Jumat, 25 Maret 2011

IMPEACHMENT: PENGUJIAN PENDAPAT DPR DAN IMPLIKASI PUTUSAN MK

Pendahuluan
Tulisan ini merupakan lanjutan dari dua tulisan sebelumnya. Setelah tulisan sebelumnya membahas mengenai impeachment secara general dan tahap pertama proses impeachment, yakni adanya usul DPR mengenai pelanggaran oleh Presiden dan/ Wakil Presiden. Tulisan ini membahas tahap berikutnya, yakni pengujian pendapat DPR oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan tindak lanjut putusan MK di MPR. Tulisan ini mengkhususkan diri pada beberapa hal. Pertama, posisi konstitusional MK dalam proses impeachment. Kedua, proses acara di MK terkait pengujian pendapat DPR. Dan yang terakhir implikasi putusan MK di MPR.

Posisi Konstitusional Mahkamah Konstitusi
Christian Boulanger (2002) menyebutkan adanya dua perkembangan penting yang menandai perubahan politik dan ketatanegaraan di seluruh dunia pada paruh kedua abad ke-20.[i] Pertama, perkembangan yang sering diasosasikan pada tesis Francis Fukuyama (1992) tentang hegemoni demokrasi liberal dan kapitalisme pasar, serta tesis Samuel P. Huntington (1991, 2000) tentang gelombang demokratisasi ketiga. Kedua, perkembangan yang disebut sebagai “Global Expansion of Judicial Review”. Di seluruh dunia, peradilan konstitusional telah dibentuk demi menegakkan prinsip negara demokrasi konstitusional.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, dalam sistem pemerintahan presidensil, impeachment diadopsi sebagai pranata pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden atas perbuatan menyimpang yang dilakukannya. Belifante dalam bukunya “Beginselen Van Nederlandse Staatsrecht” berpendapat bahwa, salah satu unsur penting dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara adalah pertanggungjawaban Presiden.[ii] Proses impeachment sebelum amandemen UUD 1945 berdasarkan konsepsi bahwa Presiden memiliki pertanggungjawaban politis kepada MPR. Presiden memiliki kewenangan secara derivatif melalui mekanisme mandat (mandaatsverlening) dan melalui pelimpahan kekuasaan dan tanggung jawab (delegatie) kepada MPR selaku penyelenggara kedaulatan rakyat.[iii] 
Konsepsi ini kemudian berubah setelah amandemen UUD 1945. Proses impeachment kini diatur secara jelas dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Yang menarik, UUD 1945 mewajibkan MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus usul DPR tentang impeachment. Hal ini merupakan perwujudan dari sistem checks and balances yang dianut Indonesia. Dimana, Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dapat diawasi dan dimintakan pertanggungjawabannya oleh DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif dan juga melibatkan MK sebagai salah satu pemegang kekuasaan yudikatif.
MK sebagai lembaga peradilan konstitusional dalam menjalankan tugasnya memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangannya adalah menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar (judicial review); memutus sengketa Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajibannya adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.[iv] Putusan yang diminta DPR kepada MK adalah putusan hukum, bukan putusan politik. Melainkan merupakan mekanisme dan kewajiban konstitusional DPR dalam rangka pelaksanaan prinsip checks and balances.

Legal Standing DPR serta Presiden dan/atau Wakil Presiden
Perlu ditekankan bahwa yang menjadi obyek sengketa pengujian MK adalah pendapat DPR, bukan Presiden dan/atau Wakil Presiden secara personal. MK tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan putusan yang berupa sanksi pidana. Oleh karena itu, apabila ada pengadilan umum yang memeriksa Presiden dan/atau Wakil Presiden yang telah diberhentikan atas tuduhan melakukan pelanggaran hukum maka pengadilan tersebut tetap memiliki kewenangan untuk melakukannya dan tidak bertentangan dengan asas ne bis in idem.[v]  
Pemohon dalam proses impeachment di MK adalah DPR yang diwakili oleh pimpinan DPR dan dapat menunjuk kuasa hukumnya. Sedangkan pihak yang Termohon adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat didampingi atau diwakili oleh kuasa hukumnya. Mengenai posisi Termohon, Maruarar Siahaan berpendapat bahwa “meskipun proses impeachment sesungguhnya memeriksa kebenaran hukum pendapat DPR, akan tetapi karena materi pendapat tersebut merupakan perbuatan-perbuatan atau keadaan pribadi Presiden atau Wakil Presiden, muatan emosi yang tinggi menyebabkan posisi yang diambil para pihak adalah saling berlawanan dan saling menyanggah.”[vi] 

Mekanisme Pengujian Pendapat DPR
Dalam mengajukan permohonan pengujian, DPR harus memenuhi syarat formil dan pokok perkara. Secara general, syarat formil dalam mengajukan permohonan dalam hukum acara MK adalah (i) pemohon memenuhi persyaratan legal standing dan (ii) perkara tersebut termasuk dalam kewenangan MK untuk mengadilinya.[vii] Namun, UU MK menambahkan satu syarat formil yang harus dipenuhi DPR, yaitu DPR harus menyertakan Keputusan DPR dan proses pengambilan keputusan mengenai tuduhan impeachment sesuai dengan pasal 7B ayat (3) UUD 1945 serta Peraturan Tata Tertib Internal DPR, ditambah dengan risalah dan/atau berita acara rapat.[viii]  Sedangkan pokok perkara diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yakni Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum; atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.[ix]
Pedoman yang berlaku dalam acara pengujian pendapat DPR adalah Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009. Proses acara pemeriksaan dakwaan impeachment di MK dibatasi waktunya paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara. Berarti, dalam waktu tersebut sudah harus menghasilkan putusan, terlepas ada atau tidaknya bukti yang mendukung maupun tidak mendukung pendapat DPR. Persidangan dilakukan oleh Pleno Hakim yang dihadiri sekurang-kurangnya tujuh Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK.
Namun, terdapat ketentuan mengenai penghentian proses perkara, yakni apabila dalam proses persidangan, Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri dari jabatannya, maka proses persidangan tersebut dihentikan dan perkara dinyatakan gugur. Terdapat beberapa tahap persidangan yang harus dilakukan MK, yakni sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Pendahuluan
Tahap sidang pemeriksaan pendahuluan ini wajib dihadiri oleh Pimpinan DPR dan kuasa hukumnya. Dalam tahap ini, MK wajib melakukan pemeriksaan kelengkapan permohonan dan kejelasan materi permohonan. Apabila terdapat kekurangan, MK memberikan kesempatan kepada Pimpinan DPR atau kuasa hukumnya untuk melengkapi permohonan. Setelah permohonan dilengkapi, Pimpinan DPR diperintahkan untuk membacakan permohonannya, Presiden dan/atau Wakil Presiden atau kuasa hukumnya dapat memberikan pertanyaan mengenai materi permohonan.

2. Tanggapan Presiden dan/atau Wakil Presiden
Pada tahap ini, Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan memberikan tanggapan terhadap dugaan DPR. Tanggapan tersebut dapat berupa (i) sah atau tidaknya proses pengambilan keputusan Pendapat DPR; (ii) materi muatan Pendapat DPR; (iii) perolehan dan penilaian alat bukti tulis yang diajukan oleh DPR. Pimpinan DPR atau kuasa hukumnya juga diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan balik. Tahap ini sebenarnya diadopsi dari dari tahap jawab-menjawab dalam sidang acara perdata dimana para pihak dapat memberikan tanggapan satu sama lain.

3. Pembuktian Para Pihak
Dalam tahap ini, DPR wajib menyertakan alat bukti berupa (i) alat bukti surat; (ii) keterangan saksi; (iii) keterangan ahli; (iv) petunjuk; (v) keterangan pihak-pihak; (vi) alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Setidaknya ada satu pertanyaan kritis mengenai alat bukti. Dalam hukum acara pidana, terdapat ketentuan mengenai bukti permulaan yang cukup agar seseorang dapat dijatuhkan pidana, yakni sekurang-kurangnya dibutuhkan dua alat bukti yang sah. Yang menjadi permasalahan adalah, apakah hukum acara konstitusi juga menganut ketentuan “bukti permulaan yang cukup”? Hal ini penting mengingat impeachment merupakan kasus luar biasa yang membutuhkan penanganan dan pengaturan yang lebih khusus. Sebagai sebuah extraordinary case, sudah seharusnya persidangan dalam memutus perkara impeachment memiliki sebuah standar minimal pembuktian agar terdapat sebuah kepastian dalam memutus perkara tersebut.
Dalam tahap ini, Presiden dan/atau Wakil Presiden juga berhak memberikan bantahan terhadap alat bukti yang diajukan oleh DPR dan mengajukan yang sebaliknya. Alat bukti yang diajukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden sama jenisnya dengan alat bukti yang diajukan oleh DPR.

4. Kesimpulan Para Pihak
Setelah prosedur pembuktian telah selesai dilakukan, maka masing-masing pihak diberi kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan akhir yang dapat disampaikan secara lisan maupun tertulis dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah berakhirnya tahap pembuktian.

5. Putusan
Sebelumnya mengambil putusan, Pleno Hakim mengadakan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) secara tertutup yang dihadiri sekurang-kurangnya tujuh Hakim Konstitusi. Pengambilan keutusan dalam RPH dilakukan secara musyawarah untuk mufakat, dan apabila RPH tidak mencapai kata mufakat, maka keputusan akan diambil dengan suara terbanyak. Bila hal ini terjadi, terdapat ketentuan yang mengharuskan pendapat dari Hakim Konstitusi yang berbeda dengan keputusan (dissenting opinion) dimasukkan dalam putusan.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, putusan paling lambat diucapkan 90 (sembilan puluh) hari setelah permohonan dicatat. Terdapat tiga kemungkinan jenis amar putusan yang dibacakan. Pertama, adalah amar putusan yang menyatakan permohonan DPR tidak dapat diterima, karena tidak memenuhi syarat sebagaimana yang diatur dalam pasal 3, 4, 5, dan 6 Peraturan Mahkamah Konstitusi nomor 21 tahun 2009. Kedua, amar putusan yang membenarkan pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti bersalah melakukan pelanggaran hukum, maupun tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dan yang terakhir, amar putusan yang menolak pendapat DPR.

Implikasi Putusan MK
Ketentuan mengenai penindaklanjutan putusan MK terdapat dalam Pasal 7B ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UUD 1945. Apabila MK memberikan putusan yang membenarkan pendapat DPR mengenai pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka DPR wajib meneruskan pendapat tersebut kepada MPR. Sedangkan MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna untuk membahas penindaklanjutan putusan MK paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima pendapat DPR. Sidang paripurna MPR tersebut harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah Anggota MPR. Sebelum mengambil keputusan, terlebih dahulu Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan. Sedangkan keputusan sidang paripurna MPR harus diambil oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah Anggota MPR yang hadir.
Sebuah pertanyaan kritis adalah tentang bagaimana implikasi putusan MK yang membenarkan pendapat DPR. Dalam menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya terlebih dahulu menganalisis sifat putusan MK tentang pengujian pendapat DPR itu sendiri. Dalam hal ini pun, ada beberapa pendapat. Pertama, yang berpendapat bahwa putusan MK mengenai pendapat DPR adalah final dan mengikat. Putusan MK atas pendapat DPR itu adalah final dari segi yuridis.[x] Jadi, meskipun ada MPR yang melanjutkan proses impeachment, namun MPR tidak melakukan review atas putusan MK. MPR hanya menjatuhkan keputusan dari sisi politis dengan menggunakan mekanisme pengambilan suara terbanyak. Sehingga putusan MK adalah putusan yang final dari sisi yuridis. Kedua, kalangan yang berpendapat bahwa terdapat pemisahan antara putusan MK tentang pendapat DPR dengan putusan MK yang lainnya. UUD 1945 tidak menjelaskan bahwa putusan MK tentang pendapat DPR adalah final dan mengikat. Hal ini karena ada MPR sebagai tahapan terakhir dalam proses impeachment.
Perlu ditekankan bahwa impeachment berbeda dengan “removal from office” yang berarti memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dari masa jabatannya.[xi] Walaupun pengujian dakwaan impeachment telah melalui prosedur hukum, namun masih ada prosedur politis yang memungkinkan berhentinya Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya.
Terlepas dari sifat putusan MK, apakah final-mengikat atau tidak, Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak otomatis berhenti dari jabatannya. Perbedaan dari kedua pendapat diatas terletak dari sisi kedudukan putusan MK dalam sidang paripurna MPR. Jika yang dipakai pendapat yang pertama, maka MPR harus melaksanakan putusan MK secara kosekuen. Dengan demikian, mekanisme pengambilan suara terbanyak di MPR hanyalah untuk menjatuhkan sanksi yang tepat kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden harus berhenti dari jabatannya atau ada sanksi lain yang lebih tepat. Hal ini logis karena MK tidak memiliki kekuatan eksekutorial dalam menjalankan putusannya. 
Sedangkan jika yang dipakai adalah pendapat yang kedua, maka putusan MK hanya sebagai bahan pertimbangan dalam sidang paripurna MPR. Sidang paripurna MPR tidak langsung menjatuhkan sanksi kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden, melainkan harus menguji kembali benar atau tidaknya pendapat DPR. Dengan demikian, bukan tidak mungkin adanya kemungkinan keputusan MPR yang bertolak belakang dengan putusan MK.

