"Sejarah merupakan representasi penguasa untuk menafsirkan masa lalu, menguasasi masa kini dan membentuk masa depan"
Pendahuluan
Pada tanggal 19 Desember lalu, masyarakat
Indonesia memperingati Hari Bela Negara. Suatu hari yang bersejarah dimana pada
periode 1948-1949, ditengah gempuran agresi militer Belanda yang kedua, para pahlawan
bangsa mempertaruhkan jiwa raganya demi menjaga keutuhan Negara Republik
Indonesia melalui pendeklarasian Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI). Sayangnya tidak banyak yang mengetahui sepak terjang kabinet PDRI yang
dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara. Mata rantai sejarah perjuangan kemerdekaan ini seakan luntur dari ingatan
masyarakat. Padahal, PDRI
memainkan peran sentral dalam menjaga keutuhan kedaulatan Negara Republik
Indonesia pada periode sejarah yang penting tersebut.
Tulisan ini berupaya menyegarkan kembali
ingatan masyarakat, bahwa terdapat sekelompok pahlawan bangsa yang dengan
inisiatif yang sangat tinggi, berjuang mati-matian tanpa mengenal pamrih.
Diharapkan masyarakat dalam memaknai arti penting Hari Bela Negara sebagai
wujud patriotisme, bahwa ditengah keterbatasan dan tekanan yang sangat besar,
masih terdapat cahaya harapan yang mampu membawa bangsa ini keluar dari masa
sulit, sehingga mampu tegak dan berdaulat sampai saat ini.
Sejarah Terbentuknya PDRI dan Perannya dalam Proses Kemerdekaan Indonesia
Periode tahun 1948-1949 merupakan periode vital
dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Pada periode ini, terjadi
serangkaian peristiwa penting yang menjadi tonggak pengakuan kedaulatan Republik
Indonesia. Situasi nasional saat itu sedang mencekam akibat tindakan agresi
militer Belanda pada 19 Desember 1948 dan disusul dengan ditawannya Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta serta beberapa tokoh nasional lainnya.
Demi mengisi kekosongan pemerintahan dan untuk melawan propaganda Pemerintah
Belanda, Menteri Kemakmuran saat itu, Sjafruddin Prawiranegara, bersama Teuku Mohammad
Hassan kemudian berinisiatif mendeklarasikan terbentuknya Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia tanggal 22 Desember 1948.
Beberapa sumber sejarah mengisahkan bahwa
sebenarnya Moh. Hatta sudah jauh-jauh hari menyadari bahwa kemungkinan agresi
militer Belanda kembali, sehingga menempatkan Sjafruddin untuk ”berjaga” di
Bukittinggi. Sesaat sebelum ditawan, Presiden dan Wakil Presiden secara kilat kemudian
memberikan mandat penuh kepada Sjafruddin untuk mengambil-alih kewenangan
pemerintah pusat serta membentuk sebuah kabinet darurat, seandainya agresi
militer Belanda berhasil menguasasi Yogyakarta, ibukota saat itu. Selain itu,
mandat tersebut juga diberikan kepada LN Palar, Dr. Sudarsono dan AA Maramis
yang sedang berada di India, seandainya Sjafruddin gagal dalam mendeklarasikan
pemerintahan darurat.
PDRI merupakan proses panjang dalam
mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Ketika Belanda berhasil menguasai
Yogyakarta, Sjafruddin Prawiranegara bersama tokoh lainnya kemudian berunding
untuk merencanakan pembentukan kabinet PDRI di Bukittinggi. Setelah
mempertimbangkan kemungkinan agresi ke Bukittinggi, perundingan akhirnya
berpindah ke Halaban. Beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa di daerah
perkebunan teh Sumatera Barat inilah kabinet PDRI dibentuk.
Berbekal sarana dan prasarana yang sangat
minim serta serangan yang gencar dari pihak Belanda, Sjarifuddin dan anggota
kabinet PDRI lainnya berpindah tempat dari satu kota ke kota lain. Untuk
menjaga hubungan luar negeri, kabinet PDRI melakukan konsolidasi dengan LN
Palar, Dr. Sudarsono dan AA Maramis yang berada di India dalam rangka mencari
dukungan dunia internasional. Setelah posisi Belanda semakin terjepit akibat
tekanan internasional serta perlawanan sengit dari TNI, Belanda akhirnya
dipaksa untuk mengadakan suatu perjanjian yang dikenal dengan nama Perjanjian
Roem-Roijen. Perjuangan PDRI akhirnya usai ketika tanggal 14 Juli 1949,
Sjafruddin dengan sukarela menyerahkan tampuk otoritas pemerintahan kembali
kepada Soekarno-Hatta.
PDRI yang Mulai Dilupakan
Sebenarnya, sulit untuk dibayangkan
bagaimana jadinya nasib bangsa ini apabila PDRI tidak terbentuk. Perjuangan kabinet
PDRI selama 207 hari sepatutnya dicatat dengan tinta emas dalam sejarah
kemerdekaan Republik Indonesia. Dari perspektif ketatanegaraan, keadaan darurat
negara atau staatsnoodrecht,
memungkinkan penguasa untuk bertindak diluar konstitusi semata-mata untuk
kepentingan negara. Dalam hal ini, pembentukan pemerintahan darurat sebagai
wujud pengambilalihan otoritas pemerintahan merupakan hal yang sangat tepat
ditengah kevakuman pemerintahan saat itu.
Rumah yang menjadi saksi perjuangan PDRI di Nagari Bidar Alam, Sumatera Barat |
Dari perspektif diplomasi, pembentukan
PDRI dapat digunakan sebagai ”bargaining
position” dalam strategi diplomasi di dunia internasional. Dalam Konvensi
Montevideo, salah satu syarat eksistensi sebuah negara adalah pemerintahan yang
berdaulat. Dengan dibentuknya PDRI, Republik Indonesia memiliki pemerintahan
sementara yang berdaulat, sehingga dapat menggalang dukungan internasional. Dari
perspektif persatuan dan kesatuan bangsa, pembentukan PDRI juga merupakan
sebuah upaya strategis untuk mencegah disintegrasi bangsa saat itu. Pemerintah
Belanda saat itu sangat gencar melaksanakan aksi propaganda dengan memberian
informasi palsu bahwa pemerintahan Republik Indonesia sudah tidak ada. Selain
itu, pembentukan PDRI juga sebagai suntikan semangat masyarakat dan upaya
menggalang kekuatan yang saat itu sedang terpecah-pecah dalam upaya mengusir
Belanda. Apalagi dengan adanya dukungan dari Jenderal Sudirman, pimpinan TNI
saat itu.
Sayangnya, peran PDRI dalam periode
sejarah saat itu perlahan-lahan semakin dilupakan. Dalam perkembangannya, terasa ada upaya untuk
mereduksi peran PDRI dalam sejarah kemerdekaan. Pada masa itu, sempat timbul
ketegangan karena perundingan Roem-Roijen dilaksanakan tanpa koordinasi lebih
dulu dengan PDRI yang memegang otoritas pemerintahan yang sah. Namun, demi
menghindari konflik, akhirnya Sjafruddin menyetujui hasil perundingan tersebut
dan menyerahkan kepemimpinan kembali kepada Soekarno-Hatta. Pidato Presiden
Soekarno tanggal 17 Agustus 1949 yang berkaitan dengan peristiwa 19 Desember
1948 ternyata juga tidak menyinggung satu kata pun tentang PDRI.
Sejarah merupakan representasi penguasa
untuk menafsirkan masa lalu, menguasasi masa kini dan membentuk masa depan. Pereduksian peran PDRI
pada masa Orde Lama dan Orde Baru dapat dikatakan sebagai sebuah upaya
sistematis dalam mendiskreditkan peran Sjafruddin dalam proses kemerdekaan
bangsa. Sebagian sejarawan bahkan berpendapat lebih progresif bahwa pereduksian
peran PDRI bukan hanya sebagai upaya dalam mendisreditkan peran Sjafruddin,
namun peran masyarakat Sumatera Barat secara keseluruhan. Hal ini berkaitan erat
dengan timbulnya konflik Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
pada periode tahun 1950-an yang berpusat di Sumatera Barat. Sjafruddin dan
beberapa tokoh PRRI lainnya seperti Kolonel Dahlan Djambek, Asaat dan Sumitro
Djojohadikusumo dianggap sebagai pemberontak yang berupaya mengkudeta
pemerintahan saat itu.
Terbitnya Keputusan Presiden Nomor 28
Tahun 2006 yang menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara
merupakan salah satu langkah visioner dalam memulihkan kembali peran PDRI dan
Sjafruddin. Terlepas dari pro dan kontra penetapan tanggal tersebut, karena
tanggal 19 Desember merupakan tanggal agresi militer Belanda bukan pembentukan
PDRI yang pada 22 Desember, penetapan Hari Bela Negara diyakini merupakan wujud
komitmen Pemerintah dalam mengakui, menghormati dan menempatkan secara
proporsional eksistensi PDRI dan tokoh-tokohnya dalam tinta emas sejarah
kemerdekaan Republik Indonesia.
Memaknai PDRI Sebagai Sebuah Proses Pembelajaran Sejarah
Tidak dapat disangkal bahwa PDRI memainkan
peran sentral dalam upaya mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia yang pada
saat itu dalam posisi diujung tanduk. Sejarawan Prof. Sartono
Kartodirdjo berpendapat bahwa, eksistensi PDRI adalah soal ”to be or not to be Republic”. Tanpa eksistensi PDRI, Republik Indonesia
yang telah diproklamirkan dengan susah payah beberapa tahun sebelumnya akan
nyaris tenggelam untuk selama-lamanya. Namun sayangnya, saat ini masih banyak
kalangan masyarakat yang belum mengetahui peran PDRI. Peringatan seremonial Hari
Bela Negara pun juga kalah jauh dibanding dengan peringatan hari kepahlawanan
nasional lainnya, seperti Hari Pahlawan tanggal 10 November dan Serangan Umum
tanggal 1 Maret.
Sejarawan Yusri Ghani Abdullah, mengatakan
bahwa ”sejarah ingin agar kita tidak
mengulangi kesalahan pada masa silam dan mengambil pelajaran guna membangun
masa kini”. Bagi generasi saat ini, memaknai PDRI berarti memahami secara
menyeluruh sejarah kemerdekaan Indonesia, serta mengambil pelajaran dari
perjuangan PDRI dalam mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia ditengah
ketidakberdayaan saat itu. Banyak pesan sejarah penting yang bisa diambil dari
perjuangan 207 hari PDRI. Pertama,
dari perspektif rasionalis-intelektual, penting untuk diingat bahwa ternyata
persoalan bangsa yang sangat vital tersebut diputuskan dalam sebuah desa kecil
bernama Halaban, daerah selatan Kota Payakumbuh. Dalam pertemuan tersebut,
terjadi dialog antara Sjafruddin dan TM Hassan, dimana keduanya menolak untuk
dijadikan ketua. Setelah dilakukan musyawarah, akhirnya Sjafruddin terpilih
sebagai Ketua PDRI.
Kedua, dari
perspektif patriotisme, ditengah minimnya sarana dan prasarana, serta ancaman
serangan militer yang tidak henti dari Belanda, pimpinan PDRI bergerilya dari
satu kota ke kota lain, kadang bersembunyi di hutan, demi mengajak seluruh
rakyat Indonesia untuk mendukung republik sambil melakukan konsolidasi untuk
mencari dukungan dunia internasional. Sebuah tindakan heroik yang patut untuk
disejajarkan dengan kisah kepahlawanan lainnya. Ketiga, dari perspektif moralitas kepemimpinan. Awalnya sempat
timbul ketegangan antara pimpinan PDRI dan Soekarno-Hatta mengenai perjanjian
Roem-Roijen. Pimpinan PDRI berpendapat bahwa PDRI sebagai pemerintahan yang sah
harusnya dilibatkan dalam proses perundingan. Namun, demi meredam konflik yang
berkepanjanga, akhirnya Sjafruddin menerima hasil perjanjian. Terlebih lagi
pada episode akhir perjuangan PDRI, Sajruddin dengan sukarela menyerahkan
otoritas pemerintahan kembali kepada Soekarno-Hatta. Suatu tindakan yang mungkin mustahil untuk kita
lihat saat ini.
terima kasih. luar biasa
BalasHapus