Sabtu, 12 Januari 2013

PDRI: PENGGALAN SEJARAH KEMERDEKAAN YANG TERLUPAKAN

"Sejarah merupakan representasi penguasa untuk menafsirkan masa lalu, menguasasi masa kini dan membentuk masa depan"
Pendahuluan
Pada tanggal 19 Desember lalu, masyarakat Indonesia memperingati Hari Bela Negara. Suatu hari yang bersejarah dimana pada periode 1948-1949, ditengah gempuran agresi militer Belanda yang kedua, para pahlawan bangsa mempertaruhkan jiwa raganya demi menjaga keutuhan Negara Republik Indonesia melalui pendeklarasian Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Sayangnya tidak banyak yang mengetahui sepak terjang kabinet PDRI yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara. Mata rantai sejarah perjuangan kemerdekaan ini seakan luntur dari ingatan masyarakat. Padahal, PDRI memainkan peran sentral dalam menjaga keutuhan kedaulatan Negara Republik Indonesia pada periode sejarah yang penting tersebut.
Tulisan ini berupaya menyegarkan kembali ingatan masyarakat, bahwa terdapat sekelompok pahlawan bangsa yang dengan inisiatif yang sangat tinggi, berjuang mati-matian tanpa mengenal pamrih. Diharapkan masyarakat dalam memaknai arti penting Hari Bela Negara sebagai wujud patriotisme, bahwa ditengah keterbatasan dan tekanan yang sangat besar, masih terdapat cahaya harapan yang mampu membawa bangsa ini keluar dari masa sulit, sehingga mampu tegak dan berdaulat sampai saat ini.

Sejarah Terbentuknya PDRI dan Perannya dalam Proses Kemerdekaan Indonesia
Periode tahun 1948-1949 merupakan periode vital dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Pada periode ini, terjadi serangkaian peristiwa penting yang menjadi tonggak pengakuan kedaulatan Republik Indonesia. Situasi nasional saat itu sedang mencekam akibat tindakan agresi militer Belanda pada 19 Desember 1948 dan disusul dengan ditawannya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta serta beberapa tokoh nasional lainnya. Demi mengisi kekosongan pemerintahan dan untuk melawan propaganda Pemerintah Belanda, Menteri Kemakmuran saat itu, Sjafruddin Prawiranegara, bersama Teuku Mohammad Hassan kemudian berinisiatif mendeklarasikan terbentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia tanggal 22 Desember 1948.
Beberapa sumber sejarah mengisahkan bahwa sebenarnya Moh. Hatta sudah jauh-jauh hari menyadari bahwa kemungkinan agresi militer Belanda kembali, sehingga menempatkan Sjafruddin untuk ”berjaga” di Bukittinggi. Sesaat sebelum ditawan, Presiden dan Wakil Presiden secara kilat kemudian memberikan mandat penuh kepada Sjafruddin untuk mengambil-alih kewenangan pemerintah pusat serta membentuk sebuah kabinet darurat, seandainya agresi militer Belanda berhasil menguasasi Yogyakarta, ibukota saat itu. Selain itu, mandat tersebut juga diberikan kepada LN Palar, Dr. Sudarsono dan AA Maramis yang sedang berada di India, seandainya Sjafruddin gagal dalam mendeklarasikan pemerintahan darurat.
PDRI merupakan proses panjang dalam mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Ketika Belanda berhasil menguasai Yogyakarta, Sjafruddin Prawiranegara bersama tokoh lainnya kemudian berunding untuk merencanakan pembentukan kabinet PDRI di Bukittinggi. Setelah mempertimbangkan kemungkinan agresi ke Bukittinggi, perundingan akhirnya berpindah ke Halaban. Beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa di daerah perkebunan teh Sumatera Barat inilah kabinet PDRI dibentuk.
Berbekal sarana dan prasarana yang sangat minim serta serangan yang gencar dari pihak Belanda, Sjarifuddin dan anggota kabinet PDRI lainnya berpindah tempat dari satu kota ke kota lain. Untuk menjaga hubungan luar negeri, kabinet PDRI melakukan konsolidasi dengan LN Palar, Dr. Sudarsono dan AA Maramis yang berada di India dalam rangka mencari dukungan dunia internasional. Setelah posisi Belanda semakin terjepit akibat tekanan internasional serta perlawanan sengit dari TNI, Belanda akhirnya dipaksa untuk mengadakan suatu perjanjian yang dikenal dengan nama Perjanjian Roem-Roijen. Perjuangan PDRI akhirnya usai ketika tanggal 14 Juli 1949, Sjafruddin dengan sukarela menyerahkan tampuk otoritas pemerintahan kembali kepada Soekarno-Hatta.

PDRI yang Mulai Dilupakan
Sebenarnya, sulit untuk dibayangkan bagaimana jadinya nasib bangsa ini apabila PDRI tidak terbentuk. Perjuangan kabinet PDRI selama 207 hari sepatutnya dicatat dengan tinta emas dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Dari perspektif ketatanegaraan, keadaan darurat negara atau staatsnoodrecht, memungkinkan penguasa untuk bertindak diluar konstitusi semata-mata untuk kepentingan negara. Dalam hal ini, pembentukan pemerintahan darurat sebagai wujud pengambilalihan otoritas pemerintahan merupakan hal yang sangat tepat ditengah kevakuman pemerintahan saat itu.

Rumah yang menjadi saksi perjuangan PDRI di Nagari Bidar Alam, Sumatera Barat

Dari perspektif diplomasi, pembentukan PDRI dapat digunakan sebagai ”bargaining position” dalam strategi diplomasi di dunia internasional. Dalam Konvensi Montevideo, salah satu syarat eksistensi sebuah negara adalah pemerintahan yang berdaulat. Dengan dibentuknya PDRI, Republik Indonesia memiliki pemerintahan sementara yang berdaulat, sehingga dapat menggalang dukungan internasional. Dari perspektif persatuan dan kesatuan bangsa, pembentukan PDRI juga merupakan sebuah upaya strategis untuk mencegah disintegrasi bangsa saat itu. Pemerintah Belanda saat itu sangat gencar melaksanakan aksi propaganda dengan memberian informasi palsu bahwa pemerintahan Republik Indonesia sudah tidak ada. Selain itu, pembentukan PDRI juga sebagai suntikan semangat masyarakat dan upaya menggalang kekuatan yang saat itu sedang terpecah-pecah dalam upaya mengusir Belanda. Apalagi dengan adanya dukungan dari Jenderal Sudirman, pimpinan TNI saat itu.
Sayangnya, peran PDRI dalam periode sejarah saat itu perlahan-lahan semakin dilupakan. Dalam perkembangannya, terasa ada upaya untuk mereduksi peran PDRI dalam sejarah kemerdekaan. Pada masa itu, sempat timbul ketegangan karena perundingan Roem-Roijen dilaksanakan tanpa koordinasi lebih dulu dengan PDRI yang memegang otoritas pemerintahan yang sah. Namun, demi menghindari konflik, akhirnya Sjafruddin menyetujui hasil perundingan tersebut dan menyerahkan kepemimpinan kembali kepada Soekarno-Hatta. Pidato Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1949 yang berkaitan dengan peristiwa 19 Desember 1948 ternyata juga tidak menyinggung satu kata pun tentang PDRI.
Sejarah merupakan representasi penguasa untuk menafsirkan masa lalu, menguasasi masa kini dan membentuk masa depan. Pereduksian peran PDRI pada masa Orde Lama dan Orde Baru dapat dikatakan sebagai sebuah upaya sistematis dalam mendiskreditkan peran Sjafruddin dalam proses kemerdekaan bangsa. Sebagian sejarawan bahkan berpendapat lebih progresif bahwa pereduksian peran PDRI bukan hanya sebagai upaya dalam mendisreditkan peran Sjafruddin, namun peran masyarakat Sumatera Barat secara keseluruhan. Hal ini berkaitan erat dengan timbulnya konflik Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada periode tahun 1950-an yang berpusat di Sumatera Barat. Sjafruddin dan beberapa tokoh PRRI lainnya seperti Kolonel Dahlan Djambek, Asaat dan Sumitro Djojohadikusumo dianggap sebagai pemberontak yang berupaya mengkudeta pemerintahan saat itu.
Terbitnya Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2006 yang menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara merupakan salah satu langkah visioner dalam memulihkan kembali peran PDRI dan Sjafruddin. Terlepas dari pro dan kontra penetapan tanggal tersebut, karena tanggal 19 Desember merupakan tanggal agresi militer Belanda bukan pembentukan PDRI yang pada 22 Desember, penetapan Hari Bela Negara diyakini merupakan wujud komitmen Pemerintah dalam mengakui, menghormati dan menempatkan secara proporsional eksistensi PDRI dan tokoh-tokohnya dalam tinta emas sejarah kemerdekaan Republik Indonesia.

Memaknai PDRI Sebagai Sebuah Proses Pembelajaran Sejarah
Tidak dapat disangkal bahwa PDRI memainkan peran sentral dalam upaya mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia yang pada saat itu dalam posisi diujung tanduk. Sejarawan Prof. Sartono Kartodirdjo berpendapat bahwa, eksistensi PDRI adalah soal ”to be or not to be Republic”. Tanpa eksistensi PDRI, Republik Indonesia yang telah diproklamirkan dengan susah payah beberapa tahun sebelumnya akan nyaris tenggelam untuk selama-lamanya. Namun sayangnya, saat ini masih banyak kalangan masyarakat yang belum mengetahui peran PDRI. Peringatan seremonial Hari Bela Negara pun juga kalah jauh dibanding dengan peringatan hari kepahlawanan nasional lainnya, seperti Hari Pahlawan tanggal 10 November dan Serangan Umum tanggal 1 Maret.
Sejarawan Yusri Ghani Abdullah, mengatakan bahwa ”sejarah ingin agar kita tidak mengulangi kesalahan pada masa silam dan mengambil pelajaran guna membangun masa kini”. Bagi generasi saat ini, memaknai PDRI berarti memahami secara menyeluruh sejarah kemerdekaan Indonesia, serta mengambil pelajaran dari perjuangan PDRI dalam mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia ditengah ketidakberdayaan saat itu. Banyak pesan sejarah penting yang bisa diambil dari perjuangan 207 hari PDRI. Pertama, dari perspektif rasionalis-intelektual, penting untuk diingat bahwa ternyata persoalan bangsa yang sangat vital tersebut diputuskan dalam sebuah desa kecil bernama Halaban, daerah selatan Kota Payakumbuh. Dalam pertemuan tersebut, terjadi dialog antara Sjafruddin dan TM Hassan, dimana keduanya menolak untuk dijadikan ketua. Setelah dilakukan musyawarah, akhirnya Sjafruddin terpilih sebagai Ketua PDRI.
Kedua, dari perspektif patriotisme, ditengah minimnya sarana dan prasarana, serta ancaman serangan militer yang tidak henti dari Belanda, pimpinan PDRI bergerilya dari satu kota ke kota lain, kadang bersembunyi di hutan, demi mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk mendukung republik sambil melakukan konsolidasi untuk mencari dukungan dunia internasional. Sebuah tindakan heroik yang patut untuk disejajarkan dengan kisah kepahlawanan lainnya. Ketiga, dari perspektif moralitas kepemimpinan. Awalnya sempat timbul ketegangan antara pimpinan PDRI dan Soekarno-Hatta mengenai perjanjian Roem-Roijen. Pimpinan PDRI berpendapat bahwa PDRI sebagai pemerintahan yang sah harusnya dilibatkan dalam proses perundingan. Namun, demi meredam konflik yang berkepanjanga, akhirnya Sjafruddin menerima hasil perjanjian. Terlebih lagi pada episode akhir perjuangan PDRI, Sajruddin dengan sukarela menyerahkan otoritas pemerintahan kembali kepada Soekarno-Hatta. Suatu tindakan yang mungkin mustahil untuk kita lihat saat ini.

1 komentar: