keseriusan sebuah tindak pidana. Memang, sulit untuk menentukan parameter seperti apakah yang dapat mengukur tingkat keseriusan suatu tindak pidana. Namun setidaknya, UU MK kemudian memberikan parameter yang jelas pada lamanya sanksi pidana yang dijatuhkan, yaitu lima tahun atau lebih.
Ketiga, alasan perbuatan tercela sebagai salah satu alasan impeachment merupakan hal yang sangat relatif. Begitu pula bila dimaknai sebagai “tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma adat”. Ketiga norma tersebut sangat luas dan tidak memiliki batasan yang jelas. Sehingga alasan ini dapat ditafsirkan secara bebas. Kelima, alasan tidak lagi memenuhi syarat. Misalnya dalam kasus impeachment Presiden Abdurrahman Wahid, dipakai alasan bahwa Presiden tidak mampu secara fisik untuk melaksanakan tugasnya. Mengapa tidak dari awal pemilihan Presiden hal ini dijadikan bahan pertimbangan? Ketentuan ini sangat multi tafsir dan rawan penyalahgunaan.
Namun satu hal yang penting, proses DPR dalam mengambil keputusan pengajuan usul impeachment harus melalui proses yang panjang dan sangat kompleks. Sehingga tidak mudah bagi DPR untuk mengajukan usul. Dengan demikian, stabilitas pemerintahan pun dapat terjaga. Usul impeachment dapat berhasil hanya apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden memang benar-benar telah melanggar alasan yang terdapat dalam konstitusi.

Catatan: 
 [i] Tim Peneliti Mahkamah Konstitusi, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Jakarta:Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2005), hal 42
 [ii] Ibid, hal 29
 [iii] Pasal 7A UUD Negara Republik Indonesia  Tahun 1945
 [iv] Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden:Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, (Jakarta;Konstitusi Press, 2005), hal. 3
 [v] Tim Peneliti Mahkamah Konstitusi, op.cit, hal 65
 [vi] Tindak pidana korupsi dan penyuapan telah diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
 [vii] Singgih, Dunia pun Memerangi Korupsi, hal 118-119, dalam Hamdan Zoelva.,op.cit, hal 59
 [viii] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (Jakarta:Konstitusi Press, 2005), hal 69
 [ix] Karina Amanda, 2006, Tinjauan Ketatanegaraan Terhadap Mekanisme dan Pengaturan Impeachment di Indonesia Menurut Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Setelah Perubahan. Skripsi yang disampaikan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal 150
 [x] Tim Peneliti Mahkamah Konstitusi, op.cit, hal 69
 [xi]  Berdasarkan Pasal 77 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD, DPR memiliki hak angket, hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat
 [xii] Pasal 77 ayat (4) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar