Sabtu, 05 Februari 2011

IMPEACHMENT DALAM SISTEM KETATANEGARAAN

Pendahuluan
Pemerintahan jilid II Presiden SBY kembali dihantui oleh isu impeachment. Setelah tahun lalu isu impeachment hadir ketika DPR mengusulkan hak angket kasus Century, kini dalam penyelesaian kasus mafia pajak, isu impeachment bergulir kembali. Bola politik impeachment seolah menjadi hantu yang terus mengusik proses pemerintahan.
Apakah sebenarnya impeachment itu? Dan bagaimana sebenarnya eksistensinya dalam sistem ketatanegaraan? Tulisan ini akan mengkaji secara ringkas hakekat impeachment dalam sistem ketatanegaraan negara-negara di dunia.

Tinjauan Umum Impeachment
Pranata impeachment secara general diartikan sebagai sebuah proses pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya. Sebenarnya, lingkup pranata impeachment lebih luas dari sekedar proses pemberhentian Presiden. Jika dilihat secara tekstual, istilah impeachment berasal dari kata “to impeach”, yang menurut Webster’s New World Dictionary berarti “to bring (a public official) before the proper tribunal on the charges of wrongdoing”.[i] Sedangkan dalam Black’s Law Dictionary, impeachment didefinisikan sebagai “A criminal proceeding against a public officer, before a quasi political court, instituted by a written accusation called ‘articles of impeachment”.[ii]  
Bila dilihat dari perspektif historis, istilah impeachment menurut Richard A. Posner dalam buku “The Investigation, Impeachment, and Trial of President Clinton”, berasal dari abad ke-14 di Inggris.[iii] Parlemen Inggris menggunakan pranata impeachment sebagai sarana untuk mendakwakan pejabat-pejabat tinggi dan individu individu yang memiliki kekuasaan, yang terkait dalam kasus korupsi, atau hal-hal lain yang bukan merupakan kewenangan pengadilan biasa. 
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pranata impeachment merupakan proses pendakwaan pejabat negara dihadapan lembaga atas perbuatan menyimpang yang dilakukannya. Impeachment dimulai dengan adanya surat dakwaan yang disebut “article of impeachment”. Dalam sistem pemerintahan parlementer, hal ini dikenal dengan nama “mosi tidak percaya” . Pranata impeachment merupakan salah satu kekuasaan yang dipegang oleh lembaga legislatif, yang disebut “quasi political court”. Impeachment merupakan salah satu bentuk kontrol dari legislatif terhadap pejabat negara dalam melaksanakan tugasnya.

Alasan yang Mendasari Proses Impeachment
Sebagaimana yang dikemukakan diatas, impeachment merupakan proses pendakwaan pejabat negara atas tindakannya yang menyimpang. Dalam sistem pemerintahan presidensil, impeachment kemudian diadopsi sebagai pranata pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden atas perbuatan menyimpang yang dilakukannya. Sebagaimana yang dikatakan Belifante dalam bukunya “Beginselen Van Nederlandse Staatsrecht” bahwa salah satu unsur penting dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara adalah pertanggungjawaban Presiden.[v] Oleh karena itu, alasan dilakukannya impeachment harus disebutkan secara tegas agar tidak dijalankan secara sewenang-wenang. Di beberapa negara, alasan impeachment dicantumkan dalam konstitusi negara.
Di AS, terdapat empat alasan yang mendasari dilakukannya impeachment. Hal ini dapat dilihat dalam Konstitusi Amerika Serikat Article 2 Section 4 yang menyatakan, “The President, Vice President, and all civil officers of the United States, shall be removed from office on impeachment for and conviction of treason (pengkhianatan terhadap negara), bribery (penyuapan), or other high crimes (tindak pidana berat lainnya) and misdemeanors (perbuatan tercela).
Sedangkan Fillipina menganut ketentuan yang lebih luas. Konstitusi Filipina Article XI Section 2 mengatur “The President, The Vice-President, The Members of The supreme Court, The Members of The Constitutional Commissions, and The Ombudsman may be removed on impeachment for, an convictions of, culpable of constitution (kealpaan terhadap ketentuan konstitusi), treason (pengkhianatan terhadap negara), bribery (penyuapan), graft (penyogokan), and corruption (korupsi), other high crimes (tindak pidana berat lainnya), and betrayal of public trust (penghianatan terhadap kepercayaan publik) ...”.
Dari pemaparan diatas, alasan impeachment dapat dibagi menjadi dua: alasan hukum dan alasan politis. Alasan hukum berdasarkan atas pelanggaran hukum materiil yang dilakukan pejabat negara, seperti pengkhianatan, penyuapan, korupsi, dan tindak pidana berat lainnya. Sedangkan alasan politis yang tidak berdasarkan hukum materiil, seperti perbuatan tercela, dan pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.

Keterlibatan Lembaga Yudikatif dalam Proses Impeachment
Sudah dijelaskan bahwa alasan impeachment terdiri atas alasan hukum dan alasan politis. Khusus untuk alasan hukum, tentunya diperlukan peran lembaga yudikatif dalam memutus benar-tidaknya alasan tersebut. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan dasar yuridis dalam pembuktiannya. Berbeda dengan proses peradilan umum, proses peradilan impeachment merupakan peradilan politis, sehingga tidak dikenal adanya sanksi pidana, baik denda maupun kurungan. Namun demikian, seorang subyek impeachment dapat disidangkan kembali dalam peradilan umum dengan proses penuntutan yang dimulai dari awal sesuai dengan dakwaan yang ditujukan atasnya.[vi] Dengan demikian, tidak berlaku asas nebis in idem, karena berbedanya lingkup peradilan.
Lembaga peradilan manakah yang berwenang mengadili proses impeachment? Bagi negara yang tidak memiliki lembaga peradilan konstitusional yang mandiri, proses tersebut dilakukan di lembaga peradilan tertinggi. Seperti di AS dilakukan di Supreme Court. Namun, bila negara tersebut memiliki lembaga peradilan konstitusional yang mandiri, maka proses impeachment dilakukan di lingkungan peradilan konstitusional.

Dampak Impeachment
Patut ditegaskan bahwa pranata impeachment menekankan proses pendakwaan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pejabat negara, bukan pada akibat terhadap berhentinya pejabat negara dari jabatannya. impeachment hanyalah pranata untuk memungkinkan dilakukannya pemberhentian terhadap pejabat publik, tetapi hasilnya tergantung proses pembuktian hukum dan proses politik yang menentukan kemungkinan dilakukan atau tidaknya pemberhentian itu.
Di AS, ada perbedaan antara pengertian impeachment dengan "removal from office" yang berarti pemberhentian dari jabatan. Pranata impeachment hanyalah sebuah sarana untuk memungkinkan dilakukannya pemberhentian terhadap pejabat negara, tetapi hasilnya tergantung proses pembuktian hukum dan proses politik yang menentukan kemungkinan dilakukan atau tidaknya pemberhentian itu. Inilah sebabnya mengapa dalam beberapa kali proses impeachment, misalnya pada Andrew Johnson, Richard Nixon[viii], dan terakhir pada William Clinton, tidak ada yang berakhir pada berhentinya Presiden. 

Penutup
Impeachment merupakan sebuah pranata pendakwaan pejabat negara yang dimulai dengan adanya “article of impeachment”. Impeachment bermula dari Inggris, sebagai sarana parlemen untuk mendakwa pejabat publik dan penguasa, terkait tindakan menyimpang yang dilakukannya. Dari Inggris, pranata impeachment kemudian diadopsi oleh berbagai negara dengan pengaturan yang berbeda-beda.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal menarik. Pertama, dalam perkembangannya, impeachment kemudian diadopsi menjadi sarana untuk mendakwa Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kedua, alasan impeachment berbeda-beda pada tiap negara, tegantung pengaturannya dalam konstitusi. Meskipun secara umum ada dua alasan: politis dan hukum. Ketiga, proses pembuktian dakwaan impeachment dilakukan pada lingkungan peradilan yang khusus yang berbeda dengan peradilan umum. Keempat, meskipun impeachment memungkinkan berhentinya pejabat negara dari jabatannya, namun proses politik lah yang menentukan berhentinya pejabat negara.

Catatan: 
[i] Victoria Neufeldt, 1991, Webster’s New World Dictionary (New York: Prentice Hall), hal. 676
 [ii]Tim Peneliti Mahkamah Konstitusi, 2005, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Jakarta:Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan MKRI), hal 6
 [iii] Ibid, hal 4
 [iv]Ridho, 2003, Pengaturan dan Mekanisme Impeachment di Indonesia Dikaitkan Dengan pembentukan Mahkamah Konstitusi (suatu Studi Teoritis dan Komparatif-Praktis). Skripsi yang disampaikan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok, hal 72
 [v] Kalimat aslinya adalah Niemand kan een bevoegheid uitoefenen zonder verantwording schuldig te zijn of zonder dat of die uitoefening controle bestaan. Lebih lanjut lihat Bagir Manan, 2003, Lembaga Kepresidenan (Yogyakarta: FH UII Press), hal 109
 [vi] Tim Peneliti Mahkamah Konstitusi, ibid, hal 28
 [vii] Ibid, hal 28
 [viii] Dalam kasus Presiden Richard Nixon, ia berhenti dari jabatannya karena mengundurkan diri pada saat proses impeachment masih berlangsung dan belum sampai pada putusan.

Kamis, 03 Februari 2011

TEORI MATERIALISME-HISTORIS

Pendahuluan
Siapa yang tidak kenal marxisme. Ideologi perjuangan yang dipopulerkan oleh duo filsof dan sosiolog Jerman, Karl Marx dan Friedrich Engels ini telah menjadi basis intelektual bagi gerakan perjuangan sosial para buruh sejak akhir abad ke-19. Bahkan Vladimir Ilyic Ulyanov (Lenin), mengadopsi marxisme menjadi sebuah bagian integral dalam sistem pemerintahan totaliter Uni Sovyet. Sebuah negara yang pernah menjadi salah satu kekuatan utama dunia.
Sekarang marxisme tampaknya menjadi sesuatu yang “basi”. Banyak yang menganggap dalam tataran praktis, marxisme sudah tidak sesuai lagi dengan konstelasi politik negara-negara dewasa ini. Mungkin hal ini ada benarnya. Namun, sebagai tambahan wawasan intelektual, tidak ada salahnya mengkaji secara teoritis ideologi perjuangan sosial ini. Bukan pada tempatnya untuk membahas marxisme secara komprehensif. Namun, tulisan ini mencoba menggali lebih lanjut inti dari ideologi Marxisme: teori materialisme-historis.

Manusia dan Proses Produksi
Marx-Engels mencoba melihat sejarah dari perspektif hubungan antara manusia dengan alam. Menurut Marx-Engels, manusia adalah makhluk individu yang bebas dan universal. Bebas berarti manusia bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya semata. Sedangkan universal berarti manusia dapat mengeksploitasi sumber daya yang ada di alam. “Bagi manusia sosialis, semua yang disebut sejarah dunia tidak lain adalah penciptaan manusia melalui pekerjaan manusia, terjadinya alam bagi manusia.”[1] 
Manusia yang bebas dan universal itu dapat membuat sebuah produksi yang merealisasikan dirinya sendiri kepada lingkungan sosialnya. Produksi manusia tersebutlah yang menghasilkan kebudayaan, ilmu pengetahuan, serta alat-alat kerja. Pekerjaan dan produksi manusia dianggap sebagai faktor determinan dalam menentukan bentuk masyarakat dan perkembangannnya. Inilah yang oleh Marx-Engels disebut sebagai “syarat obyektif perkembangan masyarakat.”[ii] 
Pandangan Marx-Engels tentang sejarah sebenarnya sistematis dan sederhana, namun mencakup fakta yang cukup rumit dan kompleks. Materialisme-historis Marx-Engels bertolak pada pekerjaan dan produksi manusia. Marx-Engels menolak pendapat Hegel yang menyatakan “absolute idée” atau apa yang dipikirkan oleh manusia sebagai faktor determinan dalam sejarah. Sebagaimana yang dikatakan Marx dalam German Ideology:
“kami tidak bertolak dari apa yang dikatakan orang, dari bayangan dan cita-cita orang, kamu bertolak dari manusia yang nyata dan aktif, dari proses hidup nyata merekalah perkembangan reflex-refleks serta gema-gema ideologis proses hidup itu dijelaskan.”[iii] 
Premis bahwa pekerjaan dan produksi yang menentukan keadaan sosial manusia inilah yang dinamakan paham materialis. Dinamakan materialis karena sejarah dianggap ditentukan oleh hal materiil (syarat-syarat produksi). Perkembangan sejarah manusia bukan berasal dari kemauan individu, melainkan dari insting manusia untuk dapat melakukan kegiatan produksi secara efektif berdasarkan logika dialektis[iv]. Dengan demikian, manusia dalam perkembangannya terikat pada tujuan untuk mengusahakan proses produksi secara efektif.

Hak Milik Pribadi dan Pertentangan Kelas
“Sejarah semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas”. Demikian kata-kata permulaan dalam buku Manifesto Komunis. Teori kelas merupakan salah satu kontribusi Marx-Engels dalam ilmu sosiologi. Marx-Engels sendiri belum mendefinisikan istilah kelas. Jika kita mengambil istilah yang dipakai Lenin, maka “kelas” adalah: “golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi.”[v] Dengan demikian, kelas muncul sebagai implikasi adanya kegiatan produksi.
Eksistensi kelas dimulai sejak adanya pembagian kerja. Ketika manusia mulai hidup secara berkelompok, pekerjaan mulai dibagi. Dari produksi alat kerja, pertanian, dan perburuan. Orang yang paling kuat menjadi pemimpin yang mengorganisir pembagian kerja tersebut, yang kemudian memonopoli faktor produksi, sehingga menimbulkan sistem hak milik pribadi. Sistem inilah yang kemudian membagi masyarakat kedalam kelas yang saling bertentangan.
Struktur kelas dalam masyarakat tidak terjadi secara kebetulan. Ia merupakan tuntuan dari efesiensi proses produksi. Tentunya berdasarkan kepemilikan hak milik pribadi. Kelas pemegang hak milik berada diatas, sedangkan kelas yang lain menjadi pekerja dalam proses produksi.
Sistem hak milik pribadi memberi ruang bagi eksploitasi antar kelas. Pada masyarakat feodal, ikatan feodalisme menjadikan kelas rakyat sebagai sasaran eksploitasi kelas bangsawan aristokrat. Nasib yang sama juga berlaku pada masyarakat kapitalis. Dengan kelas borjuasi sebagai pemegang kekuasaan yang baru, tatanan feodal berubah menjadi tatanan industri. Pertanian diubah menjadi pabrik. Para petani yang kehilangan lahan berubah menjadi buruh pabrik dengan nasib yang masih sama: tereksploitasi.
Menurut Marx-Engels tiap orang akan bertindak sesuai dengan kepentingan kelasnya. Dalam perspektif ini, yang menjadi aktor sejarah bukanlah perorangan atau kelompok, namun kelas sosial dalam masyarakat. Revolusi Prancis misalnya, merupakan hasil perjuangan kelas borjuis yang berusaha mencari kebebasan ekspansi perdagangan. Jadi, meskipun kebijaksanaan tetap diambil oleh orang tertentu, secara obyektif akan selalu bergerak kearah kepentingan kelasnya.

Konstruksi Masyarakat: Antara Basis dan Bangunan Atas
Salah satu pemahaman yang menjadi inti teori materialis sejarah adalah pembagian konstruksi masyarakat. Marx-Engels membagi masyarakat menjadi dua bagian besar: "basis" dan "bangunan atas".[vi] "Basis" adalah dasar dimana eskalasi proses produksi dan hubungan sosial berada. Basis ditentukan oleh dua faktor: tenaga produktif (mencakup tenaga kerja, alat produksi, dan teknologi), dan hubungan produksi (pembagian kerja). Sedangkan "bangunan atas" merupakan bangunan suprastruktur yang berada diluar proses produksi. Bangunan atas dibagi atas tatanan institusional (negara dan sistem didalamnya) dan bangunan atas ideologis (agama, ideologi, dan sistem norma).
Hubungan antara "basis" dan "bangunan atas" selalu berupa struktur kekuasaan ekonomis. Oleh karena itu, "bangunan atas" selalu dikuasai oleh para pemegang hak milik. Marx-Engels berpendapat bahwa negara, agama, dan ideologi merupakan alat kelas atas untuk mempertahankan kekuasaannya. Negara bukanlah wasit netral yang bertugas demi kepentingan umum. Inilah yang disebut Marx-Engels sebagai negara kelas. Negara yang dikuasai dan dipakai untuk kepentingan kelas atas.
Karena negara akan mengamankan kekuasaan kelas atas, maka negara tidak bisa diharapkan dalam melakukan perubahan. Perubahan datang bukan dari "bangunan atas", melainkan dari "basis". Marx-Engels beranggapan bahwa justru karena "basis" merupakan eskalasi proses produksi, maka "basis" merupakan faktor yang dinamis. Akibat tuntutan efektifitas produksi, maka elemen dalam "basis" akan terus ditingkatkan. Tenaga kerja akan terus meningkatkan kemampuannya dan menekan kelas atas. Dalam bahasa Marx-Engels ini disebut "pembalikan struktur kekuasaan". Buruh yang semakin berkembang kemudian menekan pemilik modal. Revolusi proletariat kemudian tak terelakkan lagi, ketika buruh menyadari eksistensinya sebagai kelas dan secara revolusioner manghancurkan struktur bangunan atas. Marx-Engels menekankan bahwa perubahan hanya terjadi secara revolusioner.

Menuju Masyarakat Komunisme
Teori materialisme-historis memberi pemahaman bahwa sistem kapitalisme dan hak milik pribadi bukanlah kesalahan sejarah, melainkan sebuah tahapan bagi terciptanya sebuah masyarakat ideal. Sistem hak milik pribadi merupakan hal yang tak terelakkan demi mengejar efektifitas proses produksi. Terlepas dari segala keburukannya, sistem kapitalisme dan hak milik pribadi telah memberikan kontribusi yang sangat besar kepada peradaban manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi disegala bidang tumbuh dengan pesat melebihi apa yang telah dicapai manusia.
Tahapan sejarah manusia versi Marx-Engels yang terakhir adalah terciptanya masyarakat komunisme. Masyarakat komunisme dimata Marx-Engels adalah penghapusan “positif”[vii] hak milik pribadi sebagai keterasingan manusia dan kepemilikan nyata oleh dan untuk seluruh manusia. Oleh karena itu, bertahun-tahun Marx-Engels mencari syarat obyektif hapusnya hak milik.
Kapankah hak milik akan hapus? Dalam masyarakat kapitalis, persaingan menyebabkan industri dengan modal terbatas akan bangkrut. Ekonomi akan dikuasai segelintir orang dengan modal besar. Jumlah buruh akan terus meningkat, sedangkan lapangan kerja terbatas. Pada tahap inilah buruh akan sadar dengan keadaannya yang tereksploitasi. Mereka kemudian bersatu membentuk serikat buruh, dan menekan pemilik modal. Tujuan mereka bukan lagi kenaikan upah, melainkan perubahan struktur sosial dengan penghapusan hak milik.
Di mata Marx-Engels, perubahan hanya akan terjadi dengan revolusi. Kenaikan upah tidak akan menghapus eksploitasi. Pembalikan struktur sosial melalui revolusilah yang akan menyelamatkan nasib buruh. Revolusi proletariat awalnya akan bersifat politis, dalam arti proletariat akan menggunakan kekuasaan negara untuk mencabut hak milik. Komunis pada awalnya adalah sosialis: nasionalisasi. Ketika hak milik dihapus seluruhnya dan tidak ada lagi perbedaan kelas dalam masyarakat, maka dengan sendirinya eksistensi negara akan hilang.
Sebenarnya, bentuk masyarakat komunis versi Marx-Engels mirip dengan ide masyarakat ideal sosialisme utopis ratusan tahun sebelumnya. “Dalam masyarakat komunis, masing-masing orang tidak terbatas pada kegiatan esklusif, melainkan dapat mencapai kecakapan dalam bidang apapun, masyarakat mengatur produksi umum…”. Kata-kata Marx-Engels ini sebenarnya masih sangat abstrak dan hampir tidak mungkin dalam implementasinya. Marx-Engels mengeleminir peran negara yang seharusnya sangat vital. Negara dipahami sebagai kekuatan suprasturktur yang hanya mendukung kepentingan kelas atas. Dalam hal ini komunisme kemudian menjadi anarkisme.

Tanggapan
Secara general, teori materialisme historis meninjau perkembangan sejarah manusia sebagai sebuah perkembangan faktor produksi, dari pembagian kerja hingga terciptanya sistem kapitalisme. Marx-Engels juga menjadi salah satu pencetus teori kelas pertama yang didasarkan atas faktor produksi. Kontribusi Marx-Engels lainnya adalah pemberian dasar ilmiah bagi terciptanya masyarakat komunis tanpa hak milik. Satu hal yang membedaannya dengan sosialisme utopis.
Ada beberapa hal yang sekiranya perlu ditanggapi. Pertama, Marx mengeleminasi peran faktor lain seperti ideologi dan agama dalam perkembangan sejarah. Tidak dapat dinafikan bahwa agama dan ideologi telah menjadi faktor yang dominan dalam perjuangan anti-kolonialisme awal abad ke-20. Kedua, peran negara yang direduksi sebagai alat kelas atas dalam mempertahankan kekuasaanya, sehingga ketika diferensiasi kelas dihapus maka dengan sendirinya peran negara akan hilang. Dalam masyarakat modern yang kompleks, hampir tidak mungkin peran negara dihapus. Jika demikian, tidak ada lagi kekuatan pemaksa yang dapat menjaga ketertiban umum. Ketiga, revolusi proletariat sebagai jalan menghapus eksploitasi buruh. Apakah eksploitasi buruh sedemikian parahnya dan tidak mungkin diadakan perdamaian hingga revolusi menjadi satu-satunya jalan keluar.
Beberapa tanggapan tersebut menjadi pertanyaan yang menarik untuk dibahas. Akhir kata, menarik untuk dilihat apakah prediksi Marx-Engels tentang revolusi proletariat akan benar-benar berhasil menghapus ekspolitasi buruh, atau hanya akan menjadi negara totaliter seperti Uni Sovyet. Apakah masyarakat komunis tanpa negara tersebut adalah sebuah keharusan sejarah atau hanya khayalan Marx-Engels, seperti tokoh sosialisme utopis lainnya.

Catatan:
[i] Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosiologi Utopis ke Perselisihan Revisionisme, 2010 (Gramedia Pustaka Utama:Jakarta), hal 93
[ii]Marx-Engels mengemukakan bahwa sosialismenya adalah sosialisme ilmiah, karena berdasarkan pada penelitian syarat-syarat obyektif perkembangan masyarakat. Titik kunci dari perkembangan masyarakat adalah adanya hak milik pribadi atas faktor produksi. Menurut Marx-Engels, komunisme akan datang ketika syarat-syarat obyektif penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi telah terpenuhi. “kami menyebut komunisme gerakan nyata yang meniadakan keadaan sekarang. Syarat-syarat gerakan itu dapat disimpulkan dari pengandaian yang terdapat sekarang.” Lihat Franz Magnis Suseno, ibid, hal 137
[iii]Ibid, hal 139
[iv]Dalam hal ini Marx-Engels dipengaruhi pemikiran Hegel. Menurut Hegel, pikiran manusia merupakan sebuah proses kontradiksi. Dalam bahasa Hegel disebut tesis, antitesis, dan sintesis. Tesis dinegasikan oleh sebuah antithesis, kontradiksi ini dileburkan menjadi sebuah pemikiran baru yang dinamakan sintesis, begitu seterusnya hingga menghasilkan pemikiran final yang disebut absolute idée. Marx-Engels mengadopsi teori ini. Pemikiran manusia terus mengalami negasi demi menghasilkan produksi yang baru. Lebih lanjut baca Tan Malaka, Madilog, cet ke-3, 2000, (Teplok Press:Jakarta), hal 140-143
[v]Franz Magnis Suseno, ibid, hal 111
[vi]Lebih lanjut baca Franz Magnis Suseno, ibid, hal 143-146
[vii]Positif dalam arti bahwa hanya hak milik pribadi yang dihapuskan, namun semua prestasi kapitalisme yang semula dimiliki kelas atas akan dimiliki oleh masyarakat secara keseluruhan. Marx-Engels menolak komunisme brutal yang bertujuan menghancurkan seluruh peninggalan kelas atas. Dengan demikian, pencapaian sistem kapitalis dapat dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat.

TAN MALAKA: BAPAK REVOLUSI INDONESIA

Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas kisah perjuangan dari salah satu founding father Indonesia, yaitu Tan Malaka. Mungkin banyak diantara kita yang tidak mengenal tokoh yang dijuluki Bapak Revolusi Indonesia ini. Hal ini mungkin karena latar belakangnya yang dibilang komunis, serta sepak terjangnya yang termasuk revolusioner, sehingga keberadaannya seolah “dihapus” dalam sejarah Bangsa Indonesia. Padahal, jika mempelajari sejarah bangsa ini secara seksama, sebenarnya Tan Malaka memiliki banyak sekali pengaruh dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Tingkat popularitas Tan Malaka sangat kecil bila dibandingkan dengan bapak pendiri negara lainnya, seperi Sukarno, Hatta, atau Sjahrir. Namun, tokoh yang lebih banyak bekerja dibalik bayang-bayang ini, disadari atau tidak, memiliki pengaruh yang signifikan. Peristiwa Rengasdengklok yang menjadi titik balik perjuangan kemerdekaan Indonesia, diyakini beberapa kalangan, tidak lepas dari pengaruh oleh tokoh fenomenal yang satu ini.

Profil Tan Malaka
Tan Malaka lahir pada tanggal 2 Juni 1887 di Nagari Pandan Gadang, Kabupaten Suliki, Sumatera Barat. Nama kecilnya adalah Ibrahim. Seperti layaknya orang Padang pada umumnya, Ibrahim kecil dibesarkan dalam keluarga Islam yang taat. Ia merupakan seorang santri yang mengenyam pendidikan di sekolah Islam di daerah Bukittinggi. Pada tahun 1912, Ibrahim kemudian melanjutkan sekolahnya di Harleem, Belanda. Di masa mendatang, pemahamannya tentang Islam memberi pengaruh yang signifikan terhadap pemikirannya. Setelah dewasa, ia kemudian dianugerahi gelar Datuk Tan Malaka.
Tan Malaka dikenal sebagai seorang tokoh dengan semangat radikal dan anti-kolonialisme. Ia menentang segala bentuk penindasan yang dilakukan oleh bangsa barat terhadap bangsa lain, khususnya di Asia Tenggara. Sehingga ia menolak aksi kompromi terhadap pemerintah kolonial. Tan Malaka beranggapan bahwa Indonesia dapat merdeka apabila melalui suatu tindakan revolusioner. Mungkin akibat semangat radikalnya, ia kurang dekat Hatta dan Syahrir, tokoh pergerakan nasional lain yang juga dari Sumatera Barat.
Pergerakan Tan Malaka dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagian besar dilakukannya dalam pelarian. Sejak diusir dari Indonesia tahun 1922, Tan Malaka berkelana ke Eropa, China, Singapura, dan Filipina selama hampir 20 tahun. Selama dalam pelarian, Tan Malaka banyak melahirkan tulisan yang mempengaruhi pemikiran tokoh pergerakan di Indonesia. Konon katanya, W.R. Soepratman terinspirasi oleh buku Naar de Republik Indonesia (1925) saat menulis lagu ‘Indonesia Raya’.

Tan Malaka dan Komunisme
Pemikiran radikal Tan Malaka muncul ketika ia menjadi seorang guru pada tahun 1919 di sebuah perkebunan di Deli, Sumatera Utara. Ketimpangan nasib buruh perkebunan dengan majikannya yang warga asing membuatnya gerah dengan kolonialisme dan imperialisme Barat. Pemikirannya ini semakin kental ketika belajar di Eropa dan berkenalan dengan paham marxisme, yang saat itu sedang berkembang di Eropa. Paham marxisme yang memperjuangkan hak kaum buruh melawan penindasan pemilik modal sangat cocok dengan pemikiran Tan Malaka.
Prestasi Tan Malaka di dunia internasional termasuk fenomenal. Ia masuk kedalam organisasi Komunis Internasional (Commintern). Sebuah organisasi yang bertujuan mengintegrasikan perjuangan kaum komunis di seluruh dunia. Oleh organisasi ini, antara tahun 1922 hingga tahun 1927, ia ditunjuk menjadi wakil khusus Pemerintah Sovyet yang bertugas menjelaskan strategi Komintern ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Sebuah posisi yang bahkan tokoh revolusi China, Mao Tse Dong, tak pernah mendapatkannya. Selain itu, Tan Malaka juga dikirim oleh Central Comitte Uni Sovyet ke daerahnya yang beragama Islam. Dengan pengetahuannya yang mendalam tentang Islam, Tan Malaka dianggap dapat menjadi jembatan penghubung antara komunisme dan Islam.
Sebenarnya, Tan Malaka bukanlah seorang politikus. Ia adalah seorang guru. Bekerjasama dengan Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka berniat menyelenggarakan pendidikan yang layak bagi rakyat pribumi. Baginya, perbaikan nasib rakyat dapat dilakukan dengan mencerdaskan kehidupan rakyat melalui pendidikan. Oleh karena itu, ia lalu mendirikan sekolah-sekolah rakyat bagi pribumi yang tidak mampu.
Tan Malaka kemudian terjun dunia politik dengan bergabung bersama Sarekat Islam (SI) dibawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. SI sendiri merupakan partai bernafaskan Islam yang semula dibentuk untuk menaungi pedagang-pedagang Islam dalam bersaing dengan pedagang asing. Meskipun pada akhirnya SI sendiri pecah menjadi SI Merah dan SI Putih.
SI Merah yang dipimpin oleh Tan Malaka dan Semaun bergabung bersama Indische Social Demokratische Vereeniging (ISDV) yang dipimpin Sneevliet dan membentuk partai baru bernama Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada Kongres PKI pertama 24-25 Desember 1921, Tan Malaka terpilih menjadi pimpinan partai.
Bersama PKI, Tan Malaka melakukan gerakan yang revolusioner. Ia memprovokasi para buruh untuk melakukan aksi mogok, serta aksi propaganda lainnya melalui selebaran untuk menyadarkan rakyat tentang adanya ketidakadilan yang dilakukan Pemerintah Hindia-Belanda. Seperti yang dikatakannya dalam pidato di depan para buruh “semua gerakan buruh untuk mengeluarkan seuatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti mengalami kegagalan, maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”. Keberadaannya dianggap mengancam, sehingga ia ditangkap pada Januari 1922 dan diusir dari Indonesia dua bulan kemudian.

Tan Malaka: Antara Islam dan Komunisme
Melalui berbagai propaganda dan aksi provokasi, PKI berhasil mengorganisir para buruh untuk melakukan aksi yang radikal. Klimaksnya terjadi pada tahun 1926 dimana PKI melakukan pemberontakan di wilayah Jawa Barat dan di Sumatera Barat pada tahun 1927. Pemberontakan tersebut menyebabkan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang oleh Pemerintah Hindia-Belanda.
Sebagai salah satu pimpinan PKI, sebenarnya Tan Malaka keberatan dengan rencana pemberontakan ini. Menurutnya, hal itu merupakan tindakan gegabah karena Indonesia belum siap melakukan aksi revolusioner seperti itu. Dalam pelarian di Bangkok, Tan Malaka bersama Soebakat, dan Djamaluddin Tamin memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI) pada Juni 1927.
Peristiwa ini menjadi titik balik hubungan mesra Tan Malaka dengan komunisme. Di Komintern sendiri, Tan Malaka berkonflik dengan beberapa petinggi komintern, terkait konflik antara pan-Islamisme dengan komunisme. Petinggi Komintern berpendapat bahwa pan-Islamisme membahayakan penyebaran paham komunis di dunia, sehingga harus dibasmi. Tan Malaka menolak anggapan tersebut, dalam Kongres Komintern ke-4 tanggal 12 November 1922, ia berpidato bahwa pan-Islamisme dan komunisme memiliki tujuan yang sama, yakni perjuangan membebaskan diri dari penindasan kolonialisme dan kapitalisme. “ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia!”. Kata-kata inilah yang melambangkan pemikiran Tan Malaka bahwa Islam dan komunisme memiliki sebuah benang merah.
Dengan latar belakangnya, Tan Malaka memiliki pengetahuan tentang yang mendalam tentang Islam. Hal ini didukung dengan pemikiran rekan-rekannya dari golongan nasionalis religius, yakni Buya Hamka dan H.O.S. Tjokroaminoto. Selain itu, di era orde lama dikemudian hari, Tan Malaka juga menjadi pendiri Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), sebuah partai Islam yang berjiwa sosialis.

Akhir yang Tragis
Seperti nasib kebanyakan pejuang revolusioner lainnya, petualangan Tan Malaka juga berakhir dengan tragis. Hampir sama dengan nasib pejuang revolusioner Amerika Selatan, Ernesto Guevarra, Tan Mala menjadi buruan nomor satu tentara. Ia diburu oleh tentara Belanda, Uni Sovyet, dan lebih ironis lagi, tentara Indonesia, bangsa yang seumur hidup ia habiskan untuk memperjuangkan kemerdekaannya.
Pendapatnya tentang Pan-Islamisme dalam Kongres Komintern menyebabkan dirinya dipecat oleh Komintern, sehingga ia diburu oleh anggota komunis internasional, termasuk sekutunya di PKI. Oleh karena itu, Tan Malaka kembali ke Indonesia tahun 1942 dengan menyamar. Dalam penyamarannya itulah, ia menulis bukunya yang fenomenal: "Matter, Dialektika dan Logika" (Madilog) Tahun 1942. 
Tan Malaka juga terlibat konflik dengan Sutan Sjahrir. Ketika Kabinet Sjahrir memutuskan untuk berkompromi dengan Pemerintah Belanda melalui Perjanjian Linggarjati 15 November 1946, Tan Malaka menolak untuk berdamai dan meneruskan untuk bergerilya menuntut kemerdekaan penuh. Akhirnya ia dipenjara akibat perbuatannya. Keluar dari penjara ia pun kembali melanjutkan aksi gerilyanya. Perjuangannya berakhir ketika ia tewas di kaki Gunung Wilis, Kediri, 21 Februari 1949. Ia tewas ketika diburu oleh tentara Indonesia yang pro Sjahrir. Sampai sekarang pun tidak ada yang tahu pasti dimana letak makamnya.
Inilah akhir yang tragis dari seorang pejuang revolusioner yang selama hidupnya mengabdikan diri demi kemerdekaan bangsa dan tanah airnya.