Penutup
Sebagai sebuah lembaga peradilan konstitusional, MK memiliki kewajiban dalam menguji pendapat DPR mengenai pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sesuai dengan prinsip checks dan balances, tidak hanya legislatif, namun yudikatif juga memiliki keterlibatan dalam proses pertanggungjawaban eksekutif. Penting untuk diingat bahwa yang menjadi obyek sengketa adalah pendapat DPR, bukan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sehingga tidak menutup kemungkinan Presiden dan/atau Wakil Presiden didakwa dalam peradilan lainnya.
Permasalahan utama adalah dalam proses impeachment adalah ketentuan setelah amandemen UUD 1945 belum pernah dipergunakan. Sehingga perdebatan yang terjadi hanya dalam koridor teoritis. Sebaik apapun suatu perumusan norma hukum apabila belum dilaksanakan, maka belum dapat dilihat baik atau tidaknya implementasinya. Terkait dengan dualitas interpretasi implikasi putusan MK. Agar tidak terjadi kebingungan dalam masyarakat karena perbedaan antara putusan MK dan Keputusan Sidang Paripurna MPR, maka interpretasi yang digunakan adalah yang pertama. Dimana MPR hanya berwenang menentukan sanksi yang tepat terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden, tidak menguji kembali pendapat DPR Dengan demikian, putusan yuridis MK juga mendapatkan pengakuan.

Catatan:
 [i] Aidul Fitria Azhari. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Bertanggungjawab. Jurnal Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005, hal 90
 [ii] Kalimat aslinya adalah “Niemand kan een bevoegheid uitoefenen zonder verantwording schuldig te zijn of zonder dat of die uitoefening controle bestaan”. Lebih lanjut lihat Bagir Manan, 2003, Lembaga Kepresidenan (Yogyakarta: FH UII Press), hal 109
 [iii]Tim Peneliti Mahkamah Konstitusi, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Jakarta:Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2005), hal 29
 [iv] Keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment hanya sebatas kewajiban memutus pendapat DPR. Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memutuskan lebih jauh untuk memberhentikan atau tidak memberhentikan Presiden/Wakil Presiden jika pendapat DPR itu ternyata benar secara hukum
 [v] Pasal 20 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009
 [vi] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (Jakarta:Konstitusi Press.2005), hal 180
 [vii] Mengenai kewenangan konstitusional MK dalam memutus permohonan impeachment  terdapat dalam pasal 24C UUD 1945 setelah perubahan dan pasal 10 ayat (2) UU nomor24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
 [viii] Pasal 80 ayat (3) UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
 [ix] Pasal 7A UUD 1945 serta Pasal 80 ayat (2) UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
 [x] Tim Peneliti Mahkamah Konstitusi, op.cit, hal 87
 [xi] Ibid, hal 28

MEKANISME PENGAJUAN USUL IMPEACHMENT OLEH DPR


Pendahuluan
Setelah tulisan sebelumnya membahas pranata impeachment secara general, pada tulisan ini akan dibahas mengenai mekanisme pengajuan usul impeachment oleh DPR. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, impeachment merupakan proses pendakwaan pejabat negara atas perbuatan menyimpang yang dilakukannya. Pranata impeachment dimulai dengan adanya “article of impeachment”. Berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen, proses impeachment melalui tiga tahapan dalam tiga lembaga yang berbeda. Pertama, tahapan pengajuan usul dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR. Kedua, tahap pengujian usul DPR di Mahkamah Konstitusi (MK). Dan yang terakhir, tahap penindaklanjutan putusan MK mengenai usul DPR tersebut. Tulisan ini mencoba mengkhususkan diri pada tahapan pertama, yakni adanya pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Proses Impeachment Sebelum Amandemen UUD 1945
Sebelum membahas pranata impeachment yang terdapat dalam UUD 1945 hasil amandemen, ada baiknya jika diawali dengan membahas terlebih dahulu pranata impeachment sebelum berlakunya amandemen UUD 1945. Bisa dikatakan bahwa Indonesia telah empat kali melakukan pemberhentian Presiden dari masa jabatannya, yakni pada kasus Presiden Sukarno, Soeharto, Habibie dan Abdurrahman Wahid. Yang menarik dari ketentuan impeachment sebelum amandemen UUD 1945 adalah UUD 1945 tidak mengatur secara eksplisit dan detail mengenai hal tersebut. UUD 1945 hanya mengatur mengenai penggantian kekuasaan.
Pasal 8 UUD 1945 sebelum amandemen mengatur bahwa “Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”. Sedangkan Penjelasan UUD 1945 angka VII Alinea ketiga disebutkan bahwa “Jika Dewan Menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa meminta pertanggungjawaban Presiden”. Tidak adanya pengaturan yang eksplisit dan detail mengenai alasan dan mekanisme impeachment tersebut menyebabkan terjadinya kekosongan konstitusi (constitutionale vacuum) mengenai hal tersebut dalam UUD 1945.[i]
Tidak adanya pengaturan yang jelas mengani prosedur impeachment menyebabkan pelaksanaan impeachment cenderung ditafsirkan secara subyektif. Konsepsi impeachment ditafsirkan bahwa Presiden memiliki pertanggungjawaban politis kepada MPR. Presiden memiliki kewenangan secara derivatif melalui mekanisme mandat (mandaatsverlening) dan melalui pelimpahan kekuasaan dan tanggung jawab (delegatie) kepada MPR selaku penyelenggara kedaulatan rakyat.[ii] Oleh karena itu, MPR dapat sewaktu-waktu menarik kembali mandatnya apabila Presiden dianggap melangar haluan negara (dulu bernama GBHN) atau tidak lagi memenuhi syarat. 

Alasan yang Mendasari Proses Impeachment
Setelah amandemen UUD 1945, pranata impeachment dimulai dengan diajukannya pendapat dari DPR tentang dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang disebut juga “article of impeachment”. Pendapat DPR tersebut harus berdasarkan alasan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dianggap telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.[iii] Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, alasan impeachment terdiri dari dua: alasan hukum dan alasan politis. Mengacu pada pasal tersebut, alasan hukum adalah pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat. Sedangkan alasan politis adalah perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat.

1. Pengkhianatan Terhadap Negara
Substansi Pasal 7A UUD 1945 memang tidak membahas lebih detail masing-masing alasan tersebut. Namun, penjabarannya dapat ditemukan dalam Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Alasan pertama, penghianatan terhadap negara. UU MK mendeskripsikan pengkhianatan terhadap negara sebagai tindakan yang membahayakan keamanan negara. R. Soesilo berpendapat bahwa pada hakekatnya kepentingan negara dan pemerintahannya adalah kepentingan seluruh rakyat Indonesia dan kejahatan terhadap negara dan pemerintahannya yang harus dipandang sebagai pengkhianatan terhadap kepentingan rakyat.[iv] 
Mengenai kejahatan terhadap keamanan negara, pengaturannya terdapat dalam KUHP buku II. Menurut Wirjono Prodjodikoro, ada dua macam pengkhianatan. Pertama, pengkhianatan intern (hoogveraad) yang ditujukan untuk mengubah struktur kenegaraan atau struktur pemerintahan yang ada, termasuk juga tindak pidana terhadap kepala negara. Jadi, mengenai keamanan intern (inwendige veiligheid) dari negara. Kedua, pengkhianatan ekstern (landverraad) yang ditujukan untuk membahayakan keamanan negara terhadap serangan dari luar negeri. Jadi, mengenai keamanan ekstra (uitwendige veiligheid) dari negara. Misalnya, memberikan pertolongan kepada negara asing yang bermusuhan dengan Indonesia.[v]

2. Korupsi dan Penyuapan
Alasan yang kedua adalah korupsi dan penyuapan. Menurut UU MK yang dimaksud korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi dan penyuapan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.[vi]  Dimasukkannya korupsi dan penyuapan sebagai alasan impeachment adalah menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi dan penyuapan merupakan suatu kejahatan yang membahayakan kepentingan negara dan masyarakat secara luas karena terkait dengan perekonomian negara. Lebih lanjut menurut Singgih, korupsi dan penyuapan menyebabkan berkurangnya investasi, bahkan dalam jangka panjang dapat menghapus investasi yang pengaruhnya lebih kompleks, termasuk didalamnya polarisasi sosial, tidak adanya penghargaan terhadap hak asasi manusia, praktek-praktek yang tidak demokratis, serta penyimpangan dana untuk pemberian pelayanan kepentingan umum.[vii]

3. Tindak Pidana Berat Lainnya
Alasan ketiga adalah tindak pidana berat lainnya. Menurut UU MK, yang dimaksud tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih. Definisi tindak pidana berat sebenarnya tidak jelas mengacu pada alasan atau landasan hukum tertentu, sebab istilah tindak pidana berat itu sendiri tidak dikenal dalam doktrin hukum pidana.[viii]  
Konsep ini diambil dari konsep “other high crimes” di Amerika Serikat, seperti yang diatur dalam Article II Section 4 United States of America Constitution. John Roland berpendapat bahwa konsep tersebut masih multi tafsir. Menurutnya, yang dimaksud unsur “berat” dalam tindak pidana berat tidak difokuskan pada tingkat keseriusan tindak pidananya, melainkan pada individunya, yang mana merupakan pejabat publik.[ix]  Namun demikian, definisi yang diberikan UU MK setidaknya memberikan parameter yang jelas atas konsep “Tindak Pidana Berat” yang berarti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.[x]

4. Perbuatan Tercela
Alasan keempat adalah perbuatan tercela. Perbuatan tercela menurut UU MK adalah perbuatan yang dapat merendahkan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Definisi ini sebenarnya masih multi tafsir, karena pada dasarnya seluruh perbuatan melanggar hukum, termasuk kejahatan terhadap keamanan negara, korupsi, penyuapan, maupun tindak pidana yang diancam hukuman lima tahun atau lebih merupakan perbuatan tercela.
Namun jika dihubungkan dengan salah satu syarat calon Presiden dan Wakil Presiden yaitu tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang ada dalam penjelasan Pasal 5 huruf i UU nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pasal ini menyatakan sebagai tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma adat antara lain seperti judi, mabuk, pecandu narkoba, dan zina. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terminologi perbuatan tercela menjadi lebih luas, yakni mencakup juga perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat.

5. Tidak Lagi Memenuhi Syarat
Alasan kelima adalah tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Menurut UU MK, syarat yang dimaksud adalah syarat sebagaimana yang ditentukan pada pasal 6 UUD 1945. Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan syarat-syarat Presiden dan Wakil Presiden adalah:
• seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri;
• tidak pernah mengkhianati negara; dan
• mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden

Mekanisme Pengajuan Pendapat DPR
Pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden pada hakekatnya merupakan implementasi fungsi pengawasan eksekutif oleh legislatif. Fungsi pengawasan eksekutif ini dilaksanakan melalui Hak Menyatakan Pendapat DPR.[xi]  Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR atas kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional; tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.[xii]
Mengenai mekanisme pelaksanaan Hak menyatakan pendapat, terdapat dalam Tata Tertib internal DPR. Dalam tulisan ini dipergunakan Peraturan Tata Tertib DPR RI tahun 2005. (1) Pengajuan usul menyatakan pendapat mengenai dugaan yang menjadi awal dakwaan impeachment diajukan oleh sekurang-kurangnya 13 orang Anggota DPR. Usul tersebut beserta penjelasannya disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR, yang disertai dengan daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama fraksinya.(2) Dalam Rapat Paripuma, setelah usul menyatakan pendapat diterima oleh Pimpinan DPR, Pimpinan DPR memberitahukan kepada Anggota DPR tentang masuknya usul menyatakan pendapat, kemudian usul tersebut dibagikan kepada seluruh Anggota DPR. Usulan tersebut kemudian dibahas dalam Rapat Badan Musyawarah untuk menentukan waktu dan agenda Rapat Paripurna berikutnya. Dalam Rapat Badan Musyawarah ini, Anggota DPR yang mengusulkan pendapat atas tuntutan impeachment (Pengusul) juga berhak untuk memberikan penjelasan. 
(3) Dalam Rapat Paripurna berikutnya, Fraksi-Fraksi diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya atas usulan tersebut. Kemudian, kepada pengusul diberikan hak untuk menjawab pandangan Fraksi itu. (4) Selanjutnya, Rapat Paripurna memutuskan apakah usulan hak menyatakan pendapat tersebut secara prinsip dapat diterima atau tidak. Jika Rapat Paripurna memutuskan untuk menolak usulan hak menyatakan pendapat maka usulan tersebut tidak dapat diajukan kembali pada masa sidang itu. Namun bila Rapat Paripurna menyetujui usulan hak menyatakan pendapat, DPR kemudian membentuk Panitia Khusus.
(5) Tugas Panitia Khusus adalah melakukan pembahasan mengenai alasan yang mendasari proses impeachment. (6) Setelah pembahasan dilanjutkan dengan pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna untuk menyetujui atau menolak pernyataan pendapat tersebut. (7) Pengambilan keputusan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah seluruh Anggota DPR. Sedangkan keputusan untuk menyetujui atau menolak pernyataan pendapat harus didukung sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah Anggota DPR yang hadir dalam rapat tersebut. (8) Terakhir, keputusan yang menyetujui usulan impeachment diajukan ke MK.

Penutup
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, dimasukkannya korupsi dan penyuapan sebagai alasan impeachment. Korupsi dan penyuapan dimaknai sebagai kejahatan yang dapat membahayakan kepentingan ekonomi negara. Apalagi jika dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini juga sesuai dengan tujuan negara pasca reformasi, yakni untuk memberantas korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, pemahaman mengenai alasan “tindak pidana berat lainnya”. Pada hakekatnya, unsur tindak pidana berat lebih menekankan pada tingkat keseriusan sebuah tindak pidana. Memang, sulit untuk menentukan parameter seperti apakah yang dapat mengukur tingkat keseriusan suatu tindak pidana. Namun setidaknya, UU MK kemudian memberikan parameter yang jelas pada lamanya sanksi pidana yang dijatuhkan, yaitu lima tahun atau lebih.
Ketiga, alasan perbuatan tercela sebagai salah satu alasan impeachment merupakan hal yang sangat relatif. Begitu pula bila dimaknai sebagai “tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma adat”. Ketiga norma tersebut sangat luas dan tidak memiliki batasan yang jelas. Sehingga alasan ini dapat ditafsirkan secara bebas. Kelima, alasan tidak lagi memenuhi syarat. Misalnya dalam kasus impeachment Presiden Abdurrahman Wahid, dipakai alasan bahwa Presiden tidak mampu secara fisik untuk melaksanakan tugasnya. Mengapa tidak dari awal pemilihan Presiden hal ini dijadikan bahan pertimbangan? Ketentuan ini sangat multi tafsir dan rawan penyalahgunaan.
Namun satu hal yang penting, proses DPR dalam mengambil keputusan pengajuan usul impeachment harus melalui proses yang panjang dan sangat kompleks. Sehingga tidak mudah bagi DPR untuk mengajukan usul. Dengan demikian, stabilitas pemerintahan pun dapat terjaga. Usul impeachment dapat berhasil hanya apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden memang benar-benar telah melanggar alasan yang terdapat dalam konstitusi.

Catatan: 
 [i] Tim Peneliti Mahkamah Konstitusi, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Jakarta:Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2005), hal 42
 [ii] Ibid, hal 29
 [iii] Pasal 7A UUD Negara Republik Indonesia  Tahun 1945
 [iv] Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden:Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, (Jakarta;Konstitusi Press, 2005), hal. 3
 [v] Tim Peneliti Mahkamah Konstitusi, op.cit, hal 65
 [vi] Tindak pidana korupsi dan penyuapan telah diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
 [vii] Singgih, Dunia pun Memerangi Korupsi, hal 118-119, dalam Hamdan Zoelva.,op.cit, hal 59
 [viii] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (Jakarta:Konstitusi Press, 2005), hal 69
 [ix] Karina Amanda, 2006, Tinjauan Ketatanegaraan Terhadap Mekanisme dan Pengaturan Impeachment di Indonesia Menurut Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Setelah Perubahan. Skripsi yang disampaikan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal 150
 [x] Tim Peneliti Mahkamah Konstitusi, op.cit, hal 69
 [xi]  Berdasarkan Pasal 77 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD, DPR memiliki hak angket, hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat
 [xii] Pasal 77 ayat (4) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